Angin
tidak akan pernah lelah mencari. ia terbang. Masuk ke ruang dan lubang-lubang.
walau pada kenyataan, angin tidak akan pernah mencium atau dicium siapa pun.
Maka jika manusia menyerah pada kebahagiaan, itu hanyalah igauan. Tapi aku
kelelahan meraihnya. Bahkan untuk sekedar melihatnya, aku harus sembunyi di
balik jemuran yang berjejer panjang di tempat kosku sedang tempat ia tinggal
berada di seberang sana.
Sepotong-potong
melihat wajah dan tubuhnya, merayu mataku untuk tetap terjaga. Aku menyukai
rambut gondrong, mata layu dan badan kurusnya yang memiliki makna terselubung—pasti
ia pekerja keras, juga puisi-puisinya. Pernah teman satu kos berkata bahwa
tipeku sangat rendah. Aku tak mengindahkan pernyataan temannku dan tetap
mengaguminya.
Namanya
Angga. Kami satu kampus, bahkan satu jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia. Hanya saja dia sudah semester sembilan dan aku baru semester satu. Pertama
kali melihatnya saat ia sedang membacakan puisinya di acara apresiasi puisi.
Penampilannya santai namun tampak perkasa karena suaranya menggelegar bak
halilintar. Aku juga sering melihatnya saat menjemur beberapa pakaian di
jemuran. Ia selalu terburu-buru. Namun aku tak bisa menjemur pakaian lagi karena
kini jemuran selalu penuh dengan pakaian orang lain.
Nama
tempat tinggal kosku adalah pondok permai. Modelnya seperti kontrakkan tiga
petak untuk satu pintu. Di kosan ini ada 16 pintu dari dua lantai. Satu pintu
bisa dihuni tiga sampai empat mahasiswi dan hanya dua jemuran panjang yang
sebenarnya tidak cukup untuk semua penghuni kosan. Hampir lima bulan aku tidak
dapat tempat menjemur pakaian dan mengamatinya diam-diam. Akhirnya menggunakan
jasa laundry.
Suatu ketika
Bang Angga datang. Ia menawarkan jasa laundry dengan harga terjangkau. Biasanya
satu kilo baju seharga lima ribu, sedangkan ia memberi harga tiga ribu. Kualitas
tetap terjamin, katanya. Aku hanya mengangguk dan sesekali mengamati wajahnya.
Ia selalu terlihat lelah dan pucat. Seperti menanggung beban berat.
Seorang
perantau sepertiku harus rajin berhemat. Apalagi aku tidak punya pekerjaan dan
hanya mengandalkan kiriman uang dari keluarga di kampung Gayo Leus, Aceh. Biasanya
aku makan sehari dua kali karena banyak buku yang harus dibeli, print dan fotocopy makalah atau paper. Bagaimana
dengan nasib cucian kotorku yang tidak mendapatkan tempat untuk menjemur?
Pernah melihat tempat jemuran lengang, tapi waktu itu aku harus segera
berangkat kuliah. Setelah pulang, tempat jemuran kembali penuh.
Dua teman
kosku selalu menggunakan jasa laundry tanpa beban karena mereka termasuk
golongan orang berkecukupan. Aku sempat berpikir untuk produktif menulis, Tapi
ini sulit, tulisanku tidak pernah tembus media. Akhirnya cari akal lain,
laundry di Bang Angga yang harganya lebih murah. Lalu aku akan lebih sering membeli
nasi tanpa lauk agar bisa makan dua kali sehari. Nasinya ditaburi garam atau meminta
kuah sayur nangka saat membeli nasi di warteg.
***
“tuliskan
semua yang kamu rasakan di kaca atau apa saja. Lalu hapus. Dan kau tak akan
bersedih lagi.” semua orang yang kutemui menyatakan pernyataan ini padaku. Aku
berlari ketakutan. Ini pasti mimpi, tapi bagaimana cara membangunkan tidurku?
Aku berusaha membuka mata dan bersikap tenang. Akhirnya tersadar. Bajuku basah
oleh keringat. Jarum jam baru menunjukkan angka dua pagi. Kira-kira baru satu
jam tidur. aku menguap dan kembali terlelap.
Di
kosan tak ada siapa-siapa. Pintu depan terbuka. Kulihat Bang Angga masuk.
Penampilanku lebih terlihat cantik. Memakai baju merah muda dengan celana putih
panjang. Rambutku terurai dan lebih halus. Ini pasti mimpi lagi. Tapi bermimpi
bersama Bang Angga akan menyenangkan, bukan? Jadi kubiarkan mimpi ini mengalir.
Kami
bersenang-senang. Menonton film asmara sambil makan enak. “Abang punya tempat
bagus buat Dinda.” Ia menarik lenganku pelan.
Tak
ada tembok di sini. Hanya ada kaca. Bahkan latarnya menggunakan kaca. “tulislah
apa yang kamu rasakan, Dinda. Agar perasaanmu lega.” Ia mengusap kepalaku dan
memberi spidol merah. “aku tak ingin bangun dari mimpi.” kalimat ini kutulis
berulang kali. Lalu dihapus lagi. Tiba-tiba mataku berair. “aku tak pernah
berhasil mendapatkan laki-laki yang kuidamkan. Karena aku jelek. Kulitku hitam
dan separuh wajahku ada bekas luka setrika. Aku kecil ketahuan mencuri dompet
ibu tiri, karena aku kelaparan. Ia tak memberi makanan selama dua hari. Aku
dihina dan dijauhkan oleh laki-laki. Sungguh, aku tak ingin bangun dari mimpi.”
***
Mimpi
ini ada kaitannya dengan pakaianku yang di-laundry oleh Bang Angga. Karena dulu
aku pernah memimpikan ibu tiri saat pertama kali ia mencuci pakaianku, waktu
itu ia masih baik. Tapi mimpiku adalah mimpi buruk. Setelah itu aku harus
mencuci pakaian sendiri, karena ibu tiri berubah jadi jahat.
Aku
ketagihan bermimpi. Pakaian kotor dan bersih di-laundry. Pikirku, semakin
banyak pakaian yang di-laundry, semakin lama durasi mimpiku. Bang Angga sempat
kaget melihatku membawa pakaian banyak. Timbangan pakaian ada lima koma lima
kilo. Aku hanya tersenyum malu.
***
“Dinda,
aku ingin mati muda seperti Chairil Anwar. Rasanya pusing sekali jika hidup
terlalu lama. Kamu mau ikut?”
“tapi Bang,
Chairil Anwar meninggal dunia karena mengidap penyakit TBC, bukan disengaja.
Lagi pula, kalau aku ikut bunuh diri bersamamu, belum tentu kita akan bersama
bahagia. Tuhan yang menentukan jalan kita. Kalau kita menyerah...” Mata Bang
Angga mendelik dan memotong pembicaraanku.
“kamu salah,
Dinda. Di dunia kamu akan sengsara. Tak ada yang mau mencintaimu karena wajah
anehmu. kamu tak bisa menjadi guru sukses dan kaya raya Karena murid-murid akan
ketakutan melihat wajahmu. Tak ada kebahagiaan yang tersisa di sini. Matilah
bersamaku. masa depan kita suram, dinda.” Air mata membanjiri wajahku. Aku
masih tak percaya dengan ucapannya.
“bagaimana
kamu bisa tahu masa depanmu suram. Kamu akan jadi penyair.” suaraku serak dan
gatal.
“aku penyair
gila, Dinda. Sangat miskin dan berantakkan. Telah kuhancukan hidup orang lain.” Tubuhku ngilu.
Harus dipercaya bahwa ini hanya mimpi dan akan segera bangun. Tiba-tiba Bang
Angga mendorongku kencang. Aku terguling. Tak sadarkan diri.
***
“Din,
Dinda…” kubuka mata cepat. Napasku tak teratur. Aisha dan Maufi menepuk-nepuk
pipi dan pundakku pelan.
“sedari
tadi kamu mengigau aneh, Dinda. Ada apa?”
“tak
ada apa-apa. Terima kasih ya sudah membangunkan.”
“yakin?
Ada berita duka. Laki-laki idamanmu itu meninggal dunia. Ia bunuh diri dengan
cara mencabik-cabik perutnya pakai pisau.”
“apa?
Bagaimana bisa ia bunuh diri?”
“yang
kutahu, Bang Angga telah menghamili anak Dosen dan membunuhnya. Mungkin ia
takut tertangkap polisi dan memilih bunuh diri. Lihatlah ke depan. Ramai
sekali. Ada beberapa polisi yang memeriksa dan tetangga yang ingin tahu. Kamu
sabar ya.” Aisha memelukku.
***
Lambat laun hidupku
sudah lebih teratur. Kini aku sudah punya jemuran. Hadiah ulang tahun dari
Aisha dan Maufi. Tapi bulan November berserta hujan-Nya datang. Pakaianku jadi
basah. Ini tak masalah, karena sebasah apapun pakaianku dan hujan berkali-kali
datang, mereka pasti akan kering. Aku harus lebih sabar menunggu.
Tugas
menulis cerpen mingguan
26
oktober 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar