Rabu, 07 Maret 2018

Representasi Perempuan Konservatif melalui Konstruksi Kisah Cinderella dalam Cerpen Perempuan Buta Tanpa Ibu Jari Karya Intan Paramadhita

oleh Fena Basafiana


A.    Pendahuluan
Karya sastra bisa dikatakan sebagai pengungkapan kehidupan masyarakat yang disajikan ulang oleh penulis dengan lebih menarik, untuk kemudian direnungkan kembali oleh pembaca. Dongeng merupakan salah satu pengungkapan kehidupan masyarakat yang sampai saat ini masih diceritakan kembali. Cerpen Perempuan Buta Tanpa Ibu Jari karya Intan Paramadhita adalah salah satu karya sastra yang merepresentasikan perempuan konservatif dalam kehidupan sosial melalui versi lain dari kisah Cinderella. Hal tersebut terungkap berdasarkan peran para tokoh perempuan dalam dunianya masih terjerumus dalam sistem patriarki.
Kisah Cinderella yang masih menjadi dambaan perempuan mulai dari anak-anak hingga dewasa menuai banyak kritik dari aktivis feminisme. Pasalnya, cerita tersebut mencerminkan perempuan yang tidak mandiri. Lieberman (9) berpendapat bahwa dongeng (salah satunya kisah Cinderella) menyajikan sosok perempuan yang pasif, patuh dan tidak berdaya. Perempuan dalam dongeng hanya akan menemukan kebahagiaan melalui pernikahan. Dongeng dapat menjadi agen sosialisasi yang menyurutkan kesadaran perempuan terhadap potensi positifnya sebagai manusia. Asumsi tersebut menekankan bahwa perempuan berbeda dan tidak sederajat dengan laki-laki.
Kesetaraan antara perempuan dengan laki-laki ini telah dipelori oleh beberapa perempuan. Mereka menyadarkan orang-orang untuk mengakhiri subordinasi yang dialami perempuan. Dengan gerakan feminisme tersebut bertujuan meruntuhkan anggapan posisi perempuan yang inferior dan menciptakan kesetaraan sosial. Lalu feminisme berkembang menjadi beberapa bagian, salah satunya feminisme liberal.
Feminisme liberal berkembang di barat pada abad ke-18, bersamaan dengan populernya arus pemikiran baru “zaman pencerahan”. Dasar asumsi yang dipakai adalah doktrin John Lock tentang hak asasi manusia bahwa setiap manusia mempunyai hak asasi yaitu hak untuk hidup, mendapat kebebasan dan hak untuk mencari kebahagiaan (Megawangi 118-119). Dengan hak-hak tersebut, untuk menyelaraskan keseimbangan gender, kaum feminis menyuarakan ide bahwa perempuan dan laki-laki memiliki hak hidup yang sama. Meskipun demikian, budaya patriarki yang membuat perempuan tertindas telah mendarah daging dalam kehidupan sosial.
Perlawanan terhadap budaya patriarki sangat bisa dilakukan melalui karya sastra. Intan sendiri pun sangat konsisten dalam menunjukkan hal itu. Karyanya dalam buku kumpulan cerpen Sihir Perempuan menganut feminisme dengan menggunakan cerita-cerita lama dalam mengungkap sisi gelap perempuan. Banyak tokoh perempuan yang hadir dalam karya-karya Intan membentuk sosok yang kuat, pembangkang dan tidak patuh pada laki-laki.
Salah satu cerpennya dalam buku tersebut berjudul Perempuan Buta Tanpa Ibu Jari mendobrak dari apa yang telah larut dalam kisah Cinderella pada umumnya. Intan menunjukkan suatu kesaksian yang realistis dan patut direnungkan kembali bahwa segala bentuk kejahatan dalam sisi ibu dan kedua kakak tiri Cinderella bukan semata-mata tindakan kejahatan yang aksioma. Dan, Cinderella yang dalam cerpen ini bernama Sindelarat (dalam pemahaman orang Jawa adalah nama untuk yang bernasib ‘melarat’ atau sengsara) tidak sepenuhnya memiliki sosok yang baik dan menjadi panutan.

B.     Sinopsis
            Cerpen ini berkisah tentang seorang Perempuan buta yang menceritakan kembali masa lalunya yang tragis. Perempuan itu tinggal bersama ibu dan dua adiknya. Salah satu adiknya bukanlah adik kandung, melainkan anak dari ayah tirinya, bernama Sindelarat. Intan menciptakan versi lain dari kisah Cinderella ke dalam cerpennya dengan kesaksian berbeda.
            Orang-orang menganggap bahwa Cinderella adalah sosok yang tersakiti, baik hati dan hidupnya berakhir bahagia. Di cerpen ini berbeda, Sindelarat yang awalnya disakiti oleh ibu dan kedua kakak tirinya, memunculkan balas dendam, ia bekerja sama dengan makhluk-makhluk kasatmata. Untuk kemudian akhirnya, Sindelarat bisa menemui pangeran, meninggalkan sepatu kacanya, menangis keras agar pangeran menemukannya di loteng ketika pangeran datang ke rumah dan menjadi istrinya. Di samping itu, tokoh “Aku” (perempuan buta) dan satu adiknya harus mengiris sebagian kecil tubuh mereka agar bisa menikah dengan pangeran. Namun semua pengorbanan itu sia-sia.
            Setelah Larat menikah dan tinggal di Istana, ibu tirinya jatuh sakit karena memikirkan nasib kedua putrinya yang tak mendapat jodoh. Mereka meminta pertolongan berkali-kali kepada Larat untuk dipinjamkan uang namun tidak dipedulikan. Hingga perempuan itu dan adiknya mendatangi Sindelarat ke Istana, namun yang mereka dapatkan ialah kedua mata mereka dipatuki burung terkutuk hingga buta. Sejak itu pula, perempuan itu dan adiknya yang sama-sama cacat bertahan dengan mengamen di sudut jalan. Sedangkan Sindelarat hidupnya juga tidak berakhir bahagia. Ia meninggal saat melahirkan putrinya yang ke-6 karena pendarahan berkepanjangan. Ia dipaksa hamil hampir setiap tahun sampai bisa melahirkan putra untuk penerus pemimpin Istana.
            Ketika dicermati secara lebih dalam lagi, cerpen ini merupakan bentuk penyalahgunaan menentukan identitas perempuan dalam pandangan laki-laki. Sosok perempuan yang lemah dan hanya bergantung pada laki-laki tergambar dalam cerpen ini. Bahkan segala usaha tidak lazim untuk menjadi sosok yang inferior di hadapan pangeran, berakhir tragis. Cerpen ini menandakan suatu penyesalan jika sikap perempuan yang hanya berusaha mengagungkan sosok laki-laki akan berdampak menyakitkan. Tidak ada yang membahagiakan jika perempuan dalam dunianya tunduk pada kekuasaan laki-laki.

C.    Penelitian Terdahulu
            Masalah yang berkaitan dengan perempuan memang telah banyak dikaji. Beberapa penulis pernah mengkaji permasalahan representasi dan dekonstruksi mitos-mitos tentang perempuan, salah satunya Prabasmoro dalam tesisnya dari Universitas Indonesia pada tahun 2013 berjudul Representasi Seksualitas Perempuan dalam Tiga Novel Karya N.H. Dini menghasilkan suatu fenomena tentang seksualitas perempuan yaitu bahwa perempuan dikurung dalam batas-batas seksualitas yang dikuasai dan diatur oleh budaya patriarki, sementara laki-laki tidak. Adanya pertahanan terhadap budaya patriarki yang membangun seksualitas dan subjektivitas perempuan sebagai monolitik dan biner, menafikan seksualitas perempuan dan menafikan perempuan sebagai subjek.

D.    Landasan Teori
Kegunaan teori dalam analisis adalah untuk mendukung interpretasi data (Moleong). Penulis menggunakan teori representasi dalam menganalisis isu dan memberikan kontribusi atas jawaban permasalahan. Memahami representasi dapat membantu penulis untuk lebih analitis mengenai isu-isu yang digambarkan dalam karya sastra. Hall (356) mengatakan bahwa representasi dapat dianggap sebagai lapangan permainan dalam lingkup tradisi dan sejarah. Representasi bukan hanya mencerminkan kenyataan semata-mata tetapi juga merupakan skenario yang dimainkan oleh suatu kebudayaan yang ditata oleh cara-cara sesuatu direpresentasikan, pola-pola serta kekuasaan yang ada. Praktik representasi selalu melibatkan subjektivitas penulisnya. Setiap subyek yang bertutur atau menulis akan membuahkan hasil yang berbeda sehingga melalui representasi dapat diperoleh makna yang ingin disampaikan teks.
Representasi adalah produksi makna konsep dalam pikiran kita melalui bahasa. Hall (16) menggunakan saran dari Shorter Oxford English Dictionary, bahwa representasi tersebut memiliki dua arti penting untuk kata tersebut:
                               I.            Untuk mewakili sesuatu, menggambarkan atau mengelakkannya, untuk menyebutnya dalam deskripsi dan penggambaran atau imajinasi; untuk menempatkan kesamaan itu di hadapan kita dalam pikiran atau indra kita.
                              II.            Mewakili juga sarana untuk melambangkan, membela, menjadi spesimen, atau untuk menggantikannya.
            Masyarakat sering merepresentasikan sesuatu berdasarkan pandangan laki-laki. Hal tersebut tidak membuat kesetaraan antara perempuan dengan laki-laki, termasuk dalam menentukan kebijakan pemerintah.
            Feminis liberal menyadari bahwa negara didominasi oleh kaum laki-laki sehingga kepentingan yang mereka kemukakan bersifat maskulin. Sementara perempuan cenderung berada di dalam negara sebagai warga negara saja bukan sebagai pembuat kebijakan. Lalu Naomi Wolf memberikan gencatan tentang “Feminisme Kekuatan” bahwa seharusnya perempuan mempunyai kekuatan dari segi pendidikan dan pendapatan, dan perempuan harus terus menuntut persamaan haknya agar terbebas dari ketergantungan laki-laki (Indriani 48-49).
            Dalam hukum pernikahan negara, ada tiga aspek yang melekat, di antaranya anggapan suami sebagai kepala rumah tangga, anggapan suami bertanggung jawab atas nafkah istri dan anak-anaknya dan anggapan istri bertanggung jawab atas pengasuhan anak dan pekerjaan rumah tangga. Konsep tersebut dianggap tidak sesuai dengan kebebasan individu yang mandiri dan menentukan jalan hidupnya sendiri (Megawangi 121). Saya tidak tahu undang-undang ini masih berlaku atau tidak, namun dengan pernah adanya pernyataan tersebut adalah salah satu yang membentuk pemahaman masyarakat hingga melestarikannya keluarga yang patriarki.
Berdasarkan pemikiran yang telah diuraikan sebelumnya, tulisan ini akan mengkaji cerpen Perempuan Buta Tanpa Ibu Jari karya Intan Paramadhita dengan fokus pada persoalan representasi perempuan konsevatif dalam kehidupan sosial melalui versi lain dari kisah Cinderella. Bagaimana representasi perempuan dalam cerpen ini dapat dipandang sebagai kekeliruan yang berdampak tidak baik bagi perempuan itu sendiri melalui konstruksi kisah Cinderella dengan kesaksian berbeda dari yang biasanya kita ketahui. Pemahaman dalam teks cerpen secara keseluruhan termasuk memahami tokoh-tokoh perempuan dalam cerpen ini akan dijadikan landasan dalam analisis ini.

E.     Pembahasan
Cerpen ini menggunakan sudut pandang orang pertama sebagai perempuan buta yang tidak bernama. Perempuan buta ini adalah kakak tiri Sinderalat. Sosok kakak tiri Sindelarat berbeda dengan kakak tiri Cinderella pada umumnya. Kisah Cinderella pada umumnya, bagi ibu dan kedua kakak tiri Cinderella sudah jelas dijuluki sebagai tokoh-tokoh yang jahat. Tanpa ada sedikit pun kebaikan yang ditampilkan dalam sisi mereka.  Dan sosok Cinderella pada umumnya yang patuh, tidak melawan dan sangat baik hati, telah berubah dalam cerpen ini. Intan menyajikan kisah tersebut dengan lebih realistis dan patut direnungkan kembali.
Di halaman pertama diberitahu bahwa Sindelarat memiliki perilaku yang tidak baik dalam pandangan tokoh “aku” (perempuan buta).
“Larat―begitu kami memanggilnya―begitu kotor seolah ia senantiasa berbedak jelaga. Ia memang tinggal di loteng. Itu tak kumungkiri (meski kusesali karena ternyata di sana ia menyusun kekuatan, bekerja sama dengan makhluk-makhluk kasatmata). [. . .] Larat sudah mati. Aku yang hidup.” (Paramadhita 24-25).
Setelah pernyataan tersebut, perempuan buta memberi tahu sebab ia dengan ibu dan adiknya memperlakukan Larat dengan tidak adil. Sebenarnya ada unsur ketidakadilan juga yang mereka dapatkan dari Larat dan ayahnya.
“Jika Ayah berpergian, ia pulang dan membawakan banyak hadiah untuk Larat. Sementara aku dan adikku hanya mendapat sekotak manisan dan gaun murahan. Hati kami terbakar dengki.” (Paramadhita 25).
“Ayah tidak memarahi atau memukuli kami, tapi ia juga tidak menunjukan penerimaan. Saat makan malam ia hanya menanyai Larat tentang hari-harinya. Bagaimana sulamanmu? Bagaimana mawar-mawar yang kau tanam? Sudah bertelurkah ayam yang kau pelihara? Sudah lebih baikkah kaki burung kutilang yang kau sembuhkan? Kue buatanmu enak sekali! Oh, larat begitu produktif!” (Paramadhita 26).
Dari kutipan pertama dan kedua terlihat bahwa perempuan buta dan adiknya dianggap nyaris tidak ada oleh ayah tirinya. Padahal mereka ingin sekali diperhatikan layaknya seorang ayah kepada anak-anaknya, meskipun hanya ayah tiri. Sedangkan Larat begitu diperhatikan dan diberi hadiah lebih bagus dari kedua kakak tirinya. Bagi mereka, ayah adalah figur yang mempunyai kekuasaan di atas segala-galanya, maka jika anak mendapatkan hati ayahnya, artinya ia mendapatkan kekuasaan. Para tokoh yang Intan tampilkan berlawanan dari kisah Cinderella sesungguhnya.
Kemudian di kutipan kedua tertera ayah Larat menanyakan beberapa pekerjaan Larat, di antaranya menyulam, bertanam, merawat binatang dan memasak. Ibu tiri Larat pun juga demikian, tujuan ayah Larat menikahinya karena ayah Larat tidak mampu merawat diri sendiri, seperti menyiapkan sarapan dan pakaian (Paramadhita 26). Beberapa pekerjaan tersebut adalah representasi citra perempuan yang hanya mereka lakukan dalam kehidupan sosial.
Pekerjaan perempuan sangat sederhana, hanya dibebankan dalam urusan domestik rumah tangga. Bahkan dalam ruang yang sempit itu, gerak-gerik perempuan tetap dalam perhatian ayah atau suaminya. Selebihnya, perempuan harus pandai merias diri. Hal tersebut juga tergambar dalam kutipan di atas bahwa pencapaian terbesar gadis remaja adalah gaun mewah berlimpah. Perempuan tidak diberi kesempatan mengembangkan pontensi dan aspirasi mereka ke dalam ruang yang lebih luas. Sedangkan ayahnya bekerja hingga ke luar kota, mengembangkan diri dalam urusan publik.
Dalam kisah Cinderella pada umumnya, kita telah tahu bahwa Cinderella adalah sosok yang sangat patuh dan baik hati. Tapi dalam cerpen ini, Intan menata kembali cerita dengan pernyataan yang dapat diterima bahwa Larat tidak benar-benar baik, ia juga sama dengan ibu dan kedua kakaknya, sama-sama mampu memanipulasi demi tercapainya suatu keinginan.
“Adik tiriku Larat memang piawai memasang muka manis. Suatu hari ketika ayah tiriku hendak berpergian, ia menanyakan hadiah apa yang kami inginkan. Tentu saja, karena jarang mendapat hadiah bagus darinya, kami menjawab gaun indah. Larat berkata cukup sekuntum mawar saja. tak heran, karena tanpa Ayah berpergian pun ia sudah diberikan segala kemewahan! Perhatikan betapa ia menampilkan citra gadis baik-baik yang tidak materalistis. Puh! Sangat tidak realistis. Kalau ia tidak peduli kekayaan, mengapa ia bersikeras pergi ke pesta untuk bertemu Gusti Pangeran mahakaya?” (Paramadhita 27).
“Dan pesta itu adalah puncaknya. Kami adalah barang dagangan yang dijejerkan di pasar untuk dipilih pembeli. Sang Gusti Pangeran, ia menjdi pembeli tunggal di sini. Tapi tentu saja ia tak bisaa memborong semuanya. Ia harus memilih yang terbaik untuk dijadikan ratu. Bagaimanapun juga, gundik boleh seribu, tapi ratu hanya ada satu. Malam itu kami merasa terancam oleh kecantikan Larat, maka kami melakukan segala daya upaya untuk menghalanginya pergi. Larat merengek ingin ikut, padahal yang melamarnya sudah segudang. Beberapa di antaranya bahkan anak orang kaya. Mengapa ia tak kunjung puas?” (Paramadhita 29).
Dari kutipan tersebut menandakan bahwa Larat tidak benar-benar menjadi sosok yang baik. Pasalnya, dalam kisah asli, Cinderella hadir dengan peran yang patuh dan tidak mengharapkan kemewahan. Tapi Cinderella berkeinginan datang ke pesta. Keinginan tersebut jelas berlawanan dari sikap Cinderella yang tampil sederhana, baik hati dan terkesan tidak menginginkan sesuatu yang muluk-muluk. Intan menformulasikan hal tersebut dengan lebih dapat terima bahwa Larat juga ingin hidup mewah. Namun keinginan tersebut harus disamarkan, yang ditampilkan ialah sosok yang menerima segala keadaan dari ibu dan kedua kakak tirinya, juga ayahnya, di samping ia mengumpulkan kekuatan untuk balas dendam dan menjadi pemenang.
Perlombaan untuk para perempuan yang ingin menjadi istri pangeran adalah representasi perempuan yang menurut Intan bagaikan barang dagangan yang dijejerkan di pasar untuk dipilih pembeli. Tanpa disadari, keinginan orangtua kepada anak perempuannya pada akhirnya agar mendapatkan suami yang jauh lebih baik darinya dalam hal apapun. Karena anak harus berbakti kepada orangtuanya, maka mereka sudah telanjur terkonstruksi dengan tujuan hidup seperti itu. para perempuan dalam cerpen ini berusaha mendapatkan pangeran dengan cara yang lemah hingga tragis. Mereka saling menjatuhkan lawan agar menjadi pemenang.
“Kau tentu tahu, segala daya upaya untuk menghalangi Larat malam itu gagal karena Ibu Bidadari menganggapnya begitu berbudi hingga mau menolongnya.” (Paramadhita 29).
“Ibu menyuruh Larat bersembunyi saat aku dan adikku bergiliran mencoba sepatu itu. rupanya ia bermimpi kami mendapat jodoh keturunan ningrat. Tapi sepatu itu terlalu kecil. kakiku harus kupaksa masuk ke dalamnya agar aku bisa diterima. Sial, jari-jari kakiku begitu besar dan melebar! Aku tak bisa mendorong karena ibu jariku melebihi ukuran gadis-gadis pada umumnya. Ibuku menyodori pisau, “Potong jari kakimu. Kelak jika kau jadi ratu, kau tak akan terlalu banyak berjalan.” (Paramadhita 30).
“Tepatnya, Larat memang menunggu ditemukan karena isak tangisnya terdengar sampai keluar. Ia tak jauh berbeda dengan kami: suka memanipulasi.” (Paramadhita 31).
Dari kutipan tersebut menjelaskan bahwa Larat dengan kelemahannya yang tidak berbuat apa-apa beruntung mendapat bantuan dari Ibu Bidadari sehingga ia bisa datang ke pesta. Larat hanya mengandalkan kecantikan dan pertolongan Ibu Bidadari. Lalu setelah pesta usai dan pangeran datang ke rumahnya, Larat menangis kencang agar ditemukan oleh pangeran. Sedangkan tokoh “aku” dengan adiknya dipaksa ibunya mengiris sebagian kecil tubuhnya agar bisa memenangkan perlombaan tersebut, dan membahagiakan ibunya yang menginginkan putrinya menikah dengan keturunan ningrat.
Namun pengorbanan yang tidak lazim tersebut berakhir sia-sia. Sama seperti kisah Cinderella pada umumnya, Larat tentunya yang menjadi istri pangeran karena pangeran mencintai perempuan yang cantik, lemah dan patuh seperti Larat.
“Yah, seperti yang kau dengar, sepatu itu pas di kakinya karena itu memang miliknya. Gusti Pangeran begitu berbinar saat Larat menuruni tangga dengan sepatu itu. ia kini benar-benar yakin bahwa inilah perempuan yang bersamanya di pesta. Perempuan yang akan berhias setiap pagi untuknya, yang akan menunggunya dari medan perang, yang akan jadi ibu dari anak-anaknya.” (Paramadhita 31).
Dari kutipan tersebut tergambar bagaimana nanti pekerjaan Larat setelah menikah: berhias diri untuk suaminya, menunggu kedatangan suaminya dan melahirkan anak-anak untuk suaminya. Hal tersebut merepresentasikan perempuan yang pada umumnya melakukan hal serupa sebagai kewajiban dalam suatu pernikahan.
Keinginan perempuan hidup bahagia dengan cara menikah adalah representasi perempuan yang timbul berdasarkan asuhan dari orangtuanya atau berasal dari lingkungan mereka tinggal. Dalam pernikahan itu sendiri, antara perempuan dengan laki-laki sudah dipilah peran masing-masing berdasarkan sistem patriarki. Menurut Kurnianto (30) dalam pandangannya mengenai pernikahan, memang perempuan tidak bisa menghindari diri dari kodratnya menjadi ibu rumah tangga dan laki-laki pun juga tidak bisa menghindari kodratnya menjadi bapak dalam rumah tangga. Namun tidak seharusnya posisi yang berbeda tersebut melahirkan peran yang berbeda. Perempuan dan laki-laki memliki tanggung jawab yang sama dalam kelangsungan hidup keluarganya.
Setelah Larat menikah, kehidupan tokoh “aku” dengan ibu dan adiknya menjadi semakin berat. Kekhawatiran ibu kepada kedua anak perempuannya yang akan menjadi perawan tua menjadikannya jatuh sakit dan tidak berdaya. Demi kelangsungan hidup, tokoh “aku” dengan adiknya menahan malu untuk datang ke Istana agar diberi pertolongan oleh Larat, tapi Larat tidak mengindahkan.
“Larat meminta kami pergi, tetapi kami akan tetap di sana sebelum mendapatkan uang. Kalau bisa, kami ingin menjadi gundik suaminya, tapi tentunya ini tak mungkin karena sudah ada ribuan wanita cantik mengantre untuk posisi tersebut. Tiba-tiba datanglah burung terkutuk itu. burung yang sama seperti yang kami temui di jalan. Ia mematuki mata kami seperti menghunuskan pisau sarat dendam. Berkali-kali hingga kami menjadi buta. Larat, saudara tiriku, menatap sambil melahap anggur sebesar biji mata.” (Paramadhita 32).
Dari kutipan tersebut menandakan bahwa Larat telah berhasil melakukan balas dendam kepada ibu dan kedua kakak tirinya, bahkan perlakuan Larat jauh lebih keji. Melalui sudut pandang orang pertama, Intan menunjukan tokoh sentral yang pada awalnya sama sekali mulus menjadi tampak cacat. Artinya, Intan memanusiakan tokoh-tokoh yang dianggap tidak penting dan mengkritisi tokoh sentral dengan cara yang dapat diterima pembaca. Versi lain ini menawarkan pemikiran baru dengan perspektif yang berbeda sehingga semua tokoh dalam satu cerita diperlakukan adil oleh penulisnya.
            Setelah Larat menjadikan buta kepada kedua kakak tirinya, ia tetap tidak berakhir bahagia. Sesuai namanya, Sindelarat. Larat, menurut orang Jawa diartikan sebagai orang yang bernasib melarat atau sengsara. Larat menderita hingga meninggal. Sementara tokoh “aku” masih hidup meskipun dengan keadaan cacat.
“Aku meninggalkan desa dan hidup mengembara bersama adikku. Kami dua perempuan buta tak berguna, bertahan dengan mengamen di sudut jalan. Adikku bermain kecapi dan aku menyanyi. Kami harus melakukannya karena kami tak punya pangeran dan Ibu Bidadari.” (Paramadhita 32).
“Larat tidak hidup bahagia selama-lamanya seperti yang dikira banyak orang. Ia meninggal saat melahirkan putrinya yang ke-6. Hampir setiap tahun ia hamil karena kerajaan membutuhkan putra mahkota. Ia tak lagi cantik―pahanya ditimbuni lemak dan perutnya lembek seperti tahu. Ia mati karena pendarahan berkepanjangan, [. . .]” (Paramadhita 32-33).
Dari kutipan tersebut tercermin bahwa tokoh “aku” dan Larat yang digambarkan oleh teks adalah hasil versi lain yang berlawanan dari teks pada umunya. Tokoh “aku” yang dianggap tidak penting dalam kisah Cinderella menjadi tampak patut direnungkan kembali. Kedua perempuan kakak-beradik yang Intan ciptakan melahirkan sosok yang kuat dan tabah. Setelah mereka gagal dalam menggapai keinginan menjadi istri pangeran, lalu ibunya meninggal, mereka masih tetap bertahan dengan lebih mandiri. Meskipun keadaan mereka cacat, mereka tetap melangsungkan hidupnya dengan mengamen di sudut jalan. Sementara Larat meninggal akibat patuh pada kehendak pangeran. Hal ini menunjukan bahwa harapan mereka untuk hidup bahagia bersama pangeran ternyata tidak begitu membahagiakan. Kejadian tersebut merupakan representasi perempuan dari apa yang selama ini diidamkan. Cerpen ini menawarkan perspektif tentang impian perempuan yang seharusnya tidak melulu soal pernikahan.

F.     Kesimpulan
Penceritaan ulang yang Intan ciptakan memberi formula baru dari kisah Cinderella pada umumnya bahwa Cinderella sebagai tokoh sentral dikritisi dengan pemahaman baru ke dalam cerpennya. Keputusan yang Intan ambil ini memberi dampak kepada pembaca untuk berlaku adil terhadap setiap tokoh. Tidak segala tokoh memiliki patokan hitam atau putih yang mutlak kita percayai. Versi lain dari kisah Cinderella ini memberikan beberapa celah dan sisi kepada pembaca untuk merasakan beragam warna lain yang terlupakan.
Para tokoh perempuan yang hadir dalam cerpen ini juga merupakan representasi perempuan konservatif mengenai impian yang hanya sebatas dalam pernikahan. Padahal hal tersebut menjadikan perempuan sebagai makhluk sosial yang subordinat. Intan menampilkan bahwa akan ada rasa penyesalan dan ketidak-bahagiaan jika tunduk pada kekuasaan laki-laki. Dan segala bentuk sikap perempuan yang tertuang dalam cerpen ini mengidentifikasikan bahwa perempuan tidak memiliki kesempatan untuk berkembang dalam ranah publik. Perempuan hanya berurusan dalam ranah domestik rumah tangga yang di dalamnya pun masih harus tunduk pada peran laki-laki.

Daftar Kepustakaan
Buku:
Hall, Stuart. New Ethnicities, Race, Culture and Difference. London: Saga, 1995.
Hall, Stuart. Representation: Cultural Representations and Signifying Practices. London: Routledge, 1997.
Megawangi, Ratna. Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru Tentang Relasi Gender. Bandung: Mizan, 1999.
Moleong, Lexy J. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: CV Remadja Karya, 1989.
Paramadhita, Intan. Sihir Perempuan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2017.
Skripsi dan Tesis:
Indriani, Widya Riski. Pemberdayaan Kaum Perempuan pada Sekolah Perempuan Pedesaan di Dusun SUKOREMBUG Desa Sidomulyo Kecamatan Batu Kota Batu. Surabaya: UIN Sunan Ampel Surabaya, 2015.
Prabasmoro, Aquarini Priyatna. Representasi Seksualitas Perempuan dalam Tiga novel Karya N.H. Dini. Depok: Universitas Indonesia, 2003.
Jurnal:
Kurnianto, Agus. “Representasi dan Dekonstruksi Perempuan dalam Cerpen Sang Ratu Karya Intan Paramadhita.” Jurnal Ilmiah Bina Bahasa, vol. 7, no. 1, 2014, pp. 27-38.

Lieberman, Marcia R. “’Some day My Prince Will Come’: Female Acculturation through the Fairy Tale.” College English 34.3 (Dec. 1972): 383-395. Rpt. in Children’s Literature Review. Ed. Tom Burns. Vol. 101. Detroit: Gale, 2005. Literature Resource Center. Web. 4 Dec. 2015.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Garin Nugroho Membasuh Pikiran Masyarakat

oleh Fena Basafiana             Bagi para pecinta film Indonesia, pasti sudah tidak asing lagi dengan sosok Garin Nugroho. Ia adalah sut...