Impian besar dan takdir berlainan menghantam
hidupku. Mungkin aku terlalu terpuruk, hingga
mampu melewati batas wajar. Semuanya berawal dari Daerah Ambon, tempat
aku lahir dari rahim Ibu yang sangat sedih. Ia kebingungan dan ketakutan
tentang masa depanku. Karena pekerjaan Ayah hanya sebagai pengrajin kaligrafi
kaki lima yang penghasilannya tak karuan.
Tak ada wejangan atau dongeng di rumah. Suasana
rumahku pengap dan gelap. Maka dari itu,
kuhabiskan waktu bersama alam. Sejak umur tujuh tahun, aku sudah mampu
berbincang dengan alam. Alam sering menasihati tentang kehidupan. Katanya sastra,
musik dan teater adalah saudara, satu ibu. Dan ibunya adalah alam. Aku jadi tertarik
mempelajari itu. alam juga bilang, manusia harus ramah pada siapapun dan
apapun. Harus pandai berbahasa agar punya banyak teman dan hidup lebih
terjamin. Pikirku, aku saja mampu berbincang dengan alam, apalagi dengan
manusia-manusia di bumi.
Kujadikan semua itu impian. Membaca buku adalah
awal dari usahaku. Segala jenis buku kulahap habis. Yang lebih mengasyikan
adalah bisa menonton film kartun dan mendengarkan musik sambil belajar.
Berbicara tentang apa saja di depan cermin. Berbincang dengan diri sendiri di
cermin sangat menenangkan diri. Mungkin aku tampak angkuh, tapi sesungguhnya
tak ada manusia yang bicara lapang cerah padaku. Ibu dan Ayah hanya tersenyum
dan berdoa. Orang-orang di sekitar selalu mengatakan bahwa hidup ini susah,
kejam, tanpa harapan dan lain sebagainya.
***
Kini
umurku sudah enam belas tahun. Aku tumbuh besar di luar kewajaran. Menuntut
ilmu seperti orang kesurupan. Orang-orang menjulukiku sebagai gadis polyglot
karena manguasai beberapa bahasa. antara lain bahasa Inggris, Italia, Spanyol,
Belanda, Mandarin, Arab, Jerman, Perancis, Korea, Jepang, India, Rusia dan
Tagalog. Aku menghafal tiga puluh kosa kata setiap hari dengan berbagai bahasa.
Setelah itu baru mempelajari tata bahasanya. Selain sekolah, aku juga menjadi
instruktur klub teater dan penyiar radio. Di waktu luang, aku menulis karya
sastra dan bermain biola.
Hal yang paling mengejutkan adalah
aku menjadi Duta ASEAN untuk Indonesia di bidang anak. Mengubah pemikiran orang-orang
di sekitar bahwa aku bisa mengubah kehidupanku yang dulu suram. Bahkan di
dunia, aku sangat terkenal. Banyak media yang ingin meliputku. Sebelum
berangkat ke Thailand untuk mengembang tugas menjadi Duta, aku bersama Ibu
pernah menemui Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu di Kantor Gubernur Maluku.
Aku meminta Gubernur agar memberikan
beasiswa serta percepatan ujian dini. Namun Gubernur tidak mengindahkan.
Aku tidak boleh patah semangat
karena hidup masih panjang. Lagi pula, aku sudah ditawari banyak kesempatan, mulai
dari melanjutkan kuliah di sejumlah perguruan tinggi negeri ternama di
Indonesia, bahkan mendapat tawaran sekolah diplomat di Sydney, Australia. Aku
ingin menjadi diplomat termuda sebelum usia dua puluh tahun.
Aku juga
harus mendorong anak-anak Maluku untuk terus belajar dan mengembangkan bakat
melalui kegiatan roadshow di beberapa sekolah Ambon mulai dari SD sampai
SMA agar mereka mempunyai pemikiran lapang dalam hidupnya.
Kegiatanku
jadi sangat padat. Aku jadi jarang bermain dengan alam. Akhirnya kuluangkan
waktu sejenak dengan alam di malam hari. Aku rindu udaramu alam. Rasanya segar
sekali. Kulihat alam tetap seperti dulu. Selalu bersikap baik dan ramah padaku.
Padahal akhir-akhir ini aku sering melupakanmu. Aku duduk bersandar di pohon
besar. Di sela perbincangan, hujan turun. Aku tetap terjaga dan menikmati
segala kelakuan alam.
Daun-daun
di pohon berjatuhan serempak. Mengagetkanku. Ada satu daun yang berwarna kuning
keputihan jatuh didekatku padahal daun lainnya berwarna hijau. Aku penasaran,
segera meraih daun itu. namun saat sudah di genggaman, daun itu menghilang. Ah
mungkin aku salah lihat. Memang tak pernah ada daun berwarna kuning keputihan
di sini. Alam melihat kebingunganku, ia berkata bahwa daun kuning keputihan itu
ada, namun diambil langsung malaikat dengan cepat. Aku hanya mengangguk. Tak
mau memikirkan ini terlalu jauh.
Lalu
alam berkata lagi, aku harus sudahi meraih mimpi karena kini aku sudah sangat
besar dan menakjubkan. Aku heran dan mengatakan bahwa perjalanan ini baru
setengah tujuan. Tujuan intiku adalah menjadi Duta termuda sebelum berusia dua
puluh tahun. Angin memeluk tubuhku ngilu. Aku masih tak habis pikir, mengapa
alam menjadi tak bersemangat lagi mendorongku meraih impian. Kuputuskan untuk
masuk ke rumah dan tidur.
Hari-hariku
semakin sibuk. Kini aku sudah menetap di Jakarta. Putus hubungan dengan alam di
kampung. Ini sangat menyedihkan. Tapi waktu akan terus berjalan, bukan? Dan
impian harus segera diraih. Tapi akhir-akhir ini aku merasa ganjal. Seperti ada
yang memperhatikanku. Suatu ketika aku sedang pergi ke supermarket di malam
hari, saat berjalan tiba-tiba ada yang menyenggolku dan berlalu cepat. Pernah
juga saat aku sedang menaiki lift, di dalam lift tak ada orang lain selain aku.
Namun ketika aku keluar, seperti ada seseorang lewat kilat di sampingku. Aku
belum sempat melihat wajahnya. Yang paling mengerikan adalah setiap aku bangun
tidur jam dini hari, saat ingin ke dapur atau toilet, aku sering tersentak
dengan kehadiran seseorang sedang berjalan cepat. Ini sangat menyeramkan dan
menganggu hidupku. Ingin kuceritakan hal ini pada alam. Tapi aku sedang di
Jakarta. Walaupun kini zaman sudah modern dan semakin canggih. Orang-orang yang
tinggal di tempat berbeda dan jauh, bisa berkomunikasi lewat handphone, media
sosial dan lain sebagainya. Berbeda dengan alam, alam tidak punya handphone dan
akun media sosial. Aku harus menemuinya langsung. Tapi ini sulit, waktuku
benar-benar sibuk. Tak ada kesempatan untuk pulang kampung di waktu yang dekat.
Sore ini aku berencana untuk
olahraga di Kawasan Senopati, Jakarta. Pergi bersama teman-teman. Melepas penat
sejenak dari aktifitasku. Saat olahraga berlangsung, tiba-tiba kepalaku pusing
sekali dan perutku mual. Aku duduk di tepi lapangan dan bersandar. Kepala
bagian belakangku semakin sakit. Seseorang yang selama ini memperhatikanku
kembali hadir. Seperti biasa, ia berjalan kilat. Aku kebingungan. Kesadaranku
semakin menurun.
***
Kini waktuku telah habis. Aku sudah
tak berbincang lagi dengan alam apalagi dengan orang-orang sekitar. Impianku
belum tuntas tapi aku puas. Karena malaikat bilang, ilmu dan amalku selama ini
sudah cukup untuk mendapatkan kunci surga kelak. Seseorang yang sering mengamatiku
adalah malaikat pencabut nyawa dan aku baru menyadari bahwa daun kuning
keputihan yang jatuh waktu itu adalah daun tertulis namaku. Gugur dari pohon
yang letaknya diatas arasy Tuhan. Kulihat kedua orang tuaku menangis tak kuasa
karena kepergianku. Kulihat juga orang-orang di dunia ikut berduka. Mereka
bilang, telah kehilangan seorang pemuda yang bisa mengharumkan Bangsa
Indonesia.
Aku pernah bilang pada kalian saat
diliput: Berpikir dan berbuatlah di luar kotak, jika masih berpikir di dalam
kotak pasti akan terbentur empat sisi kotak, tak akan bisa ke mana-mana. Tapi
jika bisa berpikir out of
box, kita akan menjadi manusia merdeka yang mampu berpikir terbuka.
Tolong camkan pernyataan ini untuk teman-teman dalam menggapai impian.
sebelumnya alam pernah bilang, tak rela dengan takdirku ini. Tapi kini aku
lebih bahagia. Tuhan Maha Adil dan Penyayang. Aku akan memberikan ruang pada
teman-teman melapangkan waktu untuk
menapakai bumi dengan ilmu yang bermanfaat.
*cerita
ini terinspirasi dari sosok Gayatri Waillisa
Tugas cerpen
mingguan
7
november 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar