Senin, 10 November 2014

Tentang Mimpi

Oleh Fena Basafiana

Ilustrasi oleh Healthline

            Angin tidak akan pernah lelah mencari. ia terbang. Masuk ke ruang dan lubang-lubang. walau pada kenyataan, angin tidak akan pernah mencium atau dicium siapa pun. Maka jika manusia menyerah pada kebahagiaan, itu hanyalah igauan. Tapi aku kelelahan meraihnya. Bahkan untuk sekedar melihatnya, aku harus sembunyi di balik jemuran yang berjejer panjang di tempat kosku sedang tempat ia tinggal berada di seberang sana.
            Sepotong-potong melihat wajah dan tubuhnya, merayu mataku untuk tetap terjaga. Aku menyukai rambut gondrong, mata layu dan badan kurusnya yang memiliki makna terselubung—pasti ia pekerja keras, juga puisi-puisinya. Pernah teman satu kos berkata bahwa tipeku sangat rendah. Aku tak mengindahkan pernyataan temannku dan tetap mengaguminya.
            Namanya Angga. Kami satu kampus, bahkan satu jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Hanya saja dia sudah semester sembilan dan aku baru semester satu. Pertama kali melihatnya saat ia sedang membacakan puisinya di acara apresiasi puisi. Penampilannya santai namun tampak perkasa karena suaranya menggelegar bak halilintar. Aku juga sering melihatnya saat menjemur beberapa pakaian di jemuran. Ia selalu terburu-buru. Namun aku tak bisa menjemur pakaian lagi karena kini jemuran selalu penuh dengan pakaian orang lain.
            Nama tempat tinggal kosku adalah pondok permai. Modelnya seperti kontrakkan tiga petak untuk satu pintu. Di kosan ini ada 16 pintu dari dua lantai. Satu pintu bisa dihuni tiga sampai empat mahasiswi dan hanya dua jemuran panjang yang sebenarnya tidak cukup untuk semua penghuni kosan. Hampir lima bulan aku tidak dapat tempat menjemur pakaian dan mengamatinya diam-diam. Akhirnya menggunakan jasa laundry.
Suatu ketika Bang Angga datang. Ia menawarkan jasa laundry dengan harga terjangkau. Biasanya satu kilo baju seharga lima ribu, sedangkan ia memberi harga tiga ribu. Kualitas tetap terjamin, katanya. Aku hanya mengangguk dan sesekali mengamati wajahnya. Ia selalu terlihat lelah dan pucat. Seperti menanggung beban berat.
            Seorang perantau sepertiku harus rajin berhemat. Apalagi aku tidak punya pekerjaan dan hanya mengandalkan kiriman uang dari keluarga di kampung Gayo Leus, Aceh. Biasanya aku makan sehari dua kali karena banyak buku yang harus dibeli, print dan  fotocopy makalah atau paper. Bagaimana dengan nasib cucian kotorku yang tidak mendapatkan tempat untuk menjemur? Pernah melihat tempat jemuran lengang, tapi waktu itu aku harus segera berangkat kuliah. Setelah pulang, tempat jemuran kembali penuh.
Dua teman kosku selalu menggunakan jasa laundry tanpa beban karena mereka termasuk golongan orang berkecukupan. Aku sempat berpikir untuk produktif menulis, Tapi ini sulit, tulisanku tidak pernah tembus media. Akhirnya cari akal lain, laundry di Bang Angga yang harganya lebih murah. Lalu aku akan lebih sering membeli nasi tanpa lauk agar bisa makan dua kali sehari. Nasinya ditaburi garam atau meminta kuah sayur nangka saat membeli nasi di warteg.
***
            “tuliskan semua yang kamu rasakan di kaca atau apa saja. Lalu hapus. Dan kau tak akan bersedih lagi.” semua orang yang kutemui menyatakan pernyataan ini padaku. Aku berlari ketakutan. Ini pasti mimpi, tapi bagaimana cara membangunkan tidurku? Aku berusaha membuka mata dan bersikap tenang. Akhirnya tersadar. Bajuku basah oleh keringat. Jarum jam baru menunjukkan angka dua pagi. Kira-kira baru satu jam tidur. aku menguap dan kembali terlelap.
            Di kosan tak ada siapa-siapa. Pintu depan terbuka. Kulihat Bang Angga masuk. Penampilanku lebih terlihat cantik. Memakai baju merah muda dengan celana putih panjang. Rambutku terurai dan lebih halus. Ini pasti mimpi lagi. Tapi bermimpi bersama Bang Angga akan menyenangkan, bukan? Jadi kubiarkan mimpi ini mengalir.
            Kami bersenang-senang. Menonton film asmara sambil makan enak. “Abang punya tempat bagus buat Dinda.” Ia menarik lenganku pelan.
            Tak ada tembok di sini. Hanya ada kaca. Bahkan latarnya menggunakan kaca. “tulislah apa yang kamu rasakan, Dinda. Agar perasaanmu lega.” Ia mengusap kepalaku dan memberi spidol merah. “aku tak ingin bangun dari mimpi.” kalimat ini kutulis berulang kali. Lalu dihapus lagi. Tiba-tiba mataku berair. “aku tak pernah berhasil mendapatkan laki-laki yang kuidamkan. Karena aku jelek. Kulitku hitam dan separuh wajahku ada bekas luka setrika. Aku kecil ketahuan mencuri dompet ibu tiri, karena aku kelaparan. Ia tak memberi makanan selama dua hari. Aku dihina dan dijauhkan oleh laki-laki. Sungguh, aku tak ingin bangun dari mimpi.”
***
            Mimpi ini ada kaitannya dengan pakaianku yang di-laundry oleh Bang Angga. Karena dulu aku pernah memimpikan ibu tiri saat pertama kali ia mencuci pakaianku, waktu itu ia masih baik. Tapi mimpiku adalah mimpi buruk. Setelah itu aku harus mencuci pakaian sendiri, karena ibu tiri berubah jadi jahat.
            Aku ketagihan bermimpi. Pakaian kotor dan bersih di-laundry. Pikirku, semakin banyak pakaian yang di-laundry, semakin lama durasi mimpiku. Bang Angga sempat kaget melihatku membawa pakaian banyak. Timbangan pakaian ada lima koma lima kilo. Aku hanya tersenyum malu.
***
            “Dinda, aku ingin mati muda seperti Chairil Anwar. Rasanya pusing sekali jika hidup terlalu lama. Kamu mau ikut?”
“tapi Bang, Chairil Anwar meninggal dunia karena mengidap penyakit TBC, bukan disengaja. Lagi pula, kalau aku ikut bunuh diri bersamamu, belum tentu kita akan bersama bahagia. Tuhan yang menentukan jalan kita. Kalau kita menyerah...” Mata Bang Angga mendelik dan memotong pembicaraanku.
“kamu salah, Dinda. Di dunia kamu akan sengsara. Tak ada yang mau mencintaimu karena wajah anehmu. kamu tak bisa menjadi guru sukses dan kaya raya Karena murid-murid akan ketakutan melihat wajahmu. Tak ada kebahagiaan yang tersisa di sini. Matilah bersamaku. masa depan kita suram, dinda.” Air mata membanjiri wajahku. Aku masih tak percaya dengan ucapannya.
“bagaimana kamu bisa tahu masa depanmu suram. Kamu akan jadi penyair.” suaraku serak dan gatal.
“aku penyair gila, Dinda. Sangat miskin dan berantakkan.  Telah kuhancukan hidup orang lain.” Tubuhku ngilu. Harus dipercaya bahwa ini hanya mimpi dan akan segera bangun. Tiba-tiba Bang Angga mendorongku kencang. Aku terguling. Tak sadarkan diri.
***
            “Din, Dinda…” kubuka mata cepat. Napasku tak teratur. Aisha dan Maufi menepuk-nepuk pipi dan pundakku pelan.
            “sedari tadi kamu mengigau aneh, Dinda. Ada apa?”
            “tak ada apa-apa. Terima kasih ya sudah membangunkan.”
            “yakin? Ada berita duka. Laki-laki idamanmu itu meninggal dunia. Ia bunuh diri dengan cara mencabik-cabik perutnya pakai pisau.”
            “apa? Bagaimana bisa ia bunuh diri?”
            “yang kutahu, Bang Angga telah menghamili anak Dosen dan membunuhnya. Mungkin ia takut tertangkap polisi dan memilih bunuh diri. Lihatlah ke depan. Ramai sekali. Ada beberapa polisi yang memeriksa dan tetangga yang ingin tahu. Kamu sabar ya.” Aisha memelukku.
***
Lambat laun hidupku sudah lebih teratur. Kini aku sudah punya jemuran. Hadiah ulang tahun dari Aisha dan Maufi. Tapi bulan November berserta hujan-Nya datang. Pakaianku jadi basah. Ini tak masalah, karena sebasah apapun pakaianku dan hujan berkali-kali datang, mereka pasti akan kering. Aku harus lebih sabar menunggu.

Tugas menulis cerpen mingguan

26 oktober 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Garin Nugroho Membasuh Pikiran Masyarakat

oleh Fena Basafiana             Bagi para pecinta film Indonesia, pasti sudah tidak asing lagi dengan sosok Garin Nugroho. Ia adalah sut...