A.
Pendahuluan
Karya
sastra bisa dikatakan sebagai pengungkapan kehidupan masyarakat yang disajikan
ulang oleh penulis dengan lebih menarik, untuk kemudian direnungkan kembali
oleh pembaca. Dongeng merupakan salah satu pengungkapan kehidupan masyarakat
yang sampai saat ini masih diceritakan kembali. Cerpen Perempuan Buta Tanpa Ibu Jari karya Intan Paramadhita adalah salah
satu karya sastra yang merepresentasikan perempuan konservatif dalam kehidupan
sosial melalui versi lain dari kisah Cinderella.
Hal tersebut terungkap berdasarkan peran para tokoh perempuan dalam dunianya
masih terjerumus dalam sistem patriarki.
Kisah Cinderella yang masih menjadi dambaan
perempuan mulai dari anak-anak hingga dewasa menuai banyak kritik dari aktivis
feminisme. Pasalnya, cerita tersebut mencerminkan perempuan yang tidak mandiri.
Lieberman (9) berpendapat bahwa dongeng (salah satunya kisah Cinderella) menyajikan sosok perempuan yang
pasif, patuh dan tidak berdaya. Perempuan dalam dongeng hanya akan menemukan
kebahagiaan melalui pernikahan. Dongeng dapat menjadi agen sosialisasi yang
menyurutkan kesadaran perempuan terhadap potensi positifnya sebagai manusia.
Asumsi tersebut menekankan bahwa perempuan berbeda dan tidak sederajat dengan
laki-laki.
Kesetaraan
antara perempuan dengan laki-laki ini telah dipelori oleh beberapa perempuan.
Mereka menyadarkan orang-orang untuk mengakhiri subordinasi yang dialami
perempuan. Dengan gerakan feminisme tersebut bertujuan meruntuhkan anggapan
posisi perempuan yang inferior dan menciptakan kesetaraan sosial. Lalu
feminisme berkembang menjadi beberapa bagian, salah satunya feminisme liberal.
Feminisme
liberal berkembang di barat pada abad ke-18, bersamaan dengan populernya arus
pemikiran baru “zaman pencerahan”. Dasar asumsi yang dipakai adalah doktrin
John Lock tentang hak asasi manusia bahwa setiap manusia mempunyai hak asasi
yaitu hak untuk hidup, mendapat kebebasan dan hak untuk mencari kebahagiaan
(Megawangi 118-119). Dengan hak-hak tersebut, untuk menyelaraskan keseimbangan
gender, kaum feminis menyuarakan ide bahwa perempuan dan laki-laki memiliki hak
hidup yang sama. Meskipun demikian, budaya patriarki yang membuat perempuan
tertindas telah mendarah daging dalam kehidupan sosial.
Perlawanan
terhadap budaya patriarki sangat bisa dilakukan melalui karya sastra. Intan
sendiri pun sangat konsisten dalam menunjukkan hal itu. Karyanya dalam buku
kumpulan cerpen Sihir Perempuan menganut
feminisme dengan menggunakan cerita-cerita lama dalam mengungkap sisi gelap perempuan.
Banyak tokoh perempuan yang hadir dalam karya-karya Intan membentuk sosok yang
kuat, pembangkang dan tidak patuh pada laki-laki.
Salah satu
cerpennya dalam buku tersebut berjudul Perempuan
Buta Tanpa Ibu Jari mendobrak dari apa yang telah larut dalam kisah Cinderella pada umumnya. Intan
menunjukkan suatu kesaksian yang realistis dan patut direnungkan kembali bahwa
segala bentuk kejahatan dalam sisi ibu dan kedua kakak tiri Cinderella bukan
semata-mata tindakan kejahatan yang aksioma. Dan, Cinderella yang dalam cerpen
ini bernama Sindelarat (dalam pemahaman orang Jawa adalah nama untuk yang
bernasib ‘melarat’ atau sengsara) tidak sepenuhnya memiliki sosok yang baik dan
menjadi panutan.
B.
Sinopsis
Cerpen ini berkisah tentang seorang Perempuan buta yang menceritakan kembali masa lalunya yang tragis. Perempuan itu tinggal
bersama ibu dan dua adiknya. Salah satu adiknya bukanlah adik kandung,
melainkan anak dari ayah tirinya, bernama Sindelarat. Intan menciptakan versi lain dari kisah Cinderella ke dalam cerpennya dengan kesaksian berbeda.
Orang-orang
menganggap bahwa Cinderella adalah sosok yang tersakiti, baik hati dan hidupnya
berakhir bahagia. Di cerpen ini berbeda, Sindelarat yang awalnya disakiti oleh
ibu dan kedua kakak tirinya, memunculkan balas dendam, ia bekerja sama dengan
makhluk-makhluk kasatmata. Untuk kemudian akhirnya,
Sindelarat bisa menemui pangeran, meninggalkan sepatu kacanya, menangis keras agar pangeran menemukannya
di loteng ketika pangeran datang ke rumah dan menjadi istrinya. Di samping itu,
tokoh “Aku” (perempuan buta) dan satu adiknya
harus mengiris sebagian kecil tubuh mereka agar bisa menikah dengan pangeran. Namun semua pengorbanan itu sia-sia.
Setelah
Larat menikah dan tinggal di Istana, ibu tirinya jatuh sakit karena memikirkan
nasib kedua putrinya yang tak mendapat jodoh. Mereka meminta pertolongan berkali-kali kepada Larat untuk dipinjamkan uang namun
tidak dipedulikan. Hingga perempuan itu dan adiknya mendatangi Sindelarat ke Istana, namun yang mereka dapatkan ialah kedua mata mereka
dipatuki burung terkutuk hingga buta. Sejak itu pula, perempuan itu dan adiknya yang sama-sama cacat bertahan dengan mengamen di sudut jalan. Sedangkan
Sindelarat hidupnya juga tidak berakhir bahagia. Ia meninggal saat melahirkan
putrinya yang ke-6 karena pendarahan berkepanjangan. Ia dipaksa hamil hampir
setiap tahun sampai bisa melahirkan putra untuk penerus pemimpin Istana.
Ketika
dicermati secara lebih dalam lagi, cerpen ini merupakan bentuk penyalahgunaan
menentukan identitas perempuan dalam pandangan laki-laki. Sosok perempuan yang
lemah dan hanya bergantung pada laki-laki tergambar dalam cerpen ini. Bahkan
segala usaha tidak lazim untuk menjadi sosok yang inferior di hadapan pangeran,
berakhir tragis. Cerpen ini menandakan suatu penyesalan jika sikap perempuan
yang hanya berusaha mengagungkan sosok laki-laki akan berdampak menyakitkan.
Tidak ada yang membahagiakan jika perempuan dalam dunianya tunduk pada
kekuasaan laki-laki.
C.
Penelitian Terdahulu
Masalah
yang berkaitan dengan perempuan memang telah banyak dikaji. Beberapa penulis
pernah mengkaji permasalahan representasi dan dekonstruksi mitos-mitos tentang
perempuan, salah satunya Prabasmoro dalam tesisnya dari Universitas Indonesia
pada tahun 2013 berjudul Representasi
Seksualitas Perempuan dalam Tiga Novel Karya N.H. Dini menghasilkan suatu
fenomena tentang seksualitas perempuan yaitu bahwa perempuan dikurung dalam
batas-batas seksualitas yang dikuasai dan diatur oleh budaya patriarki,
sementara laki-laki tidak. Adanya pertahanan terhadap budaya patriarki yang
membangun seksualitas dan subjektivitas perempuan sebagai monolitik dan biner,
menafikan seksualitas perempuan dan menafikan perempuan sebagai subjek.
D.
Landasan Teori
Kegunaan
teori dalam analisis adalah untuk mendukung interpretasi data (Moleong).
Penulis menggunakan teori representasi dalam menganalisis isu dan memberikan kontribusi
atas jawaban permasalahan. Memahami representasi dapat membantu penulis untuk
lebih analitis mengenai isu-isu yang digambarkan dalam karya sastra. Hall (356)
mengatakan bahwa representasi dapat dianggap sebagai lapangan permainan dalam
lingkup tradisi dan sejarah. Representasi bukan hanya mencerminkan kenyataan
semata-mata tetapi juga merupakan skenario yang dimainkan oleh suatu kebudayaan
yang ditata oleh cara-cara sesuatu direpresentasikan, pola-pola serta kekuasaan
yang ada. Praktik representasi selalu melibatkan subjektivitas penulisnya.
Setiap subyek yang bertutur atau menulis akan membuahkan hasil yang berbeda
sehingga melalui representasi dapat diperoleh makna yang ingin disampaikan teks.
Representasi
adalah produksi makna konsep dalam pikiran kita melalui bahasa. Hall (16)
menggunakan saran dari Shorter Oxford
English Dictionary, bahwa representasi tersebut memiliki dua arti penting
untuk kata tersebut:
I.
Untuk mewakili sesuatu, menggambarkan atau mengelakkannya,
untuk menyebutnya dalam deskripsi dan penggambaran atau imajinasi; untuk
menempatkan kesamaan itu di hadapan kita dalam pikiran atau indra kita.
II.
Mewakili juga sarana untuk melambangkan, membela, menjadi
spesimen, atau untuk menggantikannya.
Masyarakat
sering merepresentasikan sesuatu berdasarkan pandangan laki-laki. Hal tersebut
tidak membuat kesetaraan antara perempuan dengan laki-laki, termasuk dalam menentukan
kebijakan pemerintah.
Feminis
liberal menyadari bahwa negara didominasi oleh kaum laki-laki sehingga
kepentingan yang mereka kemukakan bersifat maskulin. Sementara perempuan
cenderung berada di dalam negara sebagai warga negara saja bukan sebagai
pembuat kebijakan. Lalu Naomi Wolf memberikan gencatan tentang “Feminisme
Kekuatan” bahwa seharusnya perempuan mempunyai kekuatan dari segi pendidikan
dan pendapatan, dan perempuan harus terus menuntut persamaan haknya agar
terbebas dari ketergantungan laki-laki (Indriani 48-49).
Dalam
hukum pernikahan negara, ada tiga aspek yang melekat, di antaranya anggapan
suami sebagai kepala rumah tangga, anggapan suami bertanggung jawab atas nafkah
istri dan anak-anaknya dan anggapan istri bertanggung jawab atas pengasuhan
anak dan pekerjaan rumah tangga. Konsep tersebut dianggap tidak sesuai dengan
kebebasan individu yang mandiri dan menentukan jalan hidupnya sendiri (Megawangi
121). Saya tidak tahu undang-undang ini masih berlaku atau tidak, namun dengan
pernah adanya pernyataan tersebut adalah salah satu yang membentuk pemahaman
masyarakat hingga melestarikannya keluarga yang patriarki.
Berdasarkan
pemikiran yang telah diuraikan sebelumnya, tulisan ini akan mengkaji cerpen
Perempuan Buta Tanpa Ibu Jari karya Intan Paramadhita dengan fokus pada persoalan
representasi perempuan konsevatif dalam kehidupan sosial melalui versi lain
dari kisah Cinderella. Bagaimana
representasi perempuan dalam cerpen ini dapat dipandang sebagai kekeliruan yang
berdampak tidak baik bagi perempuan itu sendiri melalui konstruksi kisah Cinderella dengan kesaksian berbeda dari
yang biasanya kita ketahui. Pemahaman dalam teks cerpen secara keseluruhan
termasuk memahami tokoh-tokoh perempuan dalam cerpen ini akan dijadikan
landasan dalam analisis ini.
E.
Pembahasan
Cerpen ini
menggunakan sudut pandang orang pertama sebagai perempuan buta yang tidak
bernama. Perempuan buta ini adalah kakak tiri Sinderalat. Sosok kakak tiri
Sindelarat berbeda dengan kakak tiri Cinderella pada umumnya. Kisah Cinderella pada umumnya, bagi ibu dan
kedua kakak tiri Cinderella sudah jelas dijuluki sebagai tokoh-tokoh yang
jahat. Tanpa ada sedikit pun kebaikan yang ditampilkan dalam sisi mereka. Dan sosok Cinderella pada umumnya yang patuh,
tidak melawan dan sangat baik hati, telah berubah dalam cerpen ini. Intan
menyajikan kisah tersebut dengan lebih realistis dan patut direnungkan kembali.
Di halaman
pertama diberitahu bahwa Sindelarat memiliki perilaku yang tidak baik dalam
pandangan tokoh “aku” (perempuan buta).
“Larat―begitu kami
memanggilnya―begitu kotor seolah ia senantiasa berbedak jelaga. Ia memang
tinggal di loteng. Itu tak kumungkiri (meski kusesali karena ternyata di sana
ia menyusun kekuatan, bekerja sama dengan makhluk-makhluk kasatmata). [. . .]
Larat sudah mati. Aku yang hidup.” (Paramadhita 24-25).
Setelah
pernyataan tersebut, perempuan buta memberi tahu sebab ia dengan ibu dan
adiknya memperlakukan Larat dengan tidak adil. Sebenarnya ada unsur
ketidakadilan juga yang mereka dapatkan dari Larat dan ayahnya.
“Jika Ayah
berpergian, ia pulang dan membawakan banyak hadiah untuk Larat. Sementara aku
dan adikku hanya mendapat sekotak manisan dan gaun murahan. Hati kami terbakar
dengki.” (Paramadhita 25).
“Ayah tidak
memarahi atau memukuli kami, tapi ia juga tidak menunjukan penerimaan. Saat
makan malam ia hanya menanyai Larat tentang hari-harinya. Bagaimana sulamanmu?
Bagaimana mawar-mawar yang kau tanam? Sudah bertelurkah ayam yang kau pelihara?
Sudah lebih baikkah kaki burung kutilang yang kau sembuhkan? Kue buatanmu enak
sekali! Oh, larat begitu produktif!” (Paramadhita 26).
Dari kutipan
pertama dan kedua terlihat bahwa perempuan buta dan adiknya dianggap nyaris
tidak ada oleh ayah tirinya. Padahal mereka ingin sekali diperhatikan layaknya
seorang ayah kepada anak-anaknya, meskipun hanya ayah tiri. Sedangkan Larat begitu diperhatikan dan diberi hadiah lebih bagus dari
kedua kakak tirinya. Bagi mereka, ayah adalah figur yang mempunyai kekuasaan di
atas segala-galanya, maka jika anak mendapatkan hati ayahnya, artinya ia
mendapatkan kekuasaan. Para tokoh yang Intan tampilkan berlawanan dari kisah Cinderella sesungguhnya.
Kemudian di
kutipan kedua tertera ayah Larat menanyakan beberapa pekerjaan Larat, di
antaranya menyulam, bertanam, merawat binatang dan memasak. Ibu tiri Larat pun
juga demikian, tujuan ayah Larat menikahinya karena ayah Larat tidak mampu
merawat diri sendiri, seperti menyiapkan sarapan dan pakaian (Paramadhita 26).
Beberapa pekerjaan tersebut adalah representasi citra perempuan yang hanya
mereka lakukan dalam kehidupan sosial.
Pekerjaan
perempuan sangat sederhana, hanya dibebankan dalam urusan domestik rumah tangga.
Bahkan dalam ruang yang sempit itu, gerak-gerik perempuan tetap dalam perhatian
ayah atau suaminya. Selebihnya, perempuan harus pandai merias diri. Hal
tersebut juga tergambar dalam kutipan di atas bahwa pencapaian terbesar gadis
remaja adalah gaun mewah berlimpah. Perempuan tidak diberi kesempatan
mengembangkan pontensi dan aspirasi mereka ke dalam ruang yang lebih luas.
Sedangkan ayahnya bekerja hingga ke luar kota, mengembangkan diri dalam urusan
publik.
Dalam kisah
Cinderella pada umumnya, kita telah
tahu bahwa Cinderella adalah sosok yang sangat patuh dan baik hati. Tapi dalam
cerpen ini, Intan menata kembali cerita dengan pernyataan yang dapat diterima
bahwa Larat tidak benar-benar baik, ia juga sama dengan ibu dan kedua kakaknya,
sama-sama mampu memanipulasi demi tercapainya suatu keinginan.
“Adik
tiriku Larat memang piawai memasang muka manis. Suatu hari ketika ayah tiriku
hendak berpergian, ia menanyakan hadiah apa yang kami inginkan. Tentu saja,
karena jarang mendapat hadiah bagus darinya, kami menjawab gaun indah. Larat
berkata cukup sekuntum mawar saja. tak heran, karena tanpa Ayah berpergian pun
ia sudah diberikan segala kemewahan! Perhatikan betapa ia menampilkan citra
gadis baik-baik yang tidak materalistis. Puh! Sangat tidak realistis. Kalau ia
tidak peduli kekayaan, mengapa ia bersikeras pergi ke pesta untuk bertemu Gusti
Pangeran mahakaya?” (Paramadhita 27).
“Dan pesta
itu adalah puncaknya. Kami adalah barang dagangan yang dijejerkan di pasar
untuk dipilih pembeli. Sang Gusti Pangeran, ia menjdi pembeli tunggal di sini.
Tapi tentu saja ia tak bisaa memborong semuanya. Ia harus memilih yang terbaik
untuk dijadikan ratu. Bagaimanapun juga, gundik boleh seribu, tapi ratu hanya
ada satu. Malam itu kami merasa terancam oleh kecantikan Larat, maka kami
melakukan segala daya upaya untuk menghalanginya pergi. Larat merengek ingin
ikut, padahal yang melamarnya sudah segudang. Beberapa di antaranya bahkan anak
orang kaya. Mengapa ia tak kunjung puas?” (Paramadhita 29).
Dari
kutipan tersebut menandakan bahwa Larat tidak benar-benar menjadi sosok yang
baik. Pasalnya, dalam kisah asli, Cinderella hadir dengan peran yang patuh dan
tidak mengharapkan kemewahan. Tapi Cinderella berkeinginan datang ke pesta.
Keinginan tersebut jelas berlawanan dari sikap Cinderella yang tampil
sederhana, baik hati dan terkesan tidak menginginkan sesuatu yang muluk-muluk. Intan
menformulasikan hal tersebut dengan lebih dapat terima bahwa Larat juga ingin
hidup mewah. Namun keinginan tersebut harus disamarkan, yang ditampilkan ialah
sosok yang menerima segala keadaan dari ibu dan kedua kakak tirinya, juga
ayahnya, di samping ia mengumpulkan kekuatan untuk balas dendam dan menjadi
pemenang.
Perlombaan
untuk para perempuan yang ingin menjadi istri pangeran adalah representasi
perempuan yang menurut Intan bagaikan barang dagangan yang dijejerkan di pasar
untuk dipilih pembeli. Tanpa disadari, keinginan orangtua kepada anak
perempuannya pada akhirnya agar mendapatkan suami yang jauh lebih baik darinya dalam
hal apapun. Karena anak harus berbakti kepada orangtuanya, maka mereka sudah
telanjur terkonstruksi dengan tujuan hidup seperti itu. para perempuan dalam
cerpen ini berusaha mendapatkan pangeran dengan cara yang lemah hingga tragis.
Mereka saling menjatuhkan lawan agar menjadi pemenang.
“Kau tentu tahu, segala daya upaya
untuk menghalangi Larat malam itu gagal karena Ibu Bidadari menganggapnya
begitu berbudi hingga mau menolongnya.” (Paramadhita 29).
“Ibu
menyuruh Larat bersembunyi saat aku dan adikku bergiliran mencoba sepatu itu.
rupanya ia bermimpi kami mendapat jodoh keturunan ningrat. Tapi sepatu itu
terlalu kecil. kakiku harus kupaksa masuk ke dalamnya agar aku bisa diterima.
Sial, jari-jari kakiku begitu besar dan melebar! Aku tak bisa mendorong karena
ibu jariku melebihi ukuran gadis-gadis pada umumnya. Ibuku menyodori pisau,
“Potong jari kakimu. Kelak jika kau jadi ratu, kau tak akan terlalu banyak
berjalan.” (Paramadhita 30).
“Tepatnya, Larat
memang menunggu ditemukan karena isak tangisnya terdengar sampai keluar. Ia tak
jauh berbeda dengan kami: suka memanipulasi.” (Paramadhita 31).
Dari
kutipan tersebut menjelaskan bahwa Larat dengan kelemahannya yang tidak berbuat
apa-apa beruntung mendapat bantuan dari Ibu Bidadari sehingga ia bisa datang ke
pesta. Larat hanya mengandalkan kecantikan dan pertolongan Ibu Bidadari. Lalu
setelah pesta usai dan pangeran datang ke rumahnya, Larat menangis kencang agar
ditemukan oleh pangeran. Sedangkan tokoh “aku” dengan adiknya dipaksa ibunya
mengiris sebagian kecil tubuhnya agar bisa memenangkan perlombaan tersebut, dan
membahagiakan ibunya yang menginginkan putrinya menikah dengan keturunan
ningrat.
Namun
pengorbanan yang tidak lazim tersebut berakhir sia-sia. Sama seperti kisah Cinderella pada umumnya, Larat tentunya
yang menjadi istri pangeran karena pangeran mencintai perempuan yang cantik,
lemah dan patuh seperti Larat.
“Yah,
seperti yang kau dengar, sepatu itu pas di kakinya karena itu memang miliknya.
Gusti Pangeran begitu berbinar saat Larat menuruni tangga dengan sepatu itu. ia
kini benar-benar yakin bahwa inilah perempuan yang bersamanya di pesta.
Perempuan yang akan berhias setiap pagi untuknya, yang akan menunggunya dari
medan perang, yang akan jadi ibu dari anak-anaknya.” (Paramadhita 31).
Dari
kutipan tersebut tergambar bagaimana nanti pekerjaan Larat setelah menikah:
berhias diri untuk suaminya, menunggu kedatangan suaminya dan melahirkan
anak-anak untuk suaminya. Hal tersebut merepresentasikan perempuan yang pada
umumnya melakukan hal serupa sebagai kewajiban dalam suatu pernikahan.
Keinginan
perempuan hidup bahagia dengan cara menikah adalah representasi perempuan yang
timbul berdasarkan asuhan dari orangtuanya atau berasal dari lingkungan mereka
tinggal. Dalam pernikahan itu sendiri, antara perempuan dengan laki-laki sudah
dipilah peran masing-masing berdasarkan sistem patriarki. Menurut Kurnianto
(30) dalam pandangannya mengenai pernikahan, memang perempuan tidak bisa
menghindari diri dari kodratnya menjadi ibu rumah tangga dan laki-laki pun juga
tidak bisa menghindari kodratnya menjadi bapak dalam rumah tangga. Namun tidak
seharusnya posisi yang berbeda tersebut melahirkan peran yang berbeda.
Perempuan dan laki-laki memliki tanggung jawab yang sama dalam kelangsungan
hidup keluarganya.
Setelah
Larat menikah, kehidupan tokoh “aku” dengan ibu dan adiknya menjadi semakin
berat. Kekhawatiran ibu kepada kedua anak perempuannya yang akan menjadi
perawan tua menjadikannya jatuh sakit dan tidak berdaya. Demi kelangsungan
hidup, tokoh “aku” dengan adiknya menahan malu untuk datang ke Istana agar
diberi pertolongan oleh Larat, tapi Larat tidak mengindahkan.
“Larat
meminta kami pergi, tetapi kami akan tetap di sana sebelum mendapatkan uang.
Kalau bisa, kami ingin menjadi gundik suaminya, tapi tentunya ini tak mungkin
karena sudah ada ribuan wanita cantik mengantre untuk posisi tersebut.
Tiba-tiba datanglah burung terkutuk itu. burung yang sama seperti yang kami
temui di jalan. Ia mematuki mata kami seperti menghunuskan pisau sarat dendam.
Berkali-kali hingga kami menjadi buta. Larat, saudara tiriku, menatap sambil
melahap anggur sebesar biji mata.” (Paramadhita 32).
Dari
kutipan tersebut menandakan bahwa Larat telah berhasil melakukan balas dendam
kepada ibu dan kedua kakak tirinya, bahkan perlakuan Larat jauh lebih keji.
Melalui sudut pandang orang pertama, Intan menunjukan tokoh sentral yang pada
awalnya sama sekali mulus menjadi tampak cacat. Artinya, Intan memanusiakan
tokoh-tokoh yang dianggap tidak penting dan mengkritisi tokoh sentral dengan
cara yang dapat diterima pembaca. Versi lain ini menawarkan pemikiran baru
dengan perspektif yang berbeda sehingga semua tokoh dalam satu cerita
diperlakukan adil oleh penulisnya.
Setelah
Larat menjadikan buta kepada kedua kakak tirinya, ia tetap tidak berakhir
bahagia. Sesuai namanya, Sindelarat. Larat, menurut orang Jawa diartikan
sebagai orang yang bernasib melarat atau sengsara. Larat menderita hingga
meninggal. Sementara tokoh “aku” masih hidup meskipun dengan keadaan cacat.
“Aku
meninggalkan desa dan hidup mengembara bersama adikku. Kami dua perempuan buta
tak berguna, bertahan dengan mengamen di sudut jalan. Adikku bermain kecapi dan
aku menyanyi. Kami harus melakukannya karena kami tak punya pangeran dan Ibu
Bidadari.” (Paramadhita 32).
“Larat
tidak hidup bahagia selama-lamanya seperti yang dikira banyak orang. Ia
meninggal saat melahirkan putrinya yang ke-6. Hampir setiap tahun ia hamil
karena kerajaan membutuhkan putra mahkota. Ia tak lagi cantik―pahanya ditimbuni
lemak dan perutnya lembek seperti tahu. Ia mati karena pendarahan
berkepanjangan, [. . .]” (Paramadhita 32-33).
Dari
kutipan tersebut tercermin bahwa tokoh “aku” dan Larat yang digambarkan oleh
teks adalah hasil versi lain yang berlawanan dari teks pada umunya. Tokoh “aku”
yang dianggap tidak penting dalam kisah Cinderella
menjadi tampak patut direnungkan kembali. Kedua perempuan kakak-beradik yang
Intan ciptakan melahirkan sosok yang kuat dan tabah. Setelah mereka gagal dalam
menggapai keinginan menjadi istri pangeran, lalu ibunya meninggal, mereka masih
tetap bertahan dengan lebih mandiri. Meskipun keadaan mereka cacat, mereka
tetap melangsungkan hidupnya dengan mengamen di sudut jalan. Sementara Larat
meninggal akibat patuh pada kehendak pangeran. Hal ini menunjukan bahwa harapan
mereka untuk hidup bahagia bersama pangeran ternyata tidak begitu
membahagiakan. Kejadian tersebut merupakan representasi perempuan dari apa yang
selama ini diidamkan. Cerpen ini menawarkan perspektif tentang impian perempuan
yang seharusnya tidak melulu soal pernikahan.
F.
Kesimpulan
Penceritaan
ulang yang Intan ciptakan memberi formula baru dari kisah Cinderella pada umumnya bahwa Cinderella sebagai tokoh sentral
dikritisi dengan pemahaman baru ke dalam cerpennya. Keputusan yang Intan ambil
ini memberi dampak kepada pembaca untuk berlaku adil terhadap setiap tokoh.
Tidak segala tokoh memiliki patokan hitam atau putih yang mutlak kita percayai.
Versi lain dari kisah Cinderella ini
memberikan beberapa celah dan sisi kepada pembaca untuk merasakan beragam warna
lain yang terlupakan.
Para tokoh
perempuan yang hadir dalam cerpen ini juga merupakan representasi perempuan
konservatif mengenai impian yang hanya sebatas dalam pernikahan. Padahal hal
tersebut menjadikan perempuan sebagai makhluk sosial yang subordinat. Intan
menampilkan bahwa akan ada rasa penyesalan dan ketidak-bahagiaan jika tunduk
pada kekuasaan laki-laki. Dan segala bentuk sikap perempuan yang tertuang dalam
cerpen ini mengidentifikasikan bahwa perempuan tidak memiliki kesempatan untuk
berkembang dalam ranah publik. Perempuan hanya berurusan dalam ranah domestik
rumah tangga yang di dalamnya pun masih harus tunduk pada peran laki-laki.
Daftar Kepustakaan
Buku:
Hall, Stuart. New Ethnicities, Race,
Culture and Difference. London: Saga, 1995.
Hall, Stuart. Representation: Cultural Representations and Signifying Practices.
London: Routledge, 1997.
Megawangi, Ratna. Membiarkan
Berbeda? Sudut Pandang Baru Tentang Relasi Gender. Bandung: Mizan, 1999.
Moleong, Lexy J. Metodelogi
Penelitian Kualitatif. Bandung: CV Remadja Karya, 1989.
Paramadhita, Intan. Sihir Perempuan. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2017.
Skripsi dan Tesis:
Indriani, Widya Riski. Pemberdayaan
Kaum Perempuan pada Sekolah Perempuan Pedesaan di Dusun SUKOREMBUG Desa
Sidomulyo Kecamatan Batu Kota Batu. Surabaya: UIN Sunan Ampel Surabaya,
2015.
Prabasmoro, Aquarini Priyatna. Representasi
Seksualitas Perempuan dalam Tiga novel Karya N.H. Dini. Depok: Universitas
Indonesia, 2003.
Jurnal:
Kurnianto, Agus. “Representasi dan Dekonstruksi Perempuan dalam Cerpen Sang Ratu Karya Intan Paramadhita.” Jurnal Ilmiah Bina Bahasa, vol. 7, no.
1, 2014, pp. 27-38.
Lieberman, Marcia R. “’Some day My Prince Will Come’: Female Acculturation
through the Fairy Tale.” College English
34.3 (Dec. 1972): 383-395. Rpt. in Children’s
Literature Review. Ed. Tom Burns. Vol. 101. Detroit: Gale, 2005. Literature
Resource Center. Web. 4 Dec. 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar