oleh Fena Basafiana
Kita telah menjumpai ratusan bahkan ribuan puisi
bertaburan di koran, majalah, buku, dinding toilet, tiang listrik, hingga internet.
Pemahaman mengenai puisi pun semakin leluasa bagi masyarakat. Sebagian orang
berpendapat bahwa setiap kata-kata yang tertuang dalam bentuk tulisan apapun
mengandung kepuitisannya masing-masing. Apalagi sebagian orang lebih menikmati
dan menciptakan puisi secara absurd. Dengan begitu, perkembangan karakteristik
puisi kini semakin tak terjangkau maknanya.
Alih-alih
mendekatkan diri pada era postmodernisme (bahkan definisi era tersebut masih
terus diperdebatkan keabsahannya oleh para ahli), menurut Sugiharto dalam
bukunya berjudul Postmodernisme Tantangan
Bagi Filsafat mengemukakan bahwa kecenderungan postmodernisme dalam berseni
adalah hilangnya batas antara seni dan kehidupan sehari-hari, juga tumbangnya
batas antara budaya tinggi dan budaya pop sehingga yang tercermin hanyalah
pengulangan masa lalu tanpa kedalaman. Ketika orang-orang termanjakan oleh
kenikmatan era tersebut, berbeda dengan Moh. Zahirul Alim dan Laras Sekar Seruni.
Mereka memandang puisi sebagai upaya membela kesadaran dalam merespons
kehidupan sederhana lewat karyanya berjudul Merawat
Kata.
Sebelum menelanjangi buku kumpulan puisi Merawat Kata, saya ingin berkeluh-kesah
dahulu. Secara pribadi, saya pernah kecewa kepada bahasa sebagai alat untuk menerangkan
berbagai macam makna. Sebenarnya bahasa memang bisa dipakai dengan baik-baik
saja untuk keperluan sederhana, seperti “saya ingin makan” yang berarti saya
memang mau makan, “saya ingin belajar Matematika” yang berarti saya mau belajar
Matematika. Namun seiring pemahaman saya, situasinya bisa kacau karena
kecanggihan pemikiran manusia.
Manusia mempelajari makna melalui Semantik dan
Pragmatik. Mereka berdua saling bekerja sama di mana Semantik meraih hubungan
antara lambang dengan obyeknya dan Pragmatik meraih hubungan lambang dengan
penafsirannya. Mereka juga saling bahu-membahu ketika Pragmatik mengalami
kebuntuan, Semantik mengambil alih dalam menginterpretasi makna. Namun
keintiman tersebut hanya muncul dalam permukaan saja. Dalam praktiknya, mereka
kerap tidak sepenuhnya akrab dan akur. Apalagi beberapa ahli berusaha
memisahkan mereka berdua karena pada dasarnya dalam bahasa ada aturan tiga
disiplin berdasarkan derajat abstrak, ialah sintaksis, semantik, dan pragmatik.
Berpacu dari kerumitan dasar tersebut, saya akhirnya mencoba memahami,
barangkali dalam penciptaan makna, manusia memerlukan kooperasi antara pikiran
dengan perasaan.
Bayangkan, ada sepasang atau perkumpulan manusia yang
saling adu bicara mengenai topik tertentu. Mereka bertengkar tanpa perkelahian
fisik, melainkan melalui perkelahian makna. Senjata mereka bukanlah kekuatan
fisik atau benda berbahaya, tapi kekuatan bahasa. Lalu di mana “perasaan”
mereka bekerja untuk mencapai kesepakatan makna? Betapa pemaknaan begitu tidak
mungkin mencapai ujungnya. Berkaitan dengan keputusasaan tersebut, ada satu hal
yang terlewat dalam kasus perkelahian makna di atas, manusia perlu membela
kesadaran. Sesuatu yang hadir di sana, mungkin hanya sebatas membela keegoisan.
Perkara kesadaran, saya menemukan itu dalam karya Zahir dan Laras.
Buku kumpulan puisi ini terdiri dari 20 judul puisi
karya Laras Sekar Seruni dan 30 judul puisi karya Moh. Zahirul Alim. Kedua penulis
ini tidak memiliki warna dan pola yang senada. Perihal metafora, Laras lebih
berhasrat mempermainkan kata-kata secara lincah, sedangkan Zahir cenderung
menampilkan keadaan secara tepat sasaran tanpa persembunyian. Pertentangan tersebut
menjadi menarik untuk saya amati sebagai dua sensasi pembacaan dalam satu buku.
Meskipun perbedaan tersebut cukup nampak, mereka memiliki pemikiran dan
tinjauan yang hampir serupa.
Kesamaan mereka adalah kerap menampilkan sisi
spiritualitas beserta sejarah dan perkembangannya. Laras dan Zahir beberapa
kali menuangkan kedekatan mereka saat berkomunikasi dengan tuhan mengenai
keresahan memandang kehidupan sehari-hari.
Misalkan dalam Kita
Hari Ini karya Laras,
“selepas isya
aku tafakur di sampingmu, mencoba moksa. tarian angin malam mengantarkan kamu
pada bait-bait rindu kampung halaman. kita berjalan melewati rerindang tembok
berlampu abu-abu, desih napas menyatu, menyiratkan aku ingin tetap bersama
kamu.
[…] selepas itu
aku lelap, penyap mengembara menuju belantara, saujana hanya ada bunga-bunga
puisi yang kamu cipta. Sambil menanti pagi, aku menikmati kamu yang kian hari
kian menepi dari lelehan kuantum jangkar yang akan kamu buang sebentar lagi.”
Usai beribadah, tokoh “aku” menunjukkan dirinya berada
di samping tuhan secara khidmat. Mereka melakukan tarian bersama hingga sampai
ke kampung halaman, yang berarti menuju pulang. Dalam kepulangan tersebut,
suasana begitu sangat rindang dan asri. Saya membayangkan kondisi ini sebagai
romantisasi tuhan bersama manifestasi pilihannya. Tidak semua manifestasi tuhan
memiliki kesadaran atas keberadaan tuhan. Sosok “aku” dalam puisi ini bahkan
mampu melampaui kesadaran atas keberadaan. Ia juga sadar atas kecintaan dan
kebutuhannya pada tuhan. Ia menyelami bahwa dunia yang ditinggali kini amat penyap
dan karang. Apapun keberhasilan manusia di dunia, kenikmatan dan keselamatan
paling fundamental adalah bersama tuhan. Laras juga menyisipkan bahwa tuhan
akan menampilkan hari akhir kelak melalui tuhan yang menepi dan jangkar yang
terbuang sebagai bentuk dunia.
Dalam Jalan
Pulang karya Zahir,
“maka aku berdoa
tunjukilah aku
jalan pulang yang benar jalan yang senantiasa membawaku
tepat ke titik
akhir perjalanan panjang ini”
Hampir setinjau dengan Laras, Zahir pun juga tampak
memiliki perasaan yang menyatu dengan tuhan. Saat berbicara tentang pulang,
secara lugas tokoh “aku” meminta petunjuk kepada tuhan karena ia menyadari
bahwa ia mudah tersesat di dunia. Alih-alih kepada manusia cerdas dan pandai menyelesaikan
semua masalah, Zahir mengingatkan kepada saya untuk sadar bahwa pada dasarnya
manusia adalah makhluk yang terbatas kemampuannya. Maka dari itu, pergilah
menghadap tuhan.
Masih dalam seputar ketuhanan, Laras juga merepresentasikan
cerita Abraham dalam Lelaki Api; kepada
Abraham, Ibrahim.
“namun ia
membelalak.
tubuh si lelaki
melenggang keluar dari kobaran api—bersama bajunya yang terbuat dari rumbia,
dan alas kakinya yang menjilat-jilat tanah pagi”
Cerita familiar tersebut dikemas kembali oleh Laras
dengan keterampilan metaforanya. Saya sempat tergelitik akibat cara Laras
membentuk sosok Abraham yang manis dan menggemaskan. Padahal pada cerita
aslinya, situasi pasti menegangkan dan menakutkan karena ada pembakaran
manusia. Di sini saya menerka bahwa Laras mengajak pembaca untuk memiliki
kesadaran utuh mengenai perasaan Abraham pada saat itu. Karena teramat
mempercayai dan mencintai tuhan, Abraham melangkahi kakinya menuju bara api
dengan perasaan suka cita.
Ditambah puisi Zahir yang sangat spontan dan tepat
sasaran dalam Cadas.
“anak cucu hawa
yang katanya mudah tersentuh
mengapa menjadi
cadas dan brutal? tanyaku untuk mereka jawab”
Membaca puisi spontan ini mengingatkan saya kepada
W.S. Rendra yang berkarya tanpa menyembunyikan apapun. Zahir pun demikian. Saya
membayangkan, sesuatu yang mengganjal dalam pikirannya akan ia keluarkan ke
dalam karya tanpa ada transisi atau perubahan. Ketika Zahir mengamati bahwa
semakin lama zaman semakin brutal, ia membela kesadaran itu dengan menuangkan
keresahan secara apa adanya.
Selain itu, beberapa puisi Laras dan Zahir juga
mengangkat isu sosial. Namun ada perbedaan ketertarikan di antara mereka dalam
hal ini. Saya memakluminya karena perbedaan gender yang secara sadar atau tidak
mempengaruhi selera isu sosial mereka.
Dalam Si Tukang
Roti, Laras menampilkan tragedi pemerkosaan.
“Aku menggeliat
manja
ketika jemari
berwarna langking menyentuh, merobek, dan mendorong
Tubuhku ikut
berkelindan dengan tulang dan lidah juga liur
Lumat dan moksa
tanpa kenal dosa”
Saya yang juga bergender sama dengan Laras, semakin
membela kesadaran saya terhadap gambaran pilu ini. Tindakan kriminal seperti
pemerkosaan tidak bisa diprediksi secara konkret kedatangannya. Laras mendeskripsikannya
seakan berada di perkampungan di mana orang-orang beraktivitas seperti biasa
dan berbaur dengan tetangga. Namun tiba-tiba seorang anak perempuan kena celah
pemerkosa untuk dibabat habis. Hal penting yang saya dapatkan dari puisi ini
adalah membela kesadaran berarti menjadikan diri jauh lebih berhati-hati dan
siaga.
Sementara Zahir dalam Alam Kita berseru kepada para penghuni bumi yang semakin
semena-mena.
“aku, kamu, dan
semuanya haruslah sadar
kita tak hidup
sendirian mengurusi hakikat
diri sibuk
dengan ego keakuan lupa hak-hak sekeliling”
Seperti biasanya, Zahir selalu berusaha tidak
menyembunyikan apapun dalam puisinya. Dalam kekecewaan pun, ia masih menaruh
harapan kepada penghuni bumi untuk saling menjaga tempat tinggal mereka bersama.
Meskipun dunia tampak semakin rapuh, Zahir tetap membela kesadaran dengan
optimis atas perubahan yang lebih baik.
Begitu banyak pilihan untuk kita tetap bisa membela kesadaran yang berujung pada terpeliharanya kewarasan. Merawat Kata adalah salah satu pilihan tersebut. Perihal kekecewaan saya terhadap bahasa semestinya menjadi penerimaan terhadap realita. Sejatinya kita tidak punya pilihan lain selain tetap melanjutkan hidup dengan keterbatasan bahasa dan alat hidup lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar