Jumat, 14 November 2014

Lapang

Oleh Fena Basafiana

Ilustrasi oleh Left of the Hudson

Impian besar dan takdir berlainan menghantam hidupku. Mungkin aku terlalu terpuruk, hingga  mampu melewati batas wajar. Semuanya berawal dari Daerah Ambon, tempat aku lahir dari rahim Ibu yang sangat sedih. Ia kebingungan dan ketakutan tentang masa depanku. Karena pekerjaan Ayah hanya sebagai pengrajin kaligrafi kaki lima yang penghasilannya tak karuan.
Tak ada wejangan atau dongeng di rumah. Suasana rumahku pengap dan  gelap. Maka dari itu, kuhabiskan waktu bersama alam. Sejak umur tujuh tahun, aku sudah mampu berbincang dengan alam. Alam sering menasihati tentang kehidupan. Katanya sastra, musik dan teater adalah saudara, satu ibu. Dan ibunya adalah alam. Aku jadi tertarik mempelajari itu. alam juga bilang, manusia harus ramah pada siapapun dan apapun. Harus pandai berbahasa agar punya banyak teman dan hidup lebih terjamin. Pikirku, aku saja mampu berbincang dengan alam, apalagi dengan manusia-manusia di bumi.
Kujadikan semua itu impian. Membaca buku adalah awal dari usahaku. Segala jenis buku kulahap habis. Yang lebih mengasyikan adalah bisa menonton film kartun dan mendengarkan musik sambil belajar. Berbicara tentang apa saja di depan cermin. Berbincang dengan diri sendiri di cermin sangat menenangkan diri. Mungkin aku tampak angkuh, tapi sesungguhnya tak ada manusia yang bicara lapang cerah padaku. Ibu dan Ayah hanya tersenyum dan berdoa. Orang-orang di sekitar selalu mengatakan bahwa hidup ini susah, kejam, tanpa harapan dan lain sebagainya.
***
            Kini umurku sudah enam belas tahun. Aku tumbuh besar di luar kewajaran. Menuntut ilmu seperti orang kesurupan. Orang-orang menjulukiku sebagai gadis polyglot karena manguasai beberapa bahasa. antara lain bahasa Inggris, Italia, Spanyol, Belanda, Mandarin, Arab, Jerman, Perancis, Korea, Jepang, India, Rusia dan Tagalog. Aku menghafal tiga puluh kosa kata setiap hari dengan berbagai bahasa. Setelah itu baru mempelajari tata bahasanya. Selain sekolah, aku juga menjadi instruktur klub teater dan penyiar radio. Di waktu luang, aku menulis karya sastra dan bermain biola.
            Hal yang paling mengejutkan adalah aku menjadi Duta ASEAN untuk Indonesia di bidang anak. Mengubah pemikiran orang-orang di sekitar bahwa aku bisa mengubah kehidupanku yang dulu suram. Bahkan di dunia, aku sangat terkenal. Banyak media yang ingin meliputku. Sebelum berangkat ke Thailand untuk mengembang tugas menjadi Duta, aku bersama Ibu pernah menemui Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu di Kantor Gubernur Maluku. Aku meminta Gubernur agar  memberikan beasiswa serta percepatan ujian dini. Namun Gubernur tidak mengindahkan.
            Aku tidak boleh patah semangat karena hidup masih panjang. Lagi pula, aku sudah ditawari banyak kesempatan, mulai dari melanjutkan kuliah di sejumlah perguruan tinggi negeri ternama di Indonesia, bahkan mendapat tawaran sekolah diplomat di Sydney, Australia. Aku ingin menjadi diplomat termuda sebelum usia dua puluh tahun.
Aku juga harus mendorong anak-anak Maluku untuk terus belajar dan mengembangkan bakat melalui kegiatan roadshow di beberapa sekolah Ambon mulai dari SD sampai SMA agar mereka mempunyai pemikiran lapang dalam hidupnya.
Kegiatanku jadi sangat padat. Aku jadi jarang bermain dengan alam. Akhirnya kuluangkan waktu sejenak dengan alam di malam hari. Aku rindu udaramu alam. Rasanya segar sekali. Kulihat alam tetap seperti dulu. Selalu bersikap baik dan ramah padaku. Padahal akhir-akhir ini aku sering melupakanmu. Aku duduk bersandar di pohon besar. Di sela perbincangan, hujan turun. Aku tetap terjaga dan menikmati segala kelakuan alam.
Daun-daun di pohon berjatuhan serempak. Mengagetkanku. Ada satu daun yang berwarna kuning keputihan jatuh didekatku padahal daun lainnya berwarna hijau. Aku penasaran, segera meraih daun itu. namun saat sudah di genggaman, daun itu menghilang. Ah mungkin aku salah lihat. Memang tak pernah ada daun berwarna kuning keputihan di sini. Alam melihat kebingunganku, ia berkata bahwa daun kuning keputihan itu ada, namun diambil langsung malaikat dengan cepat. Aku hanya mengangguk. Tak mau memikirkan ini terlalu jauh.
Lalu alam berkata lagi, aku harus sudahi meraih mimpi karena kini aku sudah sangat besar dan menakjubkan. Aku heran dan mengatakan bahwa perjalanan ini baru setengah tujuan. Tujuan intiku adalah menjadi Duta termuda sebelum berusia dua puluh tahun. Angin memeluk tubuhku ngilu. Aku masih tak habis pikir, mengapa alam menjadi tak bersemangat lagi mendorongku meraih impian. Kuputuskan untuk masuk ke rumah dan tidur.
Hari-hariku semakin sibuk. Kini aku sudah menetap di Jakarta. Putus hubungan dengan alam di kampung. Ini sangat menyedihkan. Tapi waktu akan terus berjalan, bukan? Dan impian harus segera diraih. Tapi akhir-akhir ini aku merasa ganjal. Seperti ada yang memperhatikanku. Suatu ketika aku sedang pergi ke supermarket di malam hari, saat berjalan tiba-tiba ada yang menyenggolku dan berlalu cepat. Pernah juga saat aku sedang menaiki lift, di dalam lift tak ada orang lain selain aku. Namun ketika aku keluar, seperti ada seseorang lewat kilat di sampingku. Aku belum sempat melihat wajahnya. Yang paling mengerikan adalah setiap aku bangun tidur jam dini hari, saat ingin ke dapur atau toilet, aku sering tersentak dengan kehadiran seseorang sedang berjalan cepat. Ini sangat menyeramkan dan menganggu hidupku. Ingin kuceritakan hal ini pada alam. Tapi aku sedang di Jakarta. Walaupun kini zaman sudah modern dan semakin canggih. Orang-orang yang tinggal di tempat berbeda dan jauh, bisa berkomunikasi lewat handphone, media sosial dan lain sebagainya. Berbeda dengan alam, alam tidak punya handphone dan akun media sosial. Aku harus menemuinya langsung. Tapi ini sulit, waktuku benar-benar sibuk. Tak ada kesempatan untuk pulang kampung di waktu yang dekat.
            Sore ini aku berencana untuk olahraga di Kawasan Senopati, Jakarta. Pergi bersama teman-teman. Melepas penat sejenak dari aktifitasku. Saat olahraga berlangsung, tiba-tiba kepalaku pusing sekali dan perutku mual. Aku duduk di tepi lapangan dan bersandar. Kepala bagian belakangku semakin sakit. Seseorang yang selama ini memperhatikanku kembali hadir. Seperti biasa, ia berjalan kilat. Aku kebingungan. Kesadaranku semakin menurun.
***
            Kini waktuku telah habis. Aku sudah tak berbincang lagi dengan alam apalagi dengan orang-orang sekitar. Impianku belum tuntas tapi aku puas. Karena malaikat bilang, ilmu dan amalku selama ini sudah cukup untuk mendapatkan kunci surga kelak. Seseorang yang sering mengamatiku adalah malaikat pencabut nyawa dan aku baru menyadari bahwa daun kuning keputihan yang jatuh waktu itu adalah daun tertulis namaku. Gugur dari pohon yang letaknya diatas arasy Tuhan. Kulihat kedua orang tuaku menangis tak kuasa karena kepergianku. Kulihat juga orang-orang di dunia ikut berduka. Mereka bilang, telah kehilangan seorang pemuda yang bisa mengharumkan Bangsa Indonesia.
            Aku pernah bilang pada kalian saat diliput: Berpikir dan berbuatlah di luar kotak, jika masih berpikir di dalam kotak pasti akan terbentur empat sisi kotak, tak akan bisa ke mana-mana. Tapi jika bisa berpikir out of box, kita akan menjadi manusia merdeka yang mampu berpikir terbuka. Tolong camkan pernyataan ini untuk teman-teman dalam menggapai impian. sebelumnya alam pernah bilang, tak rela dengan takdirku ini. Tapi kini aku lebih bahagia. Tuhan Maha Adil dan Penyayang. Aku akan memberikan ruang pada teman-teman melapangkan waktu untuk  menapakai bumi dengan ilmu yang bermanfaat.

*cerita ini terinspirasi dari sosok Gayatri Waillisa
Tugas cerpen mingguan
7 november 2014


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Garin Nugroho Membasuh Pikiran Masyarakat

oleh Fena Basafiana             Bagi para pecinta film Indonesia, pasti sudah tidak asing lagi dengan sosok Garin Nugroho. Ia adalah sut...