Ini cerpen lama sekali, ditulis saat
selesai UN (Ujian Nasional). Mengenang cerpen remaja, mengenang perjalanan.
Oleh: Fena basafiana
Dan kami saling
mengejar. “Teropong bintang,” Juwita sampai lebih dahulu di puncak anak tangga.
“Betapa aku selalu rindu teropong ini, teropong zeiss. Aku bisa melihat planet
saturnus. Planet misterius dan paling aku dambakan,” Ujarmu sambil bersiap-siap
untuk memakai teropong itu. “Sebenarnya dari teropong, setiap orang hanya bisa
melihat cincinnya saja. Tapi aku percaya, tubuh saturnus sangat indah, karena
ada cincin yang memeluknya. Seperti cinta kita, terlihat mustahil. Tapi aku
percaya, cinta kita akan selamat, karena di antara kita ada cincin yang memeluk
untuk menjaga kita.” Senyummu mengembang. Kau selalu bahagia berada di sini. Hatiku
lunak.
“Juw, kita sudah satu jam di sini. Sebentar
lagi Teropong Bintang Bosscha akan segera ditutup. Dan aku lapar, apa kamu
lapar? Ayo kita cari makan!” Ajakku. Senyummu luntur. Aku tahu, kamu ingin
berlama-lama di sini pada malam hari. Tapi tempat ini akan ditutup pada jam
delapan.
“Tapi aku tidak ingin makan,
aku akan menemanimu saja.”
Kebiasaanmu setiap kuajak
makan, selalu menolak. Raut wajahmu seperti aku sedang menyuruhmu terjun ke
jurang paling menyeramkan, kamu tidak akan mau makan bersamaku. Padahal aku
menginginkan saat-saat kita menikmati makanan bersama, perbincangan kita akan
lebih renyah dan dalam. Kamu bilang, tidak ingin sering makan, karena takut aku
tidak menyukaimu lagi. Berkali-kali kutentang alasan itu, dan kukatakan bahwa
aku sangat menerimamu apa adanya. Tapi kelakuanmu tetap sama saja. terakhir yang
kamu ucapkan tentang ini kalau kamu takut sesuatu akan terjadi lagi.
"Kali ini
aku ingin makan buah saja. Buah langka..., sebab aku kangen Oma," Ujarmu
tiba-tiba.
Tangan keringmu meraih tanganku
pelan, hatiku longsor, merasakan kulitmu yang hampir menyerupai kulit Omamu,
ini belum waktunya. “Kadang aku ingin menemuinya, ingin memeluknya. Tapi kadang
juga, aku ingin melupakannya,” Katamu, dengan air mata yang terbendung di mata
cekungmu.
Kamu selalu merasa tidak ada
yang bisa mengerti perasaanmu, keinginanmu dan lukamu. Kebahagiaanmu runtuh
karena orang-orang menjauhimu. Teman-teman dan keluargamu menganggap bahwa kamu
adalah perempuan gila yang sangat hilang kesadaran dalam suatu hal. Hanya aku
dan Omamu yang tetap kuat berada di sisimu. Aku sendiri kadang merasa ingin
melepasmu, aku merasa telah diombang-ambing kecemasan. Tapi aku tidak pernah
berhasil melepasmu. Kamu benar-benar tidak mengetahui, betapa mencintaimu
memang harus dengan kesederhanaan, tanpa melihat apa pun.
Kamu selalu membuatku kaget dan
panik. Usaha kerasmu yang lewat dari batas kewajaran berakhir dengan lemahnya
tubuhmu dan hancurnya perasaanmu. Kamu sangat membenci dirimu sendiri. Sialnya,
aku semakin mencintaimu dan ingin menjagamu selalu dengan kecemasan yang
bertubi-tubi.
“Aku ingin mengenang kebersamaan
dengan Oma. Dulu, ketika aku remaja suka membenturkan kepalaku di meja karena
kesal dengan diriku sendiri, lalu Oma suka mengusap-usap kepalaku dengan rambut
putihnya.” Air matamu ruah. Matamu lelah, kamu kelelahan dengan tak
kesadaranmu. Aku manggut-manggut meyakinkan agar kamu tenang.
“Kamu ingin makan buah apa?”
Tanyaku untuk mengalihkan pembicaraan. Tiba-tiba rasa laparku hilang, aku
selalu kenyang saat melihat Juwitaku menangis. Aku merasa lambungku sesak.
“Buah yang sering dibawa Oma.
Buah Mundu. Obat pencuci perut. Buah yang memanjang dan mengkilat. Dagingnya
berwarna kuning, berair dan rasanya manis asam. Aku ingin memakannya di bulan
juli ini, bersama Oma.” Pintamu. Aku manggut lagi.
“Besok kita ke rumah Oma. Tapi
aku ingin malam ini kita makan malam bersama. Adil, kan?”
*
Malam ini, kita sepakat makan
malam berdua di rumahmu, setelah kupaksa-paksa agar kamu mau. “Aku akan masak
steak. Kuharap kamu sabar menungguku memasak.” Aku hanya tersenyum. inilah kali
pertama kita akan makan berdua. Aku membayangkan pesonamu menjadi perempuan yang
benar-benar normal.
Satu jam menunggu, akhirnya
kita siap makan. Tanganmu dengan lembut menata meja makan. Kami duduk
berhadapan. “Selamat makan!” Ujarmu. aku bersiap-siap memperhatikanmu.
Pelan-pelan kamu potong daging steak menjadi potongan kecil, dan melahapnya.
Kamu kunyah begitu pelan. Setelah daging itu tertelan melewati tenggorokanmu,
kamu tersenyum. Oh Tuhan! Juwitaku indah sekali.
“Aku ingin mencintaimu lebih
dalam lagi.” Tiba-tiba aku berucap itu. Kamu letakkan pisau dan garpu di
piring, dan menggenggam tanganku.
“Tahukah? Aku seperti melihat
planet saturnus di tubuhumu. Dan aku adalah teropong zeiss yang selalu
memandangimu dan mendambakanmu. Sejauh apa pun kita berada, sejauh apa pun
perbedaan pemikiran kita, aku tetap mencintaimu.” Genggamanmu semakin erat. Aku
bahagia.
Setelah selesai makan malam, kamu
langsung izin ke toilet. Aku langsung ambil alih untuk mencuci piring dan gelas
bekas makan malam. Saat aku sedang mencuci piring, terdengar suara orang sedang
muntah-muntah. Itu pasti suaramu, karena di rumah ini hanya ada kita berdua.
Tak lama kemudian kamu keluar
dari toilet. Wajahmu merah sekali. “Apa yang kamu lakukan?!” tanyaku dengan
kemarahan yang sudah memuncak di kepala. Kamu hanya diam dan menunduk.
“Kamu
melakukannya lagi?” mataku perih berair.
“Aku lelah dengan tingkahmu,
Juw! Kamu selalu membuat darahku naik-turun. Aku tak ingin menemuimu lagi.” aku
langsung ambil tas dan bergegas pergi.
“Jangan! Jangan tinggalkan aku.
Aku sendirian. Semua ini kulakukan agar kamu tetap mencintaiku.” pintamu.
Tanganmu menarik-narik lenganku. Di antara air mata kita, air matamu yang
paling susah terbendung. Aku langsung mengelak sentuhanmu, dan pergi dengan
cepat.
**
Besoknya kamu meneleponku
berkali-kali, akhirnya terpaksa kuangkat. “Kamu janji, hari ini kita
akan ke rumah Oma. Aku ingin makan buah mundu.” Serumu.
“Tidak jadi. Kamu sering
menghitamkan janjimu, kali ini aku boleh ingkar juga, kan?” jawabku. Langsung
kututup telepon genggamku. Sebenarnya aku khawatir, tapi kalau tidak begini,
kamu akan melakukannya lagi.
Satu bulan kemudian. Aku
menjelma menjadi patung dan di antara kita tampak ada tembok kokoh. Kamu
benar-benar menghilang, dan aku tidak mencarimu, meski sangat ingin. Dan
sebentar lagi rindu ini akan meledak. Aku merindukan tubuh mungilmu yang sangat
tegas kamu pertahankan. Aku merindukan sikapmu yang lembut dan pelan saat
membicarakan makanan atau saat memakai teropong di Bosscha.
Hingga pada suatu malam, aku
merasa sulit tidur, setelah beberapa hari tidak bisa tidur, dan keringat
dinginku keluar dengan mudahnya. Perasaanku tak enak. Aku terbayang
kesedihanmu. Tak lama kemudian telepon genggamku berbunyi, panggilan dari Oma.
“Dan kamu cucu tercinta…,”
suara Oma terdengar bergetar.
“Maaf, Oma. Ini bukan nomor
telepon Juwita, tapi nomor telepon Gusti.”
“Kamu sudah jadi cucuku, cucu
tercinta. Datanglah ke rumah Oma. Ada Juwita, ia sekarat.”
Buru-buru kusambar jaket yang
menggantung di belakang daun pintu. Mengendarai motor sekencang-kencangnya. Jangan
sampai ada hal yang kulewatkan. Selama di perjalanan, aku seperti sedang
memungut kenangan-kenangan bersamamu pada setiap meter di jalan. Kamu suka
bercerita tentang kemarahan Oma saat kamu tidak akan mau makan dan kalau pun makan,
kamu akan memuntahkannya setelah ditelan. Kamu pernah berniat bunuh diri dan
membunuh Oma agar semua masalah ini selesai, namun hal itu urung dilakukan
karena aku menghindari kejadian itu.
Sesampai di rumah Oma, aku
langsung masuk. Pearasaanku tak karuan. Kulihat dirimu sedang terbaring lemah
dengan tubuh yang teramat kecil. Wajahmu kuning pucat. Kamu dikerubuti laguno,
semacam rambut-rambut kecil di sekujur tubuhmu. Matamu layu. Kamu menyambutku
dengan senyum paling bahagia, menurutmu. Oh juwitaku, kamu tetap terlihat
indah.
Kamu mengalami kelainan
kejiwaan, Anoreksia Nervosa. Dulu, Oma juga mengidap penyakit ini. Tapi dengan
cepat ditindak lanjuti dengan terapi. Keluargamu memang memiliki keturunan
kegemukan. Oma bercerita, bahwa kamu dulu ditinggalkan oleh lelaki yang sangat
kamu cintai dan sebelumnya lelaki itu telah habis-habisan menghinamu di depan
banyak orang. Kamu dikucilkan. Tidak ada laki-laki yang mencintaimu. Kamu
sangat terosebsi untuk kurus. Kini berat badanmu hanya 26 kg. Tidak menstruasi
lagi. Ini menyedihkan, Juw.
“Aku akan segera mati. Jadi kamu
tidak perlu khawatir lagi. Aku juga lelah. Aku menderita.”
Tiba-tiba tenggorokanku
tersendat. Tidak bisa menjawab pernyataanmu. Aku juga ingin mati, Juw!
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar