Dini
hari, kulihat suamiku tertidur pulas di tempat tidur. tubuhnya selalu diguyuri
keringat dingin. kuusap dahinya dan memainkan rambutnya. Kujatuhkan tubuhku ke
tempat tidur sambil memeluk kepalanya. Tak terasa, air mataku berlinang lagi.
Tak pernah kumengerti, mengapa perjalanan cintaku hingga serumit ini. Apakah
karena orang tuaku yang tak merestui atau memang cinta harus diperjuangkan?
Tapi kata sebagian orang, jika cinta Nampak sulit, maka itu bukanlah cinta. Karena
cinta datang dengan keberkahan. Hingga pada hari ini atau mungkin untuk
hari-hari selanjutnya, aku tak pernah menyesal mencintai Adit—suamiku, walau
hari-hari kami penuh dengan keresahan.
Aku mengenal
Adit sejak SMA. Ia tak begitu tampan dan bukan dari keluarga kaya raya, tapi ia
bersikap sederhana dan menerimaku apa adanya. Berulang kali kujelaskan alasan
ini pada kedua orang tuaku, tapi mereka hanya tertawa kecil dan tak pernah
mempedulikan perasaanku. Mereka malah menarikku ke kota Bandung untuk kuliah.
Mungkin mereka ingin menjauhkanku dengan Adit yang berada di Solo. Adit tidak
kuliah, ia lebih memilih bekerja.
Kami
berhubungan jarak jauh. Saat aku di semester 5, tiba-tiba aku dipaksa untuk
menikah dengan laki-laki pilihan kedua orang tuaku. Aku sama sekali menolaknya
dan mengadu pada Adit. Akhirnya kami memutuskan untuk kawin lari. Kami menetap
di pinggir Jakarta. Aku berhenti kuliah dan bekerja sebagai pelayan kafe.
Sedangkan Adit bekerja sebagai satpam di perusahaan swasta.
Awal rumah
tangga kami cukup menyenangkan. Namun tiga bulan kemudian, kami di hadang
musibah. Adit terjangkit penyakit HIV. Sebelumnya ia ketahuan polisi mengedar
narkoba. Aku kaget dan marah besar. “Sejak kapan kamu melakukan ini?”
“Aku
mengonsumsi ganja sejak lulus SMA. Aku stres, Al. kamu tahu kan, kondisi
keluargaku sangat buruk. Ayahku sakit keras. Ia hanya terbaring di kasur
sepanjang hari. Ibuku hanya bekerja sebagai pembantu dan setiap malam ia selalu
pulang dengan tubuh memar karena sering dipukuli majikannya. Ia tetap bertahan
karena tak punya pekerjaan lain lagi untuk biaya hidup, perawatan ayahku dan
menyekolahkan dua adikku. Apalagi saat kamu minta kita kawin lari, akhirnya
kuputuskan untuk mengedar narkoba agar kehidupan kita lebih baik dan aku bisa
bantu ibuku.”
“Tapi Mas,
lihatlah kondisi kita sekarang. Kita harus menebus uang Sebesar seratus juta,
kalau tidak kamu akan di penjara selama lima tahun. Belum lagi kini kamu sakit
HIV. Itu penyakit mematikan, Mas.”
“Tinggalkanlah
aku, Alysa. Biarlah kamu pulang ke rumah orang tuamu. Kita harus saling
melupakan. Kamu tidak akan bahagia lagi bersamaku.”
Tubuhku
berguncang-guncang menahan tangis. Aku langsung memeluk Adit erat. “Kamu jahat,
Mas. Tapi aku akan lebih hancur lagi jika pergi darimu. Jadi biarkan kita
menyelesaikan masalah ini bersama.” Adit balas memeluk.
***
Adit
terbangun. Ia melihatku dengan pandangan sayu. “Akhir-akhir ini kamu selalu
pulang dini hari. Aku khawatir.”
“Aku
baik-baik saja, Mas. Ohya, aku sudah punya uang seratus juta. Besok kita
langsung tebus ke polsek ya agar kamu tenang.”
“Uang
dari mana, Al?”
“Aku
pinjam uang temanku.”
“Temanmu
yang mana? Mengapa temanmu mau meminjamkan uang sebanyak itu?”
“Teman
kuliahku dulu, Mas. Ia kasihan mendengarkan ceritaku.”
“Teman
kuliahmu yang di Bandung? Kalian bertemu di mana? Ia ada di Jakarta?”
“Iya,
Mas. Dia bekerja di Jakarta. Sudahlah, Jangan terlalu jauh kau pertanyakan
pinjaman ini. Uangnya akan segera kubayar.” Kuusap lagi wajah Adit yang
berkeringat. “Apa kamu sudah minum obat?”
“Belum.
Aku selalu lupa. Biar aku ambil sendiri. Lebih baik kamu tidur.” kuputuskan
untuk langsung tidur karena tubuhku sangat lelah.
Paginya
aku dikagetkan dengan teriakan Adit. Ia menghampiriku dan
mengguncang-guncangkan tubuhku kasar. “Maksudmu apa, Al?” kulihat Adit
menunjukkan test pack yang hasilnya positif.
“Itu…
itu bukan punya aku, Mas.”
“Aku
menemukan ini di kamar mandi. Di rumah ini hanya ada aku dan kamu yang
tinggal.”
“Aku…”
“Sudah
satu tahun kita tidak berhubungan karena aku takut kamu tertular penyakit HIV.
Kamu berhubungan dengan siapa? Mengapa kamu tega, Al?”
“Selama
ini aku bekerja sebagai pelacur, Mas. Aku diajak oleh atasanku karena penawaran
harganya sangat mahal. Aku tidak ingin kamu di penjara dan untuk memenuhi biaya
pengobatanmu. Mungkin sama halnya dengan kamu dulu yang beralih menjadi
pengedar narkoba. Semua kulakukan demi kebaikanmu dan kebaikan kita. ”Kulihat
kemarahan Adit mengendur. Kulihat lagi wajahnya semakin pucat dan tubuhnya
semakin kurus. “aku sangat mencintaimu, Mas.”
“Aku
butuh waktu.” Adit mengambil jaketnya dan langsung berlalu meninggalkan rumah. Aku
hanya mematung.
***
Di
kamar tidur, debu-debu di setiap benda adalah luka yang berceceran karena hati
tak sanggup lagi menampungnya. Tiga boneka beruang mendengkur setiap malam. Mereka
ingin sekali minum air mineral. Katanya, untuk menetralisir gundah yang
berkeliaran di tubuh. Aku tak peduli. Karena aku sendiri pun kekurangan air
mineral. Tidurku berbuah beragam gundah. Bahkan gundahku lebih menjijikan dari
hal paling menjijikan.
Setelah
enam bulan kemudian, aku sering mimpi buruk. Sehari tidur tidak kurang dari
lima belas jam. Sisa waktu hari kuhabiskan untuk melamun dan sedikit makan atau
kalau ingat aku mandi. Perilakuku yang berubah karena Adit tak mau kembali
lagi. Terakhir ia hanya mengirim surat. Ia bilang bahwa perasaanya sangat
hancur atas segala keputusanku.
Satu
hal yang Adit belum ketahui, telah kulahap habis puluhan ganja yang Adit simpan
di bawah kasur. Di sela-sela lamunanku, kudengar suara tangisan seseorang.
Suaranya sangat dekat di sekitarku. Kucoba cari di setiap sudut kamar dan
ruangan lain, namun tak kutemukan apa-apa. Pikirku, ini pasti hanya efek
samping dari mengonsumsi ganja.
Saat
mencari tahu siapa yang menangis, kutemukan foto album bersama keluarga besarku
yang sudah kusam karena berada di kolong tempat tidur. Kubuka setiap lembar
album. Ada gambarku saat masih bayi, remaja hingga dewasa. Ada satu foto yang
mengenyak hatiku. Seorang perempuan berkebaya membawa bakul di punggungnya
sambil menuntun seorang balita yang menangis ingin digendong. Ia adalah Ibuku
dan balita itu adalah aku. Dulu ibuku adalah penjual jamu keliling. Aku jadi
merindukan Ibu. Bagaimana dengan kabar Ibu? Apakah Ibu baik-baik saja? Ah,
pasti Ibu sudah berumur senja dan kulitnya sudah keriput.
Kupandang
lama foto Ibuku. Aku sangat mirip dengan Ibuku. Kupandang lagi foto Ibu sambil
bercermin memastikan kemiripanku dengan Ibu. Saat bercermin, aku kaget. Lupa
bahwa aku sedang hamil. Perutku semakin membesar. Kudengar lagi tangisan
seseorang bahkan suaranya semakin jelas. Kuraba perutku, kurasakan seperti ada
benturan-benturan ringan. Kutelusuri lagi sebab kehamilanku. Tak diketahui
siapa Ayah dari bayi ini.
“OH
TUHAN, ada yang menangis di kamarku, ada di kamar rahimku.”
Tugas Cerpen Mingguan
6 Desember 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar