“Sebelum
kuceritakan rahasia ini, alangkah baiknya kita berkenalan dulu dan saling bercerita
tentang hidup masing-masing.” Seorang berkepala botak dan berbadan kekar
memulai perbincangan bersama dua pemuda yang masih sangat belia. posisi duduk
mereka saling berhadapan. Wajah mereka sangat sumringah. Berbeda dengan
hari-hari lalu, wajah mereka murung dan kusut.
“Baiklah, aku
juga berterima kasih padamu karena telah mengajak kami berkenalan. Padahal kita
sudah satu tahun tinggal bersama di satu jeruji besi ini. Namun baru sekarang
kita berkenalan. Aku sungguh senang. Karena kukira kamu menyeramkan, ternyata
kau seorang yang ramah.”
“Kalian adalah
orang pertama yang mampu kuajak bicara, setelah satu tahun lalu aku rasanya
seperti orang bisu. Bagaimana kalau dimulai dengan ceritaku?”
semua mengangguk setuju.
semua mengangguk setuju.
Baron merapikan
posisi duduknya. Ia mulai bercerita. “Sejak kecil, aku memang diajarkan Ayahku
untuk menjadi orang jahat. Dia adalah pembunuh senior yang sudah berkali-kali keluar
masuk penjara. Hal itulah yang membuat ibuku kabur dari rumah karena tak
sanggup melihat kelakuan bengalnya. Aku diajarkan ini-itu, semuanya tentang
bagaimana membunuh, dan merampok.” Baron
menarik napas panjang. “Tapi ketika kami bersama-sama merampok sebuah
bank, aku malah tidak sengaja menembak ayahku sendiri hingga mati. Itulah
sebabnya aku seperti orang bisu dan bodoh. Aku trauma setelah itu.” Sodik dan Imron kaget mendengarkan
cerita Baron. “sekarang giliran
kalian.” pungkas Baron.
“Sebenarnya
kalau kami orang baik baik. kami memiliki ibu yang lembut dan penyayang. Tapi
kami memang ingin masuk penjara ini. Lalu berusaha jahat dengan memerkosa
mantan pacar Sodik, lalu wanita itu kami bunuh dan mayatnya dibuang ke sungai.”
Imron menepuk paha sodik, memberi isyarat untuk melanjutkan.
“Tapi aku memang
sangat membenci mantan pacarku itu. Dia menolak lamaranku, padahal kita sudah
berpacaran selama lima tahun.”
“Sampai separah
ini ulah kalian? Memang apa yang ingin kalian harapkan pada benda itu?” tanya
Baron.
“Sebenarnya
mencari benda itu adalah wasiat dari kakek kami. Beliau menginginkan kami untuk
mencarinya dan menjaganya. Benda itu harus dipergunakan semestinya dan yang
terpenting untuk kemaslahatan alam semesta.” Terang Imron.
“Kemaslahatan alam
semesta? Apakah benda itu seperti jimat?”
“Mungkin bisa
dikatakan seperti itu. apalagi kini tsunami di Aceh akan datang. kita harus
menyangkalnya dengan benda itu.”
“Bagaimana kamu
tahu kalau tsunami akan datang?”
“Sebelum masuk
penjara, saat aku sedang membelah buah kelapa yang kuambil dari pohon kelapa di
pinggir pantai, di dalam buah itu ternyata bukanlah air kelapa, tapi darah
merah segar. Ini adalah pertanda bahwa Aceh akan dihadang bencana besar.”
Baron merubah
posisi duduknya. Ia menyulutkan rokok di bibirnya dan membakar ujung rokok
dengan korek api. Asap yang mengepul-ngepul membuat Sodik terbatuk-batuk.
“Ah cepetlah kau ceritakan rahasia ini.” Sodik mengomel.
“Ah cepetlah kau ceritakan rahasia ini.” Sodik mengomel.
“Haha. Baiklah.
Konon, sebelum penjara ini ada, gedung ini adalah tempat rumah sakit jiwa.
Kebanyakan pasien adalah para politikus yang menjadi gila karena gagal dalam
pemilihan umum. Mereka telah mengeluarkan banyak uang. Tentu saja stres.Yang
merawat dan menyembuhkan mereka adalah para santri dan kiai.”
“Suatu hari
salah satu pasien mengamuk. Ia memberontak ke sana sini dan merusak fasilitas
rumah sakit. Alhasil pasien itu di pasung hingga datanglah seorang sastrawati.
Ia bilang, dalam sebulan akan menyembuhkan semua pasien di sini. Lalu setiap
malam semua pasien dikumpulkan di satu ruangan. Si sastrawati ini membaca puisi
dengan intonasi suara yang hebat dan menggetarkan hati semua orang. Tentu saja
mengagetkan para pasien dan membangunkan kesadaran mereka.”
“Benar saja.
Dalam sebulan, semua pasien sembuh. Namun si sastrawati itu tewas. Tak ada yang
tahu penyebabnya. Untuk mengenang semua kebaikannya, ia dikubur di tanah ini.”
Mata Sodik dan
Imron mendelik sepanjang Baron bercerita. “Hanya karena puisi semua pasien jadi
sembuh?” Imron seperti tak percaya.
“Iya. Setahuku,
politik, ekonomi, hukum, dan lain sebagainya saat ini sudah kotor. Hanya sastra
dan seni yang masih bersih dan suci. Jika kepalamu pusing dan masalahmu tak
kunjung kelar, hadapkanlah dirimu pada sastra dan seni. Tenangkan diri dan
temukan kepingan-kepingan wejangan dari dalam sastra dan seni. Dan segala
permasalahan pasti ada jalan keluarnya. Ketahuilah, bahkan Tuhan menyukai hal
hal yang indah. Betapa keindahan sastra dan seni sangat bergandengan dengan
alam semesta.”
“Berarti benda
itu adalah puisi. apa kau tahu isi puisinya?” Sodik memajukan kepalanya.
“Tentu saja
tidak.”
“Apakah tulisan
puisi itu masih ada?”
“Aku tidak tahu.
Mungkin disimpan di tempat yang aman.”
“Ah, bagaimana
ini?”
“Aku akan bantu
kamu mencari. Tapi ada syaratnya.”
“Apa syaratnya?”
“Setelah kau
temukan puisi itu, dan musibah di Aceh tak pernah terjadi, kalian berdua harus
tewas.’’
“Apa maksudmu?”
“Sudah lama aku
tidak membunuh orang. Tanganku gatal.”
Sodik dan Imron
kaget. Raut wajah mereka berubah sangar. Mereka berkelahi. Saling memukul
hingga tubuh mereka biru dan berdarah. Merasa seperti ada yang berkelahi, empat
perawat laki laki dan satu perawat perempuan langsung datang ke kamar mereka.
“Bagaimana
mereka bisa bertengkar?” sergah wati—perawat perempuan
“Bukankah
mereka tak suka berbicara?” salah satu perawat mengeluh sambil memisahkan
mereka lalu mereka di pasung dengan jarak yang berjauhan.
“Sepertinya mereka harus dibius supaya kembali tenang.”
“Sepertinya mereka harus dibius supaya kembali tenang.”
“Tolong kalian
jaga mereka. Akan aku ambil obat.” empat perawat lain mengangguk. Wati langsung
berlari keluar.
Baron, Sodik dan
Imron masih saja mengoceh. Padahal empat perawat sudah membentak untuk diam.
Dalam beberapa menit, perawat yang mengambil obat datang. Ia langsung
memasukkan obat ke mulut Baron, Sodik, dan Imron. Tak lama kemudian mereka
tertidur. Lima perawat merasa lega dan keluar dari ruangan.
“Ohya, di
ruangan dua belas dan ruangan lima ada yang mengamuk. Tolong kau ke sana. Ini
obatnya. Aku harus ke ruangan kepala rumah sakit jiwa.” Wati memberi obat ke
salah satu perawat. Empat perawat
mengangguk dan langsung berlalu.[*]
pernah dimuat di blog komunitas @rusabesi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar