oleh Fena Basafiana
Bagi para pecinta
film Indonesia, pasti sudah tidak asing lagi dengan sosok Garin Nugroho. Ia
adalah sutradara dan penulis yang telah melahirkan banyak karya berupa film
panjang, film pendek, dan buku. Satu karyanya yang sangat menarik perhatian
saya adalah film Kucumbu Tubuh Indahku
yang dirilis pada 2019 dan mendapat beberapa penghargaan impresif dalam berbagai
kategori termasuk sutradara terbaik. Namun film tersebut sempat mengundang
kontroversi bernuansa LGBT hingga pengajuan petisi untuk mengepung pemutaran
film.
Perihal
definisi kontroversi, ia
dianggap sebagai perdebatan fenomenal yang terjadi di tengah-tengah masyarakat
yang sedang hangat diperbincangkan dan menimbulkan pro dan kontra. Kontroversi
yang terjadi dalam film Kucumbu Tubuh
Indahku adalah ketidaksesuaiaan pola pikir masyarakat dalam menerima film
tersebut. Garin mengisahkan tentang penari Lengger bernama Juno bahwa ia telah
menemukan dirinya memahami keindahan hidup sebagai penari yang bisa berubah
menjadi maskulin maupun feminim dalam satu tubuh. Dengan demikian, muncullah
petisi agar Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) segera memboikot pemutaran film
tersebut.
Pengajuan petisi yang
terlalu tergesa itu membuat saya menahan tawa. Terutama, masyarakat salah
sasaran dalam menunjuk lembaga independen yang seharusnya diajukan kepada
Sensor Film. Apalagi Garin memberi respons bahwa semestinya sebelum masuk ke
ruang petisi, perlu adanya ruang diaolog bersama dirinya dan kru. Garin pun
merasa prihatin atas penghakiman massal tanpa diiringi oleh penegakkan hukum
berkeadilan sehingga melahirkan anarkisme massal. Alhasil, kondisi tersebut
dapat meruntuhkan daya pikir terbuka dan daya kerja cipta serta melanggengkan
bentuk diskriminasi dan kekerasan atas kehendak hidup manusia.
Merujuk pada latar
belakang Garin, setelah menamatkan pendidikan S-1 Sinematografi di Institut
Kesenian Jakarta, ia melanjutkan pendidikan S-2 Hukum di Universitas Indonesia,
saya rasa ia memiliki acuan hukum yang lihai untuk menemaninya memasuki
industri film Indonesia secara revolusioner. Apalagi melihat masyarakat konservatif
yang mudah terbakar emosi jika ada hal di luar keyakinan tanpa mereka tinjau dan
pahami terlebih dahulu.
Perkara
masyarakat konservatif, mereka adalah seseorang atau sekelompok yang berusaha
mempertahankan keadaan, sikap, dan tradisi yang berlaku dalam lingkungan
masyarakat. Meskipun kita berada pada zaman modern, namun sikap konservatif
tidak begitu saja dapat tertinggalkan. sesuatu yang dikhawatirkan adalah sikap
konservatif tersebut dapat menyengsarakan manusia yang tidak sejalan dengan
tradisi yang ada. Saya rasa, kita semua juga merasakannya bahwa sesuatu yang
dapat merugikan bahkan meruntuhkan kemanusiaan tidak perlu dilestarikan. Salah
satunya adalah pelabelan kodrat manusia.
Stereotipe masyarakat
mengenai gender adalah laki-laki harus maskulin dan perempuan harus feminin. Hasil
dari budaya konservatif yang telah mendarah daging, masyarakat cenderung
mempersepsikan bahwa gender merupakan kodrat, padahal gender terbentuk melalui
kostruksi sosial dan dapat dipertukarkan. Hanya jenis kelamin yang dapat
diperlakukan sebagai kodrat.
Dalam film ini, Garin pun
juga mengemukakan bahwa ia mengangkat kisah Rianto (seorang penari) tentang
ketertarikannya terhadap unsur ketubuhan manusia. Bagi Rianto, tubuh adalah
perpustakaan ingatan tentang sejarah manusia di mana di dalamnya terdapat
pengalaman traumatis secara personal maupun sosial. Rianto juga menampilkan
sifat ketubuhan manusia bahwa pada dasarnya satu manusia bisa menentukan sisi
mana yang paling nyaman ia rasakan antara maskulin atau feminim. Ironinya,
kondisi tersebut menciptakan pergolakan dari masyarakat. Sementara tubuh itu
sendiri adalah medium dalam bernari sehingga Rianto menunjukkan kejujuran sifat
tubuhnya saat menari.
Menilik latar belakang
Rianto sebagai penari, ia menemukan tema ketubuhan dari Tari Lengger Lanang
khas Banyumas-Jawa Tengah. Lengger lanang adalah tarian dengan gerak feminin
dan maskulin yang ditarikan oleh lelaki. Sejak kecil Rianto sudah jatuh hati
pada dunia tari. Hal tersebut membuatnya dicap sebagai “banci” sejak di Sekolah
Dasar. Memori traumatis itu membekas dan terekam dalam tubuhnya sebagai
perjalanan hidup. Namun untungnya, usaha panjang Rianto menjadikannya sukses
sebagai penari profesional di Jepang dan ranah internasional.
Film ini menayangkan sosok lelaki
yang memiliki sisi feminitas dalam dirinya yang datang dari perjalanan hidup
traumatisnya. Selain menari, Juno sebagai tokoh utama ditampilkan sering
melakukan kegiatan domestik seperti memasak, menjahit, menyetrika baju dan
sebagainya. Perawakannya juga tampak lembut dan gemulai yang makin mengentalkan
sisi feminim. Penggambaran tersebut meresahkan masyarakat konservatif yang
menganggap bahwa karya ini dapat memicu kebebasan seorang anak dalam memilih
identitas gendernya.
Secara progresif, Garin
mencoba merobohkan hirarki budaya tersebut. ia merepresentasikan Rianto dalam
Juno dengan sosok yang dikira menentang kodrat manusia. Lewat filmnya, Garin
menegaskan bahwa dalam identitas gender tidak semua manusia sepakat atas
peranan gender yang tipikal dalam masyarakat. Penukaran gender pada jenis
kelamin tertentu pun tidak berarti mengubah kedudukan dan kodrat manusia itu
sendiri.
Garin, dalam mengamini
pernyataan Rianto, memberitahu bahwa kita sebagai manusia tidak pernah bisa
lepas dari kesalahan dan kejadian traumatis, entah itu datang pada masa kecil
atau dewasa. Namun hal pasti yang perlu manusia sadari adalah menerima diri dan
isinya sebagai bentuk dari perwujudan kebesaran sang pencipta. Layaknya
penggambaran Rianto mengenai tubuh bahwa ia adalah kehidupan, alam, semesta,
maka kita perlu menjaganya dari bencana. Menjaga tubuh berarti mengetahui sifat
ketubuhan seperti apa yang manusia miliki, apakah sifat feminim atau maskulin,
dan mengembangkan potensi tersebut untuk menyejahterakan diri dan sekitar.
Semoga upaya Garin dalam membasuh pikiran masyarakat konservatif melalui
filmnya dapat menembus mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar