Selasa, 21 Maret 2023

Garin Nugroho Membasuh Pikiran Masyarakat

oleh Fena Basafiana


 


        Bagi para pecinta film Indonesia, pasti sudah tidak asing lagi dengan sosok Garin Nugroho. Ia adalah sutradara dan penulis yang telah melahirkan banyak karya berupa film panjang, film pendek, dan buku. Satu karyanya yang sangat menarik perhatian saya adalah film Kucumbu Tubuh Indahku yang dirilis pada 2019 dan mendapat beberapa penghargaan impresif dalam berbagai kategori termasuk sutradara terbaik. Namun film tersebut sempat mengundang kontroversi bernuansa LGBT hingga pengajuan petisi untuk mengepung pemutaran film.

Perihal definisi kontroversi, ia dianggap sebagai perdebatan fenomenal yang terjadi di tengah-tengah masyarakat yang sedang hangat diperbincangkan dan menimbulkan pro dan kontra. Kontroversi yang terjadi dalam film Kucumbu Tubuh Indahku adalah ketidaksesuaiaan pola pikir masyarakat dalam menerima film tersebut. Garin mengisahkan tentang penari Lengger bernama Juno bahwa ia telah menemukan dirinya memahami keindahan hidup sebagai penari yang bisa berubah menjadi maskulin maupun feminim dalam satu tubuh. Dengan demikian, muncullah petisi agar Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) segera memboikot pemutaran film tersebut.

Pengajuan petisi yang terlalu tergesa itu membuat saya menahan tawa. Terutama, masyarakat salah sasaran dalam menunjuk lembaga independen yang seharusnya diajukan kepada Sensor Film. Apalagi Garin memberi respons bahwa semestinya sebelum masuk ke ruang petisi, perlu adanya ruang diaolog bersama dirinya dan kru. Garin pun merasa prihatin atas penghakiman massal tanpa diiringi oleh penegakkan hukum berkeadilan sehingga melahirkan anarkisme massal. Alhasil, kondisi tersebut dapat meruntuhkan daya pikir terbuka dan daya kerja cipta serta melanggengkan bentuk diskriminasi dan kekerasan atas kehendak hidup manusia.

Merujuk pada latar belakang Garin, setelah menamatkan pendidikan S-1 Sinematografi di Institut Kesenian Jakarta, ia melanjutkan pendidikan S-2 Hukum di Universitas Indonesia, saya rasa ia memiliki acuan hukum yang lihai untuk menemaninya memasuki industri film Indonesia secara revolusioner. Apalagi melihat masyarakat konservatif yang mudah terbakar emosi jika ada hal di luar keyakinan tanpa mereka tinjau dan pahami terlebih dahulu.

Perkara masyarakat konservatif, mereka adalah seseorang atau sekelompok yang berusaha mempertahankan keadaan, sikap, dan tradisi yang berlaku dalam lingkungan masyarakat. Meskipun kita berada pada zaman modern, namun sikap konservatif tidak begitu saja dapat tertinggalkan. sesuatu yang dikhawatirkan adalah sikap konservatif tersebut dapat menyengsarakan manusia yang tidak sejalan dengan tradisi yang ada. Saya rasa, kita semua juga merasakannya bahwa sesuatu yang dapat merugikan bahkan meruntuhkan kemanusiaan tidak perlu dilestarikan. Salah satunya adalah pelabelan kodrat manusia.

Stereotipe masyarakat mengenai gender adalah laki-laki harus maskulin dan perempuan harus feminin. Hasil dari budaya konservatif yang telah mendarah daging, masyarakat cenderung mempersepsikan bahwa gender merupakan kodrat, padahal gender terbentuk melalui kostruksi sosial dan dapat dipertukarkan. Hanya jenis kelamin yang dapat diperlakukan sebagai kodrat.

Dalam film ini, Garin pun juga mengemukakan bahwa ia mengangkat kisah Rianto (seorang penari) tentang ketertarikannya terhadap unsur ketubuhan manusia. Bagi Rianto, tubuh adalah perpustakaan ingatan tentang sejarah manusia di mana di dalamnya terdapat pengalaman traumatis secara personal maupun sosial. Rianto juga menampilkan sifat ketubuhan manusia bahwa pada dasarnya satu manusia bisa menentukan sisi mana yang paling nyaman ia rasakan antara maskulin atau feminim. Ironinya, kondisi tersebut menciptakan pergolakan dari masyarakat. Sementara tubuh itu sendiri adalah medium dalam bernari sehingga Rianto menunjukkan kejujuran sifat tubuhnya saat menari.

Menilik latar belakang Rianto sebagai penari, ia menemukan tema ketubuhan dari Tari Lengger Lanang khas Banyumas-Jawa Tengah. Lengger lanang adalah tarian dengan gerak feminin dan maskulin yang ditarikan oleh lelaki. Sejak kecil Rianto sudah jatuh hati pada dunia tari. Hal tersebut membuatnya dicap sebagai “banci” sejak di Sekolah Dasar. Memori traumatis itu membekas dan terekam dalam tubuhnya sebagai perjalanan hidup. Namun untungnya, usaha panjang Rianto menjadikannya sukses sebagai penari profesional di Jepang dan ranah internasional.

            Film ini menayangkan sosok lelaki yang memiliki sisi feminitas dalam dirinya yang datang dari perjalanan hidup traumatisnya. Selain menari, Juno sebagai tokoh utama ditampilkan sering melakukan kegiatan domestik seperti memasak, menjahit, menyetrika baju dan sebagainya. Perawakannya juga tampak lembut dan gemulai yang makin mengentalkan sisi feminim. Penggambaran tersebut meresahkan masyarakat konservatif yang menganggap bahwa karya ini dapat memicu kebebasan seorang anak dalam memilih identitas gendernya.

Secara progresif, Garin mencoba merobohkan hirarki budaya tersebut. ia merepresentasikan Rianto dalam Juno dengan sosok yang dikira menentang kodrat manusia. Lewat filmnya, Garin menegaskan bahwa dalam identitas gender tidak semua manusia sepakat atas peranan gender yang tipikal dalam masyarakat. Penukaran gender pada jenis kelamin tertentu pun tidak berarti mengubah kedudukan dan kodrat manusia itu sendiri.

Garin, dalam mengamini pernyataan Rianto, memberitahu bahwa kita sebagai manusia tidak pernah bisa lepas dari kesalahan dan kejadian traumatis, entah itu datang pada masa kecil atau dewasa. Namun hal pasti yang perlu manusia sadari adalah menerima diri dan isinya sebagai bentuk dari perwujudan kebesaran sang pencipta. Layaknya penggambaran Rianto mengenai tubuh bahwa ia adalah kehidupan, alam, semesta, maka kita perlu menjaganya dari bencana. Menjaga tubuh berarti mengetahui sifat ketubuhan seperti apa yang manusia miliki, apakah sifat feminim atau maskulin, dan mengembangkan potensi tersebut untuk menyejahterakan diri dan sekitar. Semoga upaya Garin dalam membasuh pikiran masyarakat konservatif melalui filmnya dapat menembus mereka.

Minggu, 12 Maret 2023

Fatamorgana - Polka Wars: Muslihat Penguasa

Oleh Fena Basafiana


Lirik lagu merupakan bagian dari karya sastra, ia masuk dalam kategori puisi. Perbedaan puisi dengan prosa tentu sangat mencolok, meskipun kita kerap menemukan karya puisi yang prosa (naratif) atau prosa yang puitis, tetap para ahli dapat mengidentifikasikan jenis karya tersebut. Siswantoro (23) mengemukakan bahwa puisi memiliki kepadatan kalimat dan lebih terkonsentrasi pada hal tertentu. Lirik lagu yang juga bagian dari puisi adalah perwujudan penulis atau penyair dalam mengungkapkan sikap dan perasaan berdasarkan berbagai peristiwa dan pengalaman melalui tulisan secara padat dan fokus.

Karya sastra (termasuk puisi) dapat menjadi bayang-bayang realitas yang merepresentasikan gambar dan refleksi permasalahan dalam kehidupan. Pemaknaan tersebut juga hadir dalam sosiologi, Sapardi Djoko Damono (3) menjelaskan bahwa sosiologi adalah struktur sosial, proses sosial, dan perubahan sosial. Jika disatukan, keduanya merupakan bagian dari  segi-segi kemasyarakatan yang bisa disebut sebagai sosiologi sastra. Sosiologi sastra bertujuan untuk mengamati gejala sosial secara mendalam melalui analisis teks.  Pada dasarnya, sosiologi dan sastra saling mempelajari tentang manusia dan kaitannya dengan hal-hal yang mempengaruhi lingkungannya, seperti keluarga, politik, pekerjaan, sekolah dan sebagainya.

Kita sering menemukan lirik lagu yang membahas isu sosial. Katakanlah, pada lirik lagu Bahaya Komunis oleh Jason Ranti. Lewat liriknya yang satire, ia membahas paranoia atas kebangkitan komunisme di Indonesia yang sebenarnya pemerintah terlalu menakuti rakyatnya secara berlebihan dan mengada-ada demi kepentingan tertentu. Jason Ranti menciptakan lagu ini berdasarkan hasil pengamatannya melihat rangkaian sejarah dari peristiwa komunisme di Indonesia yang begitu lucu dan miris.

Sama halnya dalam lirik lagu Fatamorgana yang diprakarsai oleh Polka Wars juga hadir berdasarkan kegelisahan dari berbagai peristiwa dan pengalaman tiap personel. Lagu tersebut masuk dalam album Bani Bumi yang dirilis pada 2019 di berbagai platform digital dan fisik. Alasan saya mengangkat lagu ini ketimbang lagu lainnya di album Bani Bumi karena makna lirik lagu Fatamorgana adalah bagaimana cara kerja (trik) penguasa menguasai lingkungan tertentu beserta rakyat di dalamnya dan bagaimana sikap rakyat itu sendiri merespons penguasa tersebut. Situasi tersebut kerap dihadapi oleh seluruh manusia. Misalkan, melalui cita-cita dan kitab suci, manusia saling bernegosiasi, menipu, dan ditipu demi menunjang kehidupan yang lebih baik (berdasarkan perspektif dan kepentingan masing-masing).

Penulis atau penyair dalam menciptakan karya memiliki sudut pandang, perspektif, dan pengalaman tertentu saat mengangkat isu sosial. Noor (29) membagi Sosiologi sastra menjadi dua hal: sosiologi komunikasi sastra dan sosiologi karya sastra. Sosiologi komunikasi sastra menempatkan pengarang dalam konteks sosialnya, meliputi status sosial-ekonomi, profesi, pendidikan, ideologi, dan keterikatannya dalam suatu kelas tertentu; Sedangkan sosiologi karya sastra adalah penafsiran teks sastra secara sosiologis. Dalam hal ini, saya menerapkan tipe sosiologi karya sastra sebagai pengantar dalam penafsiran lirik lagu Fatamorgana karena teks tersebut lepas dari identitas tiap personel, dan secara utuh teks tersebut hadir berdasarkan pengamatan mereka menyaksikan dunia politik yang penuh harap dan kesengsaraan.

Sejak pada lirik pertama hingga akhir, Polka Wars memang cenderung gemar menggunakan majas seperti metafora. Berdasarkan definisi umum, menurut Panuti Sudjiman (20), majas adalah pemakaian kata yang melewati batas-batas maknanya yang lazim atau menyimpang dari arti harfiahnya. Pada bait pertama, Polka Wars telah menunjukkan sisi majasnya.

         “Terbelah jalan, hampa tujuan

         Berdagang asa, reka citranya

   Halau cahaya”

Ungkapan “Terbelah jalan, hampa tujuan.” mengandung makna tersirat atau tidak menyatakan sesuatu secara terbuka (metafora), kata tersebut bermaksud memberitahu bahwa ada harapan yang putus dan tujuan yang kosong. Dengan begitu, manusia tidak bisa lagi melewati jalan menuju harapan karena sudah tidak ada lagi tujuan tersebut.

Lanjut di baris kedua, “Berdagang asa, reka citranya.” Pernyataan tersebut memberi penjelasan bagaimana cara kerja penguasa menarik hati rakyat. Ada dua cara: pertama, berdagang asa: mendemonstrasikan visi-misinya kepada khalayak. Visi-misi tersebut tentu memiliki karakteristik yang sederhana (kalimatnya mudah dimengerti orang umum), idealis, memberikan perubahan, pemanfaatan yang fokus. Dengan kemasan yang menjanjikan tersebut, penguasa memperjual-belikan visi-misinya secara rahasia demi kepentingan tertentu; dan kedua, reka citranya: selain memiliki visi-misi, pasti perlu menunjukkan keunggulan diri sebagai bukti bahwa penguasa tersebut memiliki kemampuan yang sesuai untuk merealisasikan visi-misinya. Proses perniagaan tersebut, dirancang sangat tersusun dan rapi hingga penguasa memiliki rupa yang baik di mata rakyat bahkan sejak pada pandangan pertama.

Namun di baris ketiga, “Halau cahaya.”, mengemukakan bahwa meskipun di awal proses perniagaan tersebut sangat menjanjikan tapi pada akhirnya khalayak atau beberapa orang menyadari ada yang keliru dari kondisi tersebut. Adanya ketidak-seimbangan antara kebutuhan penguasa dengan kebutuhan khalayak dan adanya visi-misi yang tidak tereksekusi. Yang pada awalnya, penguasa memamerkan visi-misi dan rupa hebatnya, kini hanya menjadi timbunan atau kenangan tidak berguna. Kepercayaan kepada penguasa tentu hilang dan yang tersisa hanya penyesalan atas kepercayaan mereka selama ini. Pada bait kedua, Polka Wars semakin menggebu-gebu mengeksplorasi idenya tentang kekuasaan yang menipu.

“Nyatanya semu, angan tersapu

Alasan tak dapat belenggu

Hina adanya”

Di baris pertama, “Nyatanya semu, angan tersapu.” Menegaskan alasan kenapa rakyat hilang kepercayaan kepada penguasa tersebut, karena ternyata kehadiran penguasa ini tidak memberi konstribusi yang berarti alias visi-misinya hanya tipu muslihat. Kenyataan tersebut membuat rakyat kecewa beserta beragam harapan yang gugur. Di baris berikutnya, “Alasan tak dapat belenggu” berarti penguasa ini memang benar-benar seorang penipu, buktinya, setelah ingkar janji atas eksekusi visi-misi, penguasa pandai mendistorsi keadaan. Ia menyangkal segala kritik dari khalayak sebagai bentuk defensifnya. Segala alasannya—mau-tidak mau—suka-tidak suka—menjadi obat bagi kesakitan rakyat yang patah hati atas permainan penguasa. Maka dari itu, muncullah pernyataan, “Hina adanya.” Yang mengungkapkan betapa kedudukan rakyat begitu rendah di mata penguasa. Setelah penguasa berbuat jahat, ia sendiri yang memberi kesembuhan (kesakitan yang bertambah) meskipun dengan obat yang makin mematikan.

Saya mengelompokkan rakyat menjadi tiga tipikal (sebenarnya tipikal ini bisa semakin bercabang): jika ditipu, ia berontak; jika ditipu, ia tidak sadar dan semakin dibodohi; dan jika ditipu, ia menyadari itu namun pasrah pada keadaan. Sejauh ini, tipikal rakyat dalam lirik lagu Fatamorgana memiliki tipikal yang jika ditiipu, ia berontak. Namun situasinya akan berubah di bait keempat. Seluruh lirik lagu ini mengekspresikan rakyat sebagai sudut pandang orang kedua dan ketiga yang sangat marah pada penguasa. Mereka di sini sangat menyadari posisi dirinya yang rawan ditindas. Pada bait berikutnya, Polka Wars melanjutkan kejengkelannya pada penguasa melalui permainan kata.

“Ayat amunisi

Jaja ilusi”

Pada bait ini hanya terdapat dua baris singkat namun merangkum beberapa hal. Di baris pertama, “Ayat amunisi” menerangkan bahwa biasanya di belahan dunia sekalipun, para penguasa kerap menggunakan ayat kitab suci sebagai alat berorasi di hadapan rakyat untuk mendapatkan kekuasaan. Cara tersebut adalah upaya meyakinkan rakyat untuk bernaung di jalan penguasa dengan menekankan sisi spritualitas (sisi yang digemari orang umum). Namun situasi dalam teks ini adalah penggunaan ayat tidak relevan dengan tipu muslihatnya. Sehingga di baris berikutnya, “Jaja ilusi” bermaksud memberitahu bahwa betapa ayat-ayat yang terucap di bibir penguasa hanya sebagai penjualan omong-kosong. Penguasa sama sekali tidak menghendaki adanya perubahan hidup untuk kepentingan bersama. Mereka hanya menciptakan kepentingan pribadinya semata. Pada bait keempat adalah intropeksi diri rakyat atas kekecewaanya kepada penguasa.

“Berjanji, hindari

Nyata tipu dayanya

Fatamorgana! Fatamorgana!”

Di baris pertama dan kedua adalah satu kalimat yang menunjukkan sisi intropeksi diri, “Berjanji hindari nyata tipu dayanya.”. Setelah rakyat melewati pengalaman pahit yang ditipu oleh penguasa, mungkin untuk pertama kali atau kesekian kalinya, mereka meyakinkan diri untuk tidak terlena lagi kepada sosok penguasa yang gemar menipu.

Namun lucunya muncul kata, “Fatamorgana! Fatamorgana!” pada bait keempat yang juga dijadikan sebagai judul lagu ini. Menurut KBBI, fatamorgana artinya hal yang bersifat khayal atau tidak mungkin dicapai. Pengertian tersebut berarti memperlihatkan diri rakyat yang mudah goyah atas pendiriannya. Meskipun mereka berseru dan memantapkan hati untuk tidak termakan rayuan penguasa lagi, situasi tersebut akan terus terjadi. Hal ini menunjukkan bahwa betapa rakyat sangat bergantung kepada pemimpin (penguasa). Atas kebutuhannya tersebut, rakyat berusaha mencari dan memilih calon penguasa terbaik untuk dijadikan sebagai pemimpin di lingkungannya. Faktanya, para calon penguasa sangat jauh dari kesempurnaan dan sisi terbaik. Jadi rakyat memilih calon penguasa yang mendingan daripada tidak ada pemimpin (penguasa) sama sekali. Setelah proses pemilihan, mereka membangunkan kepercayaan kepada penguasa terpilih untuk kesekian kalinya. Dalam hal ini, rakyat telah menjadi tipikal yang jika ditipu, ia menyadari itu dan pasrah pada keadaan (tapi tetap mengkritik penguasanya). Pada bait kelima, Polka Wars kembali menyuarakan amarahnya dalam pengenangan tipu muslihat penguasa.

“Jamu menjamu, janji merayu

Alasan tak dapat belenggu

Amarah massa!”

Pada baris pertama, “Jamu menjamu, janji merayu.” Menerangkan perilaku penguasa saat proses perniagaan asa. Penguasa menjamu rakyat dengan sedemikian menarik dan menyenangkan. Dalam perjamuan tersebut, penguasa memidatokan visi-misinya kepada rakyat dengan suara yang lantang dan penuh semangat seakan pada saat itu juga penguasa siap mempertaruhkan nyawanya demi kepentingan massa. Contoh kasus, biasanya kita kerap menemukan situasi jamu-menjamu pada pesta rakyat di masa pemilihan calon pemimpin pemerintah di wilayah tertentu. Namun pada baris kedua dan ketiga, “Alasan tak dapat belenggu. Amarah massa!”, bergulirlah waktu dan berganti situasi di mana khalayak telah menyadari adanya kebobrokan sikap penguasa. Lalu kebobrokannya ia lapisi dengan alasan pengelakan agar selamat dari hantaman khalayak. Kita pun tahu, tampaknya semarah apapun dan sehebat apapun khalayak, pemenangnya adalah penguasa. Pada bait terakhir, Polka Wars seperti memberi nasihat kepada penguasa secara implisit.

“Ayat yang terjual

Tak ingat ajal”

Dua baris terakhir dalam lagu ini sebagai penutup yang apik untuk Polka Wars menyampaikan nasihat tertutupnya, mengenai barangsiapa yang berdusta atas ayat yang disampaikan demi kepentingan tertentu (bukan untuk kemaslahatan rakyat) akan mendapat balasan setimpal saat ajal menjemput. Tentu barangsiapa tersebut tertuju kepada penguasa berdaya tipu muslihat.

Dari keseluruhan penafsiran lirik lagu Fatamorgana ini menerangkan duduk perkara makna “Fatamorgana” itu sendiri. Di awal, Polka Wars menyajikan tiga bait pertama sebagai perspektif rakyat dalam menilai penguasa. Rancangannya terstruktur untuk perubahan yang lebih baik berdasarkan visi-misi dan citranya. Namun pada masa kekuasaannya (kepemimpinannya), penguasa tersebut ingkar janji. Ia tidak mengeksekusi visi-misinya. Lalu rakyat menyadari kekeliruan tersebut dan membongkar segala kebejatan penguasa dengan beragam bukti. Tapi di samping itu, meskipun mereka merasa hancur atas kekecewaannya dan berjanji tidak akan terjerumus lagi pada jenis penguasa serupa, rakyat akan tetap mengalaminya terus-menerus. Walaupun memang tidak ada yang sempurna di dunia ini, termasuk seorang pemimpin, tapi juga, apakah masih ada pemimpin yang tidak berdaya tipu muslihat? Berhubung rakyat membutuhkan sosok penguasa (pemimpin) untuk kesejahteraan bersama.

Pustaka Acuan

Damono, Sapardi Djoko. Pengantar Sosiologi Sastra. Ciputat: Editum, 2009.

Noor, Redyanto. Pengantar Pengkajian Sastra. Semarang: Fasindo, 2007.

Sudjiman, Panuti. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: UI Press, 1990.

Siswantoro. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2010. 

Kamis, 05 Agustus 2021

Merawat Kata adalah Upaya Membela Kesadaran Karya Moh. Zahirul Alim dan Laras Sekar Seruni

 oleh Fena Basafiana


Kita telah menjumpai ratusan bahkan ribuan puisi bertaburan di koran, majalah, buku, dinding toilet, tiang listrik, hingga internet. Pemahaman mengenai puisi pun semakin leluasa bagi masyarakat. Sebagian orang berpendapat bahwa setiap kata-kata yang tertuang dalam bentuk tulisan apapun mengandung kepuitisannya masing-masing. Apalagi sebagian orang lebih menikmati dan menciptakan puisi secara absurd. Dengan begitu, perkembangan karakteristik puisi kini semakin tak terjangkau maknanya.

 Alih-alih mendekatkan diri pada era postmodernisme (bahkan definisi era tersebut masih terus diperdebatkan keabsahannya oleh para ahli), menurut Sugiharto dalam bukunya berjudul Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat mengemukakan bahwa kecenderungan postmodernisme dalam berseni adalah hilangnya batas antara seni dan kehidupan sehari-hari, juga tumbangnya batas antara budaya tinggi dan budaya pop sehingga yang tercermin hanyalah pengulangan masa lalu tanpa kedalaman. Ketika orang-orang termanjakan oleh kenikmatan era tersebut, berbeda dengan Moh. Zahirul Alim dan Laras Sekar Seruni. Mereka memandang puisi sebagai upaya membela kesadaran dalam merespons kehidupan sederhana lewat karyanya berjudul Merawat Kata.

Sebelum menelanjangi buku kumpulan puisi Merawat Kata, saya ingin berkeluh-kesah dahulu. Secara pribadi, saya pernah kecewa kepada bahasa sebagai alat untuk menerangkan berbagai macam makna. Sebenarnya bahasa memang bisa dipakai dengan baik-baik saja untuk keperluan sederhana, seperti “saya ingin makan” yang berarti saya memang mau makan, “saya ingin belajar Matematika” yang berarti saya mau belajar Matematika. Namun seiring pemahaman saya, situasinya bisa kacau karena kecanggihan pemikiran manusia.

Manusia mempelajari makna melalui Semantik dan Pragmatik. Mereka berdua saling bekerja sama di mana Semantik meraih hubungan antara lambang dengan obyeknya dan Pragmatik meraih hubungan lambang dengan penafsirannya. Mereka juga saling bahu-membahu ketika Pragmatik mengalami kebuntuan, Semantik mengambil alih dalam menginterpretasi makna. Namun keintiman tersebut hanya muncul dalam permukaan saja. Dalam praktiknya, mereka kerap tidak sepenuhnya akrab dan akur. Apalagi beberapa ahli berusaha memisahkan mereka berdua karena pada dasarnya dalam bahasa ada aturan tiga disiplin berdasarkan derajat abstrak, ialah sintaksis, semantik, dan pragmatik. Berpacu dari kerumitan dasar tersebut, saya akhirnya mencoba memahami, barangkali dalam penciptaan makna, manusia memerlukan kooperasi antara pikiran dengan perasaan.

Bayangkan, ada sepasang atau perkumpulan manusia yang saling adu bicara mengenai topik tertentu. Mereka bertengkar tanpa perkelahian fisik, melainkan melalui perkelahian makna. Senjata mereka bukanlah kekuatan fisik atau benda berbahaya, tapi kekuatan bahasa. Lalu di mana “perasaan” mereka bekerja untuk mencapai kesepakatan makna? Betapa pemaknaan begitu tidak mungkin mencapai ujungnya. Berkaitan dengan keputusasaan tersebut, ada satu hal yang terlewat dalam kasus perkelahian makna di atas, manusia perlu membela kesadaran. Sesuatu yang hadir di sana, mungkin hanya sebatas membela keegoisan. Perkara kesadaran, saya menemukan itu dalam karya Zahir dan Laras.

Buku kumpulan puisi ini terdiri dari 20 judul puisi karya Laras Sekar Seruni dan 30 judul puisi karya Moh. Zahirul Alim. Kedua penulis ini tidak memiliki warna dan pola yang senada. Perihal metafora, Laras lebih berhasrat mempermainkan kata-kata secara lincah, sedangkan Zahir cenderung menampilkan keadaan secara tepat sasaran tanpa persembunyian. Pertentangan tersebut menjadi menarik untuk saya amati sebagai dua sensasi pembacaan dalam satu buku. Meskipun perbedaan tersebut cukup nampak, mereka memiliki pemikiran dan tinjauan yang hampir serupa.

Kesamaan mereka adalah kerap menampilkan sisi spiritualitas beserta sejarah dan perkembangannya. Laras dan Zahir beberapa kali menuangkan kedekatan mereka saat berkomunikasi dengan tuhan mengenai keresahan memandang kehidupan sehari-hari.

Misalkan dalam Kita Hari Ini karya Laras,

“selepas isya aku tafakur di sampingmu, mencoba moksa. tarian angin malam mengantarkan kamu pada bait-bait rindu kampung halaman. kita berjalan melewati rerindang tembok berlampu abu-abu, desih napas menyatu, menyiratkan aku ingin tetap bersama kamu.

[…] selepas itu aku lelap, penyap mengembara menuju belantara, saujana hanya ada bunga-bunga puisi yang kamu cipta. Sambil menanti pagi, aku menikmati kamu yang kian hari kian menepi dari lelehan kuantum jangkar yang akan kamu buang sebentar lagi.”

Usai beribadah, tokoh “aku” menunjukkan dirinya berada di samping tuhan secara khidmat. Mereka melakukan tarian bersama hingga sampai ke kampung halaman, yang berarti menuju pulang. Dalam kepulangan tersebut, suasana begitu sangat rindang dan asri. Saya membayangkan kondisi ini sebagai romantisasi tuhan bersama manifestasi pilihannya. Tidak semua manifestasi tuhan memiliki kesadaran atas keberadaan tuhan. Sosok “aku” dalam puisi ini bahkan mampu melampaui kesadaran atas keberadaan. Ia juga sadar atas kecintaan dan kebutuhannya pada tuhan. Ia menyelami bahwa dunia yang ditinggali kini amat penyap dan karang. Apapun keberhasilan manusia di dunia, kenikmatan dan keselamatan paling fundamental adalah bersama tuhan. Laras juga menyisipkan bahwa tuhan akan menampilkan hari akhir kelak melalui tuhan yang menepi dan jangkar yang terbuang sebagai bentuk dunia.

Dalam Jalan Pulang karya Zahir,

“maka aku berdoa

tunjukilah aku jalan pulang yang benar jalan yang senantiasa membawaku

tepat ke titik akhir perjalanan panjang ini”

Hampir setinjau dengan Laras, Zahir pun juga tampak memiliki perasaan yang menyatu dengan tuhan. Saat berbicara tentang pulang, secara lugas tokoh “aku” meminta petunjuk kepada tuhan karena ia menyadari bahwa ia mudah tersesat di dunia. Alih-alih kepada manusia cerdas dan pandai menyelesaikan semua masalah, Zahir mengingatkan kepada saya untuk sadar bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluk yang terbatas kemampuannya. Maka dari itu, pergilah menghadap tuhan.

Masih dalam seputar ketuhanan, Laras juga merepresentasikan cerita Abraham dalam Lelaki Api; kepada Abraham, Ibrahim.

“namun ia membelalak.

tubuh si lelaki melenggang keluar dari kobaran api—bersama bajunya yang terbuat dari rumbia, dan alas kakinya yang menjilat-jilat tanah pagi”

Cerita familiar tersebut dikemas kembali oleh Laras dengan keterampilan metaforanya. Saya sempat tergelitik akibat cara Laras membentuk sosok Abraham yang manis dan menggemaskan. Padahal pada cerita aslinya, situasi pasti menegangkan dan menakutkan karena ada pembakaran manusia. Di sini saya menerka bahwa Laras mengajak pembaca untuk memiliki kesadaran utuh mengenai perasaan Abraham pada saat itu. Karena teramat mempercayai dan mencintai tuhan, Abraham melangkahi kakinya menuju bara api dengan perasaan suka cita.

Ditambah puisi Zahir yang sangat spontan dan tepat sasaran dalam Cadas.

“anak cucu hawa yang katanya mudah tersentuh

mengapa menjadi cadas dan brutal? tanyaku untuk mereka jawab”

Membaca puisi spontan ini mengingatkan saya kepada W.S. Rendra yang berkarya tanpa menyembunyikan apapun. Zahir pun demikian. Saya membayangkan, sesuatu yang mengganjal dalam pikirannya akan ia keluarkan ke dalam karya tanpa ada transisi atau perubahan. Ketika Zahir mengamati bahwa semakin lama zaman semakin brutal, ia membela kesadaran itu dengan menuangkan keresahan secara apa adanya.

Selain itu, beberapa puisi Laras dan Zahir juga mengangkat isu sosial. Namun ada perbedaan ketertarikan di antara mereka dalam hal ini. Saya memakluminya karena perbedaan gender yang secara sadar atau tidak mempengaruhi selera isu sosial mereka.

Dalam Si Tukang Roti, Laras menampilkan tragedi pemerkosaan.

“Aku menggeliat manja

ketika jemari berwarna langking menyentuh, merobek, dan mendorong

Tubuhku ikut berkelindan dengan tulang dan lidah juga liur

Lumat dan moksa tanpa kenal dosa”

Saya yang juga bergender sama dengan Laras, semakin membela kesadaran saya terhadap gambaran pilu ini. Tindakan kriminal seperti pemerkosaan tidak bisa diprediksi secara konkret kedatangannya. Laras mendeskripsikannya seakan berada di perkampungan di mana orang-orang beraktivitas seperti biasa dan berbaur dengan tetangga. Namun tiba-tiba seorang anak perempuan kena celah pemerkosa untuk dibabat habis. Hal penting yang saya dapatkan dari puisi ini adalah membela kesadaran berarti menjadikan diri jauh lebih berhati-hati dan siaga.

Sementara Zahir dalam Alam Kita berseru kepada para penghuni bumi yang semakin semena-mena.

“aku, kamu, dan semuanya haruslah sadar

kita tak hidup sendirian mengurusi hakikat

diri sibuk dengan ego keakuan lupa hak-hak sekeliling”

Seperti biasanya, Zahir selalu berusaha tidak menyembunyikan apapun dalam puisinya. Dalam kekecewaan pun, ia masih menaruh harapan kepada penghuni bumi untuk saling menjaga tempat tinggal mereka bersama. Meskipun dunia tampak semakin rapuh, Zahir tetap membela kesadaran dengan optimis atas perubahan yang lebih baik.

Begitu banyak pilihan untuk kita tetap bisa membela kesadaran yang berujung pada terpeliharanya kewarasan. Merawat Kata adalah salah satu pilihan tersebut. Perihal kekecewaan saya terhadap bahasa semestinya menjadi penerimaan terhadap realita. Sejatinya kita tidak punya pilihan lain selain tetap melanjutkan hidup dengan keterbatasan bahasa dan alat hidup lainnya.

Kamis, 23 April 2020

Representasi Sifat-sifat Ketuhanan Agama Monoteisme dalam Novel Semua Ikan di Langit Karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie


FESTIVAL LITERASI TANGSEL
Diskusi Publik bersama Rusabesi
Oleh Fena Basafiana




Dalam esai ini, saya ingin menunjukkan bahwa novel Semua Ikan di Langit menghadirkan kembali sifat-sifat ketuhanan agama monoteisme melalui Beliau sebagai salah satu tokoh utama yang tidak lazim. Beliau memiliki lima sifat ketuhanan agama monoteisme, di antaranya: Beliau adalah satu-satunya sosok superior yang tidak membutuhkan siapapun, beliau mampu menciptakan segalanya bahkan dari hal yang tiada, Beliau selalu menolong siapapun yang berharap kepadanya, Beliau ada di mana-mana dan mampu berada di luar konsep waktu manusia, beliau tidak pernah salah dalam memahami siapapun. Dengan demikian, novel ini tidak mengidentifikasi Beliau sebagai Tuhan melainkan ia memiliki sifat- sifat ketuhanan agama monoteisme.
Monoteisme merupakan kepercayaan pada Tuhan tunggal yang menciptakan seluruh alam semesta dan mengendalikan urusan manusia. Monoteisme hadir dalam tiga keyakinan yang saling terkait: Yahudi, Kristen dan Islam (Karen 20-23). Pada zaman kuno, ajaran monoteisme dipelopori oleh Abraham pada abad ke-19 namun tidak diterima oleh masyarakat Mesopotamia. Perjuangan Abraham menyebarkan visi Monoteisme membuat raja Namrud menghukumnya dengan dibakar dalam api besar, tetapi Abraham diselamatkan oleh Tuhan. Akhirnya, Abraham dan keluarganya keluar dari Mesopotamia. Namun, masyarakat Mesopotamia masih banyak menyembah dewa-dewa (Noer 41).
Monoteisme sebagai salah satu gagasan tertua yang dikembangkan manusia untuk menjelaskan misteri dan tragedi kehidupan. Manusia diperingatkan oleh para monoteis untuk tidak berharap mengalami Tuhan sebagai fakta objektif yang dapat ditemukan melalui proses pemikiran rasional biasa karena gagasan tentang Tuhan adalah produk dari imajinasi kreatif. Beberapa monoteis terkemuka dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan adalah realitas paling penting di dunia (Karen 23-28).
Beberapa studi tentang pemahaman monoteisme telah menciptakan beberapa perspektif, salah satunya berdasarkan pemahaman Ibnu Arabi tentang kesatuan wujud (Wahdat al-Wujud). Arabi mengemukakan bahwa Tuhan adalah makhluk mutlak dan seluruh alam semesta beserta isi-Nya merupakan manifestasi- Nya untuk menunjukkan diri-Nya (Afifi 13). Tuhan mencakup semua fenomena yang ada dan sumber daya dalam memancarkan seluruh alam semesta. Hubungan semua ciptaan kepada Tuhan adalah seperti pantulan di cermin atau antara bayangan dan sumber bayangan, dengan demikian alam semesta adalah cerminan dari Tuhan (Noer 150).
Bahkan, ada beberapa sifat ketuhanan yang dimiliki oleh manusia secara tidak lazim. Seperti, Yesus (Isa) adalah salah satu manusia yang memiliki sifat-sifat ketuhanan melalui karakteristik dan tindakannya. Pada masa hidupnya, ada beberapa peristiwa yang melampaui kemampuan manusia. Yesus menghidupkan empat orang, ia dapat menyembuhkan semua penyakit dan berjalan di atas air (Taqra 3). Contoh tersebut menunjukkan kebesaran Tuhan sebagai argumen dasar bahwa Tuhan memanifestasikan seluruh alam semesta untuk menunjukkan diri-Nya.
Selanjutnya, fenomena tentang sejarah monoteisme ini tidak hanya ditemukan dalam realitas kehidupan sosial, tetapi juga dalam karya sastra seperti dalam film dan novel. Karya sastra merupakan salah satu unsur dalam menyampaikan nilai-nilai ketuhanan atau kepercayaan tertentu. Melalui karya sastra, orang akan lebih tertarik dan mudah mempelajari nilai yang disampaikan. Banyak dari mereka secara eksplisit menyebutkan nama agama dan menggunakan tokoh agama sebagai karakter dalam kisah mereka. Sebagai contoh, dalam dua film Muhammad: The Last Prophet (2002), The Passion of Christ (2004) dan satu novel Life of Pi (2001). Berbeda dengan representasi agama dan kepercayaan Tuhan di atas, ada satu novel yang membahas monoteisme secara implisit melalui tokoh tidak lazim. Tokoh tidak lazim tersebut bukanlah manusia pada umumnya, salah satunya adalah Beliau. Karakter tersebut merepresentasikan sifat-sifat ketuhanan agama monoteisme tanpa menyebut nama "Tuhan" dan nama agama tertentu. Novel tersebut berjudul Semua Ikan di Langit karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie.
Novel ini menggunakan sudut pandang orang pertama ialah Bus Damri. Novel ini menceritakan tentang perjalanan Beliau dengan Bus dan sekumpulan ikan julung-julung yang berada di sekeliling Beliau, lalu datang kecoak perempuan bernama Nad yang ikut bergabung dalam perjalanan mereka. Mereka menjelajah antar dimensi. Penulis memulai cerita dengan pergi ke Kamar Paling Berantakan Sedunia, di sana, Beliau menyelamatkan kucing dari tempat yang buruk. Kemudian mereka pergi ke langit dan bertemu dengan beberapa tokoh seperti Anak yang Terlempar dari Ayunan dan beberapa pohon besar. Ada tiga pohon di langit yang menceritakan kepada Bus tentang Beliau di masa lalu, seperti kisah persahabatan antara Beliau dengan anak laki-laki lain yang dibakar oleh masyarakat karena mereka tidak percaya kepada kebesaran Beliau, lalu Beliau membantu anak laki-laki tersebut dari bahaya. Mereka juga pergi ke laut dan bertemu Si Jahanam yang menghancurkan dunia tetapi kemudian dunia diciptakan kembali oleh Beliau. Di tengah perjalanan, tiba-tiba Nad tidak percaya segala kebesaran Beliau sehingga nad dihancurkan oleh Beliau. Sosok Beliau yang dimuliakan dan mampu menciptakan serta mengendalikan seluruh alam semesta menjadi sebuah kisah yang merepresentasikan sifat-sifat ketuhanan agama monoteisme.
Penulis menggunakan konsep representasi oleh Stuart hall dalam menganalisis masalah dan untuk memberikan kontribusi jawaban. Representasi adalah produksi konsep dalam pikiran melalui bahasa. Representasi berarti menghadirkan kembali suatu citra tertentu melalui teks salah satunya karya sastra dalam novel ini. Hall (16) menjelaskan dari Shorter Oxford English Dictionary bahwa representasi memiliki dua makna yang relevan:
     1.  Merepresentasikan sesuatu berarti untuk menggambarkannya, menyebutnya dalam pikiran dengan deskripsi atau penggambaran atau imajinasi; untuk menempatkan keserupaan itu di depan kita di dalam pikiran kita atau dalam indra.
  2. Merepresentasikan sesuatu juga berarti melambangkan, membela, menjadi spesimen, atau menggantikan.
Representasi sebagai mediator untuk menghubungkan antara masalah dengan konsep monoteisme. Penulis menggunakan konsep monoteisme berdasarkan perspektif Ibnu Arabi yang berpendapat bahwa Tuhan memanifestasikan seluruh alam semesta sebagai penampakan realitas untuk menunjukkan diri-Nya.
Monoteisme memberi tahu bahwa Tuhan adalah satu, sempurna, tidak berubah, pencipta seluruh alam semesta, mewajibkan pengabdian kepada satu entitas tertinggi. Singkatnya, monoteisme adalah kebalikan dari ateisme dan politeisme. Menurut konsep ini, Tuhan terlibat dan mendominasi dunia, Ia juga layak untuk disembah dan dihormati oleh semua makhluk (Arijal 105-106).
Ibnu Arabi tidak menolak politeisme, selama para penyembah patung-patung dan gambar-gambar sepenuhnya menyadari bahwa di balik bentuk-bentuk tuhan mereka, ada satu realita dan memandang bentuk-bentuk tersebut hanya sebagai manifestasi dari kenyataan ini sehingga memandang berhala buatan adalah kosong (Rofi'ie 9).
Dalam tiga agama monoteisme: Yahudi, Kristen dan Islam, mereka hampir memiliki sifat-sifat ketuhanan yang sama berdasarkan kitab mereka dan dimiliki oleh Beliau dalam novel ini, sebagai berikut:
Superior: Tuhan adalah satu-satunya sebagai figur yang superior dan mampu berdiri sendiri.
Pencipta: Tuhan mampu menciptakan seluruh alam semesta.
Penolong: Tuhan akan menolong siapapun yang mengikuti dan menyembah-Nya.
Hadir di mana-mana: Tuhan hadir di semua tempat sekaligus dan tidak memiliki awal, maupun akhir dan ada di luar konsep waktu manusia.
           Pendengar: Tuhan tahu segalanya karena Dia selalu mendengarkan dan tidak pernah salah dalam memahami siapapun.
Beliau sebagai salah satu karakter utama tidak lazim merepresentasikan sifat- sifat ketuhanan agama monoteisme. Tindakan-tindakan dari beberapa tokoh tidak lazim lainnya seperti Bus, ikan julung-julung dan Nad juga mendukung konsep monoteisme melalui bagaimana mereka menanggapi Beliau. Penelitian ini menunjukkan keberadaan Tuhan melalui Beliau yang memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
1.        Superior

Novel ini menggambarkan Beliau sebagai figur superior yang tidak membutuhkan siapapun sama sekali. Dalam novel, Beliau memiliki dominasi bahkan kehadirannya menunjukkan bahwa semua tokoh lain bergantung padanya. Karakteristik tersebut mirip dengan salah satu sifat ketuhanan agama monoteisme yang dapat berdiri sendiri. Byrne (25-122) menjelaskan dalam Yahudi bahwa Tuhan adalah satu-satunya sebagai figur yang superior dan absolut; dalam Kristen, Tuhan ada dengan sendirinya yang memiliki hidup di dalam diri-Nya dan tidak bergantung pada siapapun; dalam Islam, Tuhan secara unik diposisikan lebih tinggi daripada dewa atau orang lain dan tidak dapat dibandingkan dengan benda atau orang lain.
Bus yang selalu bersama Beliau sering merasa bingung tentang mengapa Beliau ingin ditemani Bus padahal Beliau mampu berdiri sendiri. Beliau mengundang Bus dan Nad dalam melintasi ruang dan waktu untuk memperkenalkan keajaiban- keajaibannya. Beliau memimpin beberapa tokoh lain untuk menggambarkan sedikit pemahaman mengenai alam semesta (Zezsyazeoviennazabrizkie 5). Sebelum bertemu dengan Beliau, Bus memiliki kemampuan membaca pikiran makhluk hidup jika mereka menginjak latar Bus. Tetapi Bus tidak bisa membaca pikiran Beliau karena ia selalu terbang setiap masuk ke dalam Bus. Beliau mampu melakukan apa saja termasuk terbang dalam setiap keadaan. Jadi, ketika Beliau ada di dalam Bus, Bus tidak bisa membaca pikiran Beliau.
Bus menyadari jika ia mampu membaca pikiran Beliau, Bus tidak akan pernah mampu menampung semuanya karena Beliau mengendalikan seluruh alam semesta. Otomatis, Bus akan membaca seluruh jagat raya jika ia dibiarkan membaca pikiran Beliau.
Selama perjalanan, Beliau menunjukkan kepada tokoh lain tentang beberapa hal mengenainya dan beberapa bagian kecil dari alam semesta. Namun, tokoh lain memiliki keterbatasan dalam menginterpretasikan Beliau. Beliau memang memiliki berbagai tujuan di setiap ciptaan, tetapi ia tidak menunjukkan seluruh tujuan kepada tokoh lain. Di sisi lain, Bus percaya bahwa Beliau ingin dipahami dengan cara lain. Beliau membiarkan tokoh lain menemukan identitasnya dan tujuan seluruh ciptaan sesuai dengan pemahaman masing-masing karakter.
Perspektif tokoh lain tentang Beliau juga dikendalikan oleh Beliau sendiri. Beliau memegang kekuasaan sehingga ia menetapkan bagaimana seharusnya setiap tokoh menjalani perannya. Beliau juga mampu mengendalikan tokoh lain dalam menafsirkan identitasnya. Kondisi ini membuat Beliau menjadi sosok superior dalam novel ini.
2.        Pencipta

Novel ini menggambarkan bagaimana Beliau sebagai satu-satunya yang mengatur alam semesta. Karakteristik tersebut mirip dengan salah satu sifat ketuhanan agama monoteisme yang mampu menciptakan. Dalam novel, Beliau memiliki otoritas untuk menciptakan segalanya. Byrne (25-122) menjelaskan dalam Yahudi bahwa Tuhan sebagai superior di alam semesta dan sebagai pemimpin duniawi dan surgawi sehingga segalanya digambarkan sebagai karya kreatif tangan-Nya; dalam Kristen, Tuhan memerintah atas segala sesuatu dengan kontrol mutlak; dalam Islam, Tuhan adalah satu-satunya pencipta dan telah menciptakan segalanya dari ketiadaan, bahkan di luar imajinasi manusia.
Beliau memiliki kemampuan untuk menciptakan segalanya. Ia suka menjahit sesuatu seperti boneka, lalu boneka itu dikirim ke anak-anak yang kesepian di malam hari dan boneka-boneka itu hidup untuk menyelamatkan anak-anak dari monster di bawah tempat tidur. Boneka-boneka hidup itu dibuat dengan kreasi yang tidak sempurna dan sempurna. Beliau juga mampu menciptakan galaksi yang terbuat dari permen di langit yang gelap. (Zezsyazeoviennazabrizkie 123).
Hampir setiap tokoh dalam novel seperti Bus, kecoak, pohon besar dan seluruh alam semesta diciptakan oleh Beliau. Kreasi itu dibuat dengan menjahit tangan dalam berbagai kualitas; tidak semua ciptaannya sempurna dan indah tetapi juga ada yang cacat, tidak sempurna atau bau. Kreasi yang sempurna dan tidak sempurna itu bertujuan untuk membuat mereka saling mengenal dan menghargai. Meskipun demikian, mereka masih memiliki fungsi untuk saling melengkapi satu sama lain.
3.      Penolong

Sifat ketuhanan agama monoteisme lain yang hadir dalam tokoh Beliau adalah penolong. Selama perjalanan, Beliau sering menunjukkan dirinya sebagai penolong terbaik untuk tokoh lain. Byrne (25-122) menjelaskan dalam Yahudi bahwa Tuhan sebagai pahlawan bagi siapa saja yang mengikuti dan memuja-Nya; dalam Kristen, Tuhan mengetahui sebelumnya yang telah mengenal dan mengasihi umat- Nya sejak kekekalan; dalam Islam, Tuhan menjawab doa dan pujian dari mereka yang mengikuti dan menyembah-Nya. Dalam novel menunjukkan bahwa Beliau selalu memperhatikan siapapun dan jika mereka memiliki pengalaman yang menyedihkan dan kemudian memanggilnya, Beliau akan selalu datang kepada mereka untuk membantu mereka.
Zezsyazeoviennazabrizkie menjabarkan beberapa hal pertolongan: Beliau pernah menolong Bastet (seekor kucing) untuk melarikan diri dari Kamar Paling berantakan di Seluruh Dunia ke tempat yang lebih baik (13-14); Selain itu, Beliau memperbaiki hati Shoshanna setelah perang di Jerman pada 1944 dan mengeluarkannya dari sana (46); Beliau juga membantu pria miskin yang mencintai wanita kaya raya dengan cara memberikan beberapa biji kepada pria tersebut untuk menyenangkan hati wanita tersebut hingga akhirnya mereka menikah (138-145); Beliau pernah membantu seorang anak lelaki saat dibakar dengan cara menyuruh api menjadi tidak panas, itu terjadi karena seorang anak lelaki berpendapat bahwa Beliau harus dicintai lebih dari apa pun tetapi orang-orang menentang pendapatnya (196-199).
Beliau membantu tokoh lain dengan beragam jenis. Ada tokoh yang langsung dibantu dan ada pula tokoh yang dites terlebih dahulu oleh Beliau sebelum mendapatkan bantuan. Dua jenis bantuan tersebut dilakukan agar bantuan sesuai dengan kebutuhan masing-masing setiap tokoh. Kondisi tersebut sering pula kita rasakan sebagai manusia yang mempertanyakan pertolongan dari Tuhan. Tuhan menggerakkan ciptaan-Nya untuk menolong ciptaan-Nya yang lain, sekaligus memberi tahu keberadaan Tuhan itu sendiri.
4.      Hadir di Mana-mana

Sifat ketuhanan agama monoteisme lainnya adalah Beliau hadir di mana- mana. Dalam novel, Beliau mampu melampaui konsep ruang dan waktu berdasarkan pemahaman manusia. Beliau mampu menuju masa lalu dan masa depan. Byrne (25-122) menjelaskan dalam Yahudi bahwa Tuhan adalah raja dunia dan surga selamanya; dalam Kristen, Tuhan ada di mana-mana yang tidak terbatas dan hadir di semua tempat sekaligus; dalam Islam, Tuhan adalah yang kekal yang tidak memiliki awal, tanpa akhir dan ada di luar konsep waktu manusia. 
Pernyataan bahwa Beliau ada di mana-mana ketika ia, Bus dan Nad melakukan perjalanan ke luar angkasa. Beliau membawa Bus dan Nad melintasi ruang dan waktu. Mereka pergi ke masa lalu, sekarang dan masa depan. Beliau memperkenalkan Bus dan Nad tentang kemampuannya menjelajahi waktu (Zezsyazeoviennazabrizkie 53).
Sifat ini mengingatkan kita pada kisah Muhammad dalam sejarah Islam yang mampu melintasi antar dimensi dalam perjalanan Isra Mikraj-nya dari bumi menuju langit ke tujuh untuk menemui Tuhan serta menjalankan perintah-Nya. Peristiwa tersebut yang juga dialami dalam novel ini menunjukkan keberadaan Tuhan melalui ciptaan pilihan-Nya, serta mengenalkan bagaimana makhluk hidup seharusnya menjalankan perannya di alam semesta ini.
5.      Pendengar

Sifat ketuhanan agama monoteistime yang terakhir adalah Beliau sebagai pendengar. Dalam novel, meskipun Beliau tidak berbicara dengan tokoh lain, Beliau mampu memahami semua kebutuhan tokoh lain. Byrne (25-122) menjelaskan dalam Yahudi bahwa Tuhan adalah penyelamat untuk membebaskan umat-Nya; dalam Kristen, Tuhan sebagai mahatahu yang mengetahui segala sesuatu; dalam Islam, Tuhan mengetahui segala sesuatu yang ada di alam manusia, segala sesuatu yang tersisa di luar pemahaman manusia dan segala sesuatu yang manusia coba sembunyikan.
Ketika Bus merasa khawatir tentang perasaan dan keajaiban Beliau, Beliau tahu itu dan kemudian menunjukkannya melalui tindakan. Beliau membawa Bus ke tempat menakjubkan di langit, lalu melukis gambar Bus yang dicat gula di angkasa luar. Akhirnya, Bus percaya bahwa Beliau mencintainya (Zezsyazeoviennazabrizkie 68). Beliau juga tidak pernah salah dalam memahami siapapun. Meskipun Beliau tidak pernah bicara, kemampuanya untuk memahami ciptaannya berada di luar kemampuan siapapun.
Seringkali kita merasa kurang dimengerti oleh lawan bicara dengan beragam argumen yang berakhir kekecewaan. Sementara yang kita ketahui, Tuhan tidak berbicara pada ciptaan-Nya namun Ia mampu mengurus kehidupan kita sesuai kebutuhan dengan disadari atau tidak. Sifat ini juga mengingatkan kembali kepada kita untuk percaya kepada Tuhan tunggal bahwa Ia mendengar segala harapan kita dan mencurahkan harapan tersebut dengan semestinya. Pemahaman ini juga menjadi salah satu dasar bahwa segalanya merupakan cerminan-Nya.
Pada akhirnya, kita semua juga merupakan manifestasi Tuhan dalam menunjukkan diri-Nya. Kita juga memiliki sifat-sifat ketuhanan yang secara alamiah dimiliki semua makhluk hidup seperti ada rasa kasih sayang, saling menolong dan memiliki rasa ingin memahami orang lain. Namun, tokoh Beliau yang memiliki sifat- sifat ketuhanan di luar manusia pada umumnya, Seperti dalam realita, Yesus (Isa) dan Muhammad memiliki kemampuan yang melampaui batas manusia, semakin menyakinkan keberadaan Tuhan yang tunggal dengan seluruh ciptaan-Nya.

Daftar Pustaka 

Arijal, Hasbi. “Problem Konsep Monoteisme dalam Agama-Agama Semit.” Jurnal Kalimah, vol. 13, no. 1, 2015, pp. 104-124.
Armstrong, Karen. A History of God: The 4,000-Year Quest of Judaism, Christianity and Islam. New York: Ballantine Books, 1993.
Byrne, Máire. The Names of God in Judaism, Christianity, and Islam: A Basis for Interfaith Dialogue. London: Continuum International Publishing Group, 2011.
Hall, Stuart. Representation: Cultural Representations and Signifying Practices.
London: Routledge, 1997.

Noer, Kautsar Azhari. Tradisi Monoteistik. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002.

Rofi’ie, Abd Halim. Wahdat al Wujud dalam Pemikiran Ibnu Arabi. Research Gate, 2 Feb.  2016,  www.researchgate.net/wahdat-al-wujud/ibnu-arabi/.  Accessed 7
May 2018.

Taqra, Muham. Beautiful Story of Prophet Jesus (Isa) and Virgin Mary (Maryam) in Islam. Bangkok: BooksMango, 2015.

Zezsyazeoviennazabrizkie, Ziggy. Semua Ikan di Langit. Jakarta: Grasindo, 2017.

Garin Nugroho Membasuh Pikiran Masyarakat

oleh Fena Basafiana             Bagi para pecinta film Indonesia, pasti sudah tidak asing lagi dengan sosok Garin Nugroho. Ia adalah sut...