Oleh Fena Basafiana
Lirik lagu merupakan bagian dari karya sastra, ia
masuk dalam kategori puisi. Perbedaan puisi dengan prosa tentu sangat mencolok,
meskipun kita kerap menemukan karya puisi yang prosa (naratif) atau prosa yang
puitis, tetap para ahli dapat mengidentifikasikan jenis karya tersebut.
Siswantoro (23) mengemukakan bahwa puisi memiliki kepadatan kalimat dan lebih
terkonsentrasi pada hal tertentu. Lirik lagu yang juga bagian dari puisi adalah
perwujudan penulis atau penyair dalam mengungkapkan sikap dan perasaan
berdasarkan berbagai peristiwa dan pengalaman melalui tulisan secara padat dan
fokus.
Karya sastra (termasuk puisi) dapat menjadi
bayang-bayang realitas yang merepresentasikan gambar dan refleksi permasalahan
dalam kehidupan. Pemaknaan tersebut juga hadir dalam sosiologi, Sapardi Djoko
Damono (3) menjelaskan bahwa sosiologi adalah struktur sosial, proses sosial,
dan perubahan sosial. Jika disatukan, keduanya merupakan bagian dari segi-segi kemasyarakatan yang bisa disebut
sebagai sosiologi sastra. Sosiologi sastra bertujuan untuk mengamati gejala
sosial secara mendalam melalui analisis teks. Pada dasarnya, sosiologi dan sastra saling
mempelajari tentang manusia dan kaitannya dengan hal-hal yang mempengaruhi
lingkungannya, seperti keluarga, politik, pekerjaan, sekolah dan sebagainya.
Kita sering menemukan lirik lagu yang membahas isu
sosial. Katakanlah, pada lirik lagu Bahaya
Komunis oleh Jason Ranti. Lewat liriknya yang satire, ia membahas paranoia
atas kebangkitan komunisme di Indonesia yang sebenarnya pemerintah terlalu
menakuti rakyatnya secara berlebihan dan mengada-ada demi kepentingan tertentu.
Jason Ranti menciptakan lagu ini berdasarkan hasil pengamatannya melihat
rangkaian sejarah dari peristiwa komunisme di Indonesia yang begitu lucu dan
miris.
Sama halnya dalam lirik lagu Fatamorgana yang diprakarsai oleh Polka Wars juga hadir berdasarkan
kegelisahan dari berbagai peristiwa dan pengalaman tiap personel. Lagu tersebut
masuk dalam album Bani Bumi yang dirilis pada 2019 di berbagai platform digital
dan fisik. Alasan saya mengangkat lagu ini ketimbang lagu lainnya di album Bani
Bumi karena makna lirik lagu Fatamorgana
adalah bagaimana cara kerja (trik) penguasa menguasai lingkungan tertentu
beserta rakyat di dalamnya dan bagaimana sikap rakyat itu sendiri merespons
penguasa tersebut. Situasi tersebut kerap dihadapi oleh seluruh manusia. Misalkan,
melalui cita-cita dan kitab suci, manusia saling bernegosiasi, menipu, dan
ditipu demi menunjang kehidupan yang lebih baik (berdasarkan perspektif dan
kepentingan masing-masing).
Penulis atau penyair dalam menciptakan karya memiliki
sudut pandang, perspektif, dan pengalaman tertentu saat mengangkat isu sosial.
Noor (29) membagi Sosiologi sastra menjadi dua hal: sosiologi komunikasi sastra
dan sosiologi karya sastra. Sosiologi komunikasi sastra menempatkan pengarang
dalam konteks sosialnya, meliputi status sosial-ekonomi, profesi, pendidikan, ideologi,
dan keterikatannya dalam suatu kelas tertentu; Sedangkan sosiologi karya sastra
adalah penafsiran teks sastra secara sosiologis. Dalam hal ini, saya menerapkan
tipe sosiologi karya sastra sebagai pengantar dalam penafsiran lirik lagu Fatamorgana karena teks tersebut lepas
dari identitas tiap personel, dan secara utuh teks tersebut hadir berdasarkan
pengamatan mereka menyaksikan dunia politik yang penuh harap dan kesengsaraan.
Sejak pada lirik pertama hingga akhir, Polka Wars memang
cenderung gemar menggunakan majas seperti metafora. Berdasarkan definisi umum,
menurut Panuti Sudjiman (20), majas adalah pemakaian kata yang melewati
batas-batas maknanya yang lazim atau menyimpang dari arti harfiahnya. Pada bait
pertama, Polka Wars telah menunjukkan sisi majasnya.
“Terbelah
jalan, hampa tujuan
Berdagang
asa, reka citranya
Halau cahaya”
Ungkapan “Terbelah jalan, hampa tujuan.” mengandung
makna tersirat atau tidak menyatakan sesuatu secara terbuka (metafora), kata
tersebut bermaksud memberitahu bahwa ada harapan yang putus dan tujuan yang
kosong. Dengan begitu, manusia tidak bisa lagi melewati jalan menuju harapan
karena sudah tidak ada lagi tujuan tersebut.
Lanjut di baris kedua, “Berdagang asa, reka citranya.”
Pernyataan tersebut memberi penjelasan bagaimana cara kerja penguasa menarik
hati rakyat. Ada dua cara: pertama, berdagang
asa: mendemonstrasikan visi-misinya kepada khalayak. Visi-misi tersebut
tentu memiliki karakteristik yang sederhana (kalimatnya mudah dimengerti orang
umum), idealis, memberikan perubahan, pemanfaatan yang fokus. Dengan kemasan
yang menjanjikan tersebut, penguasa memperjual-belikan visi-misinya secara
rahasia demi kepentingan tertentu; dan kedua, reka citranya: selain memiliki visi-misi, pasti perlu menunjukkan
keunggulan diri sebagai bukti bahwa penguasa tersebut memiliki kemampuan yang
sesuai untuk merealisasikan visi-misinya. Proses perniagaan tersebut, dirancang
sangat tersusun dan rapi hingga penguasa memiliki rupa yang baik di mata rakyat
bahkan sejak pada pandangan pertama.
Namun di baris ketiga, “Halau cahaya.”, mengemukakan
bahwa meskipun di awal proses perniagaan tersebut sangat menjanjikan tapi pada
akhirnya khalayak atau beberapa orang menyadari ada yang keliru dari kondisi
tersebut. Adanya ketidak-seimbangan antara kebutuhan penguasa dengan kebutuhan khalayak
dan adanya visi-misi yang tidak tereksekusi. Yang pada awalnya, penguasa
memamerkan visi-misi dan rupa hebatnya, kini hanya menjadi timbunan atau
kenangan tidak berguna. Kepercayaan kepada penguasa tentu hilang dan yang tersisa
hanya penyesalan atas kepercayaan mereka selama ini. Pada bait kedua, Polka
Wars semakin menggebu-gebu mengeksplorasi idenya tentang kekuasaan yang menipu.
“Nyatanya semu, angan tersapu
Alasan tak dapat belenggu
Hina adanya”
Di baris pertama, “Nyatanya semu, angan tersapu.”
Menegaskan alasan kenapa rakyat hilang kepercayaan kepada penguasa tersebut,
karena ternyata kehadiran penguasa ini tidak memberi konstribusi yang berarti
alias visi-misinya hanya tipu muslihat. Kenyataan tersebut membuat rakyat
kecewa beserta beragam harapan yang gugur. Di baris berikutnya, “Alasan tak
dapat belenggu” berarti penguasa ini memang benar-benar seorang penipu,
buktinya, setelah ingkar janji atas eksekusi visi-misi, penguasa pandai mendistorsi
keadaan. Ia menyangkal segala kritik dari khalayak sebagai bentuk defensifnya.
Segala alasannya—mau-tidak mau—suka-tidak suka—menjadi obat bagi kesakitan rakyat
yang patah hati atas permainan penguasa. Maka dari itu, muncullah pernyataan,
“Hina adanya.” Yang mengungkapkan betapa kedudukan rakyat begitu rendah di mata
penguasa. Setelah penguasa berbuat jahat, ia sendiri yang memberi kesembuhan
(kesakitan yang bertambah) meskipun dengan obat yang makin mematikan.
Saya mengelompokkan rakyat menjadi tiga tipikal
(sebenarnya tipikal ini bisa semakin bercabang): jika ditipu, ia berontak; jika
ditipu, ia tidak sadar dan semakin dibodohi; dan jika ditipu, ia menyadari itu
namun pasrah pada keadaan. Sejauh ini, tipikal rakyat dalam lirik lagu Fatamorgana memiliki tipikal yang jika
ditiipu, ia berontak. Namun situasinya akan berubah di bait keempat. Seluruh
lirik lagu ini mengekspresikan rakyat sebagai sudut pandang orang kedua dan
ketiga yang sangat marah pada penguasa. Mereka di sini sangat menyadari posisi
dirinya yang rawan ditindas. Pada bait berikutnya, Polka Wars melanjutkan
kejengkelannya pada penguasa melalui permainan kata.
“Ayat amunisi
Jaja ilusi”
Pada bait ini hanya terdapat dua baris singkat namun
merangkum beberapa hal. Di baris pertama, “Ayat amunisi” menerangkan bahwa
biasanya di belahan dunia sekalipun, para penguasa kerap menggunakan ayat kitab
suci sebagai alat berorasi di hadapan rakyat untuk mendapatkan kekuasaan. Cara
tersebut adalah upaya meyakinkan rakyat untuk bernaung di jalan penguasa dengan
menekankan sisi spritualitas (sisi yang digemari orang umum). Namun situasi
dalam teks ini adalah penggunaan ayat tidak relevan dengan tipu muslihatnya.
Sehingga di baris berikutnya, “Jaja ilusi” bermaksud memberitahu bahwa betapa
ayat-ayat yang terucap di bibir penguasa hanya sebagai penjualan omong-kosong.
Penguasa sama sekali tidak menghendaki adanya perubahan hidup untuk kepentingan
bersama. Mereka hanya menciptakan kepentingan pribadinya semata. Pada bait
keempat adalah intropeksi diri rakyat atas kekecewaanya kepada penguasa.
“Berjanji, hindari
Nyata tipu dayanya
Fatamorgana! Fatamorgana!”
Di baris pertama dan kedua adalah satu kalimat yang
menunjukkan sisi intropeksi diri, “Berjanji hindari nyata tipu dayanya.”. Setelah
rakyat melewati pengalaman pahit yang ditipu oleh penguasa, mungkin untuk
pertama kali atau kesekian kalinya, mereka meyakinkan diri untuk tidak terlena
lagi kepada sosok penguasa yang gemar menipu.
Namun lucunya muncul kata, “Fatamorgana! Fatamorgana!”
pada bait keempat yang juga dijadikan sebagai judul lagu ini. Menurut KBBI,
fatamorgana artinya hal yang bersifat khayal atau tidak mungkin dicapai. Pengertian
tersebut berarti memperlihatkan diri rakyat yang mudah goyah atas pendiriannya.
Meskipun mereka berseru dan memantapkan hati untuk tidak termakan rayuan
penguasa lagi, situasi tersebut akan terus terjadi. Hal ini menunjukkan bahwa
betapa rakyat sangat bergantung kepada pemimpin (penguasa). Atas kebutuhannya
tersebut, rakyat berusaha mencari dan memilih calon penguasa terbaik untuk
dijadikan sebagai pemimpin di lingkungannya. Faktanya, para calon penguasa
sangat jauh dari kesempurnaan dan sisi terbaik. Jadi rakyat memilih calon
penguasa yang mendingan daripada
tidak ada pemimpin (penguasa) sama sekali. Setelah proses pemilihan, mereka
membangunkan kepercayaan kepada penguasa terpilih untuk kesekian kalinya. Dalam
hal ini, rakyat telah menjadi tipikal yang jika ditipu, ia menyadari itu dan
pasrah pada keadaan (tapi tetap mengkritik penguasanya). Pada bait kelima, Polka
Wars kembali menyuarakan amarahnya dalam pengenangan tipu muslihat penguasa.
“Jamu menjamu, janji merayu
Alasan tak dapat belenggu
Amarah massa!”
Pada baris pertama, “Jamu menjamu, janji merayu.” Menerangkan
perilaku penguasa saat proses perniagaan asa. Penguasa menjamu rakyat dengan
sedemikian menarik dan menyenangkan. Dalam perjamuan tersebut, penguasa
memidatokan visi-misinya kepada rakyat dengan suara yang lantang dan penuh
semangat seakan pada saat itu juga penguasa siap mempertaruhkan nyawanya demi
kepentingan massa. Contoh kasus, biasanya kita kerap menemukan situasi jamu-menjamu pada pesta rakyat di masa
pemilihan calon pemimpin pemerintah di wilayah tertentu. Namun pada baris kedua
dan ketiga, “Alasan tak dapat belenggu. Amarah massa!”, bergulirlah waktu dan
berganti situasi di mana khalayak telah menyadari adanya kebobrokan sikap
penguasa. Lalu kebobrokannya ia lapisi dengan alasan pengelakan agar selamat
dari hantaman khalayak. Kita pun tahu, tampaknya semarah apapun dan sehebat
apapun khalayak, pemenangnya adalah penguasa. Pada bait terakhir, Polka Wars
seperti memberi nasihat kepada penguasa secara implisit.
“Ayat yang terjual
Tak ingat ajal”
Dua baris terakhir dalam lagu ini sebagai penutup yang
apik untuk Polka Wars menyampaikan nasihat tertutupnya, mengenai barangsiapa
yang berdusta atas ayat yang disampaikan demi kepentingan tertentu (bukan untuk
kemaslahatan rakyat) akan mendapat balasan setimpal saat ajal menjemput. Tentu barangsiapa
tersebut tertuju kepada penguasa berdaya tipu muslihat.
Dari keseluruhan penafsiran lirik lagu Fatamorgana ini menerangkan duduk
perkara makna “Fatamorgana” itu sendiri. Di awal, Polka Wars menyajikan tiga
bait pertama sebagai perspektif rakyat dalam menilai penguasa. Rancangannya
terstruktur untuk perubahan yang lebih baik berdasarkan visi-misi dan citranya.
Namun pada masa kekuasaannya (kepemimpinannya), penguasa tersebut ingkar janji.
Ia tidak mengeksekusi visi-misinya. Lalu rakyat menyadari kekeliruan tersebut
dan membongkar segala kebejatan penguasa dengan beragam bukti. Tapi di samping
itu, meskipun mereka merasa hancur atas kekecewaannya dan berjanji tidak akan
terjerumus lagi pada jenis penguasa serupa, rakyat akan tetap mengalaminya
terus-menerus. Walaupun memang tidak ada yang sempurna di dunia ini, termasuk
seorang pemimpin, tapi juga, apakah masih ada pemimpin yang tidak berdaya tipu
muslihat? Berhubung rakyat membutuhkan sosok penguasa (pemimpin) untuk
kesejahteraan bersama.
Pustaka
Acuan
Damono, Sapardi Djoko. Pengantar Sosiologi Sastra. Ciputat: Editum, 2009.
Noor, Redyanto. Pengantar
Pengkajian Sastra. Semarang: Fasindo, 2007.
Sudjiman, Panuti. Kamus
Istilah Sastra. Jakarta: UI Press, 1990.
Siswantoro. Metode
Penelitian Sastra. Yogyakarta: Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar