Matahari
baru saja rebah. Di lorong gelap, tempat pinggir Jakarta paling sunyi dan
pengap, telah ramai oleh orang-orang berkumpul untuk berdiskusi. Kegiatan ini
rutin dilakukan seminggu sekali dari komunitas sastra lorong. Sekitar dua puluh
orang membentuk lingkaran besar. Cahaya di sini menggunakan lampu remang lima
watt yang dibawa oleh salah satu anggota.
Pendiri
komunitas sastra lorong adalah Iwak, seorang laki-laki penyayang dan pengasih.
Setiap anggota memiliki lapisan sosial berbeda. Sebagian kecil bekerja sebagai
karyawan di kantoran, sebagian besar sebagai seniman jalanan atau bisa
dikatakan pengangguran.
Tema
diskusi kali ini tentang puisi Zen Hae yang berjudul Kitab Pelarian. Esai
ditulis oleh Sigit, seorang penyair jalanan yang serabutan. Moderator bernama Laras,
perempuan paling manis dan beruntung karena pekerjaannya sebagai sekertaris di
perusahaan asing. Sigit mulai menerangkan kajiannya. Setelah itu, pertanyaan
dan kritikkan dari anggota lain meruak. Kesimpulan dari diskusi kali ini adalah
sajak kitab pelarian menggambarkan tentang dunia yang tidak aman dan penuh
ancaman. Manusia tanpa harapan yang lari dari masalah.
***
Sigit yang
berawak kurus dan pendek berada di pangkuan Iwak. “kulihat kau semakin mahir berbicara
dan esaimu lebih bagus.” Iwak menepuk-nepuk pundak Sigit. “Ini berkat ajaranmu,
Wak.” Sigit memasukkan sebatang rokok ke mulut Iwak dan menyalakan api di ujung
rokoknya. “Aku jadi semakin mencintaimu, sayang.” Mereka berpelukan.
Hubungan
terlarang ini sudah berlangsung sejak dua tahun lalu. Sigit datang dengan tubuh
yang kotor dan baju rombeng. Ia seperti gelandangan. Awalnya hanya meminta
makan pada Iwak, akhirnya jadi menetap di rumah Iwak. Mereka mempunyai satu
kesamaan, ialah suka membaca buku-buku sastra adiluhung. Sigit juga berguru
dengan Iwak. Ia diajarkan menulis puisi dan prosa.
Kehidupan
Sigit berubah 180 derajat. Sigit lebih bahagia dan mempunyai harapan untuk masa
depannya. Ia benar-benar ditempa dengan keilmuan sastra oleh Iwak. Mereka
membaca bersama, beragumen bersama dan menulis bersama. ia juga mencari makan
bersama: berjualan buku-buku loak di pasar.
Hingga
suatu ketika, Sigit pulang dari pesta pernikahan diantar oleh Adam—teman
sekolah dasar dulu. Baju mereka basah
karena kehujanan. Saat membuka pintu, dilihat Iwak berdiri mematung. Wajahnya
seperti menahan geram dan matanya merah. Iwak langsung mengusir Adam dan
menarik Sigit untuk masuk ke dalam. Iwak marah. Ia berceramah sampai mulutnya
berbusa. “Seharusnyaa kau izin dulu denganku. Apalagi kau diantar oleh orang
yang tak kukenal. Padahal aku bisa mengantarmu ke mana saja. Sekarang kau sudah
mulai tak sopan denganku.” Dibiarkannya
Sigit tergeletak di lantai. “Maaf. Kukira tak perlu izin dahulu, karena aku
hanya pergi ke pesta pernikahan sebentar. Aku hanya ingin mandiri.” Tubuh Sigit
menggigil. Napasnya mulai tak teratur. Asmanya kambuh hingga Sigit pingsan.
Iwak panik. Ia langsung mengambil air satu ember dan menyiram wajah Sigit agar
tersadar.
Sigit
terbatuk-batuk. Iwak memeluk sigit erat. “maafkan aku. Tak ada maksud menyakitimu.
Semua ini kulakukan karena aku sangat mencintaimu. Aku takut kehilanganmu. Jadi
tetaplah bersamaku.” Sigit kaget mendengar pernyataan Iwak. padahal selama ini
ia telah menganggap iwak sebagai abangnya sendiri. Sigit hanya mengangguk. Ia
tak mau menyakiti Iwak. Sigit ingin sekali berteriak kencang. Dinding-dinding
di sekitar melekung dan mengelupas, menahannya untuk tidak berteriak. Mengapa
perasaan Iwak bisa sampai sejauh ini?
***
Lain halnya
dengan Laras. Bekerja sebagai sekertaris membuat hidupnya bosan dan hampa.
Padahal nalurinya ingin sekali menikmati novel, beberapa lembar sajak, menonton
teater dan berdiskusi tentang sastra. Akhirnya Laras mengikuti komunitas
lorong, diajak oleh salah satu bawahannya yang juga menjadi anggota komunitas
ini.
Suaminya—pemimpin
perusahaan asing, tidak tahu bahwa Laras mengikuti komunitas ini. Laras hanya
bilang mengikuti arisan mingguan bersama teman-temannya. Suaminya langsung
percaya dan mengizinkan. Suaminya memang sangat sibuk dan tidak perhatian,
apalagi romantis pada Laras. Ini juga salah satu alasan Laras, mengapa hidupnya
sangat membosankan. Sebenarnya Laras ingin cerai dengan suaminya. Namun hal itu
tak mungkin dilakukan karena keluarga Laras sangat menadah pada kekayaan suami
Laras.
Setelah
satu tahun mengikuti komunitas ini, Laras merasa hidupnya lebih berwarna dan
hampa di hatinya menyusut. Teman-teman komunitas juga sangat asyik dan baik. Yang
paling mengejutkan, ternyata Laras telah menaruh hati pada Sigit. Katanya Sigit
sangat menawan dan hebat. Ia sama sekali tak tahu tentang hubungan Sigit dengan
Iwak. Sigit juga tak tahu kalau Laras telah menikah. Sigit yang merasa disukai
oleh Laras lewat tingkah Laras padanya, mulai ikut mendekati Laras lebih
intens. Mereka berpacaran diam-diam.
Mereka
sering keluar malam. Bahkan sudah beberapa kali menginap di hotel dalam satu
kamar. Sigit dan Laras tidak merasa dirugikan. Mereka menganggap ini sebuah
pelarian dari masalah dan tekanan mereka masing-masing. Sigit yang sangat lelah
memiliki hubungan terlarang dengan Iwak, ia ingin sekali berontak tapi selama
ini kehidupannya menjadi lebih baik karena Iwak banyak membantu. Sedangkan
Laras sangat kesepian dan bosan pada hidupnya karena memiliki suami yang dingin
dan sibuk.
Suami Laras dan Iwak merasa curiga. Ada
perubahan yang mencolok pada perilaku Sigit dan Laras. Seperti sering keluar
malam dengan pakaian bagus dan minyak wangi mencolok, dana pengeluaran Laras
semakin bertambah karena Laras sering mengajak Sigit ke tempat-tempat elit.
Apalagi kini sudah tiga hari Laras dan Sigit tidak pulang ke rumah. Mereka
menghilang.
Suami
Laras mulai menyelediki dan mencari tahu tentang keberadaan istrinya. Setelah
ditanya satu persatu bawahanya, Ayu—salah satu anggota komunitas lorong
terpaksa membocorkan aktivitas Laras selain bekerja. Suami laras dan Ayu
langsung datang ke rumah Iwak. Iwak kaget mendengar cerita dari suami Laras. Ia
mulai merasa ini pasti ada kaitannya dengan Sigit yang juga tak pulang ke rumah
selama tiga hari.
Dua
minggu kemudian, mereka belum juga ditemukan. Suami Laras sudah melaporkan ke
kantor polisi seminggu yang lalu. Perasaan Iwak hancur. Hidupnya tak tenang.
Komunitas lorong tak lagi aktif.
Hingga
pada suatu sore, saat Iwak menonton televisi, didapati berita mengenaskan.
Sepasang kekasih tertabrak truk pengangkut pasir. Tubuh mereka tertindas ban
truk setelah sebelumnya bertengkar hebat di tengah jalan raya pada tengah
malam. Mereka adalah Sigit dan Laras. Iwak dan suami Laras langsung ke kantor
polisi. Dalam kantong Sigit, ditemukan surat yang tertulis untuk Iwak. dibuka
surat itu dengan tangan bergetar.
Untuk Iwak,
Maafkan aku
telah menghilang. Aku pergi bersama Laras. Kami menjalin hubungan cinta. Aku
menghilang karena Laras ingin membunuh jabang bayi kami yang ada di kandungan.
Tak rela dengan keputusan Laras, akhirnya aku mengekang dan mengikat Laras. Aku
tak akan kembali ke rumahmu lagi. Sebenarnya aku menyayangimu karena kau adalah
abangku, bukan sebagai kekasih. Terima kasih atas segala kebaikanmu padaku.
Tak terasa air
mata Iwak jatuh dan semakin deras. Tubuhnya lemas dan wajahnya biru pucat
karena tidak tidur semenjak Sigit pergi, apalagi kini ia tak akan kembali lagi.
Tugas cerpen mingguan
22 November 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar