Sabtu, 31 Mei 2014

Kekeliruan Generasi Muda Sekarang



Kehadiran novel ranah 3 warna, buku kedua dari trilogi negeri 5 menara karya Ahamd Fuadi, memberikan nuansa baru dalam industri perbukuan di Indonesia. Nuansa yang melahirkan perjuangan anak muda dalam menggapai impian walau hidup penuh dengan kesusahan dan keterbatasan. Novel ini bisa dikatakan sebagai perbandingan zaman generasi muda. Perbandingan semangat juang generasi muda dulu dan sekarang sangat berbeda. Generasi muda dulu lebih punya elan vital yang bagus daripada generasi muda sekarang. Padahal kondisi di zaman sekarang bisa dikatakan lebih memadai, dilihat dari teknologi yang semakin canggih. Menjadikan pengetahuan dan informasi mudah didapat.
Dikisahkan Alif “anak kampung” dari maninjau, tamat sekolah di Pondok Madani Ponorogo Jatim. Ia berhasil memperoleh ijazah dengan ujian penyetaraan. Lalu mengikuti ujian UMPTN dan berhasil kuliah di Universitas Padjajaran Bandung, jurusan Hubungan Internasional. Sebelumnya Alif mati-matian belajar mata pelajaran umum selama dua bulan yang seharusnya dipelajari selama tiga tahun. ia mencoba gaya neneknya ikut “Tarikat”. Mengurung diri di kamar untuk fokus persiapan ikut UMPTN. Rasanya memang tampak mustahil. Namun karena kesungguhan Alif dengan “mantra” Man jadda wajada, Alif mampu mengalahkan kemustahilan. Kalau zaman sekarang, mustahil generasi muda bodoh karena kesempatan untuk menuntut ilmu lebih terbuka lebar. Namun yang terjadi generasi muda sekarang membodohkan dirinya sendiri bergaul dengan teknologi canggih.
Baru beberapa bulan kuliah Alif mendapat cobaan bahwa ayahnya meninggal dunia. Kehilangan ayah yang menjadi tulang punggung keluarga membuatnya goyah. Alif mendapat pesan terakhir dari ayahnya bahwa ia harus membela adik-adik dan amaknya, juga menyelesaikan sekolah. Alif kebingungan. Bagaimana cara menjalankan amanah dari ayahnya? Akhirnya Alif memutuskan untuk berhenti meminta uang kepada Amak. Ia mulai mencari pekerjaan. Mulai dari menjual parfum, songket, bordir, dan tenun minang. Berjualan keliling memasuki setiap kompleks. hingga hari liburan pun ia tetap berjualan dan menolak untuk berlibur bersama teman-temannya. Alif juga pernah dirampok oleh preman-preman dan sempat terkena penyakit tifus selama satu bulan. kalau Alif mulai mengeluh, ia sekap rapat-rapat mulutnya. Sedangkan generasi muda sekarang gampang sekali mengeluh. Segala macam curahan hati tertuang di media sosial.
Rupanya “mantra” man jadda wajada belum cukup untuk menaklukan dunia. Alif menambahkan “mantra” kedua dari Pondok Madani yang berbunyi: man shabara zhafira. Siapa yang bersabar akan beruntung. Akhirnya Alif mulai menemukan pekerjaan yang cocok dengannya yaitu menulis artikel di koran-koran nasional. Sebelumnya Alif ditempa keras oleh Bang Togar untuk belajar menulis. Kini ia mulai bisa menghidupkan dirinya sendiri dan bisa mengirim uang ke Amak.
Keinginannya untuk belajar di benua Amerika tetap menggebu-gebu. Alif berhasil mengikuti tes pertukaran pelajar di benua Amerika, tepatnya di Negara Kanada. Dalam mengikuti pertukaran pelajar, Alif berambisi untuk bisa mempersembahkan medali emas dan menunjukkan kepada dunia bahwa ia bisa berprestasi. Ia ingin mengalahkan Rob, pemuda berkebangsaan Kanada yang arogan. Akhirnya dengan kerja keras dan memantapkan segenap daya dan upayanya, ia berhasil bersama Francois Pepin merebut medali emas.
Alif bersama duta Indonesia lainnya juga mengadakan upacara bendera, pameran budaya dan pameran makanan tradisional Indonesia untuk memperingati hari pahlawan. Di alur ini, pembaca disuguhkan rasa haru nasionalisme. tampaknya semakin tua Negara Indonesia semakin berkurang rasa nasionalisme terutama pada generasi muda sekarang. Orang zaman sekarang sudah berperilaku indivudualisme dan yang lebih memuakkan lagi, generasi muda sekarang sangat aktif di jejaring sosial namun pasif di ruang kenyataan.
Kehidupan pemuda-pemudi pasti tidak lepas dari urusan percintaan. Ahmad Fuadi juga menuangkan aroma cinta di novel ini. Namun cara penyajian dan sikap Alif dalam memandang cinta sangat berbeda dengan percintaan masa kini. Alif tidak punya kalimat-kalimat gombal untuk merayu raisa. Alif berusaha menjadi laki-laki yang baik dan sukses agar bisa menarik perhatian raisa. Alif juga sabar menunggu selama bertahun-tahun walau akhirnya cintanya tak sampai, ia bangkit dari perasaannya yang hancur. Karena sesungguhnya setiap manusia pasti akan mendapatkan pasangan yang sesuai dengan cerminan diri masing-masing.
Setelah selesai membaca novel ini, semangat saya semakin membara untuk lebih keras meraih impian. Selain itu saya juga merasa gelisah. banyak generasi muda sekarang yang menyalahgunakan teknologi. Seperti terlalu lama bermain game, media sosial, dan lain sebagainya. Atau mungkin karena terlalu mudah mendapatkan pengetahuan dan informasi, menjadikan generasi muda “santai” dalam menggapai prestasi. Padahal generasi muda sekarang harus bersiap-siap menghadapi zaman globalilasi yang akan semakin maju. Novel ini cocok dibaca oleh generasi muda sekarang karena ceritanya memberi semangat dan inspirasi.

2 komentar:

  1. semangat temanku,,, aku selalu mendukung mu agar menjadi sukses
    memiliki impian yang hampir sama semoga kita bisa mendapatkan itu semua
    fighting we can do it right :)

    BalasHapus
  2. Amin. semangat juga kawanku. pokoknya kita harus sukses! keep Man jadda wajada:)

    BalasHapus

Garin Nugroho Membasuh Pikiran Masyarakat

oleh Fena Basafiana             Bagi para pecinta film Indonesia, pasti sudah tidak asing lagi dengan sosok Garin Nugroho. Ia adalah sut...