Sabtu, 29 November 2014

Pelarian

Oleh Fena Basafiana
Ilustrasi oleh LaQuitaMichael.com

            Matahari baru saja rebah. Di lorong gelap, tempat pinggir Jakarta paling sunyi dan pengap, telah ramai oleh orang-orang berkumpul untuk berdiskusi. Kegiatan ini rutin dilakukan seminggu sekali dari komunitas sastra lorong. Sekitar dua puluh orang membentuk lingkaran besar. Cahaya di sini menggunakan lampu remang lima watt yang dibawa oleh salah satu anggota.
            Pendiri komunitas sastra lorong adalah Iwak, seorang laki-laki penyayang dan pengasih. Setiap anggota memiliki lapisan sosial berbeda. Sebagian kecil bekerja sebagai karyawan di kantoran, sebagian besar sebagai seniman jalanan atau bisa dikatakan pengangguran.
            Tema diskusi kali ini tentang puisi Zen Hae yang berjudul Kitab Pelarian. Esai ditulis oleh Sigit, seorang penyair jalanan yang serabutan. Moderator bernama Laras, perempuan paling manis dan beruntung karena pekerjaannya sebagai sekertaris di perusahaan asing. Sigit mulai menerangkan kajiannya. Setelah itu, pertanyaan dan kritikkan dari anggota lain meruak. Kesimpulan dari diskusi kali ini adalah sajak kitab pelarian menggambarkan tentang dunia yang tidak aman dan penuh ancaman. Manusia tanpa harapan yang lari dari masalah.
***
Sigit yang berawak kurus dan pendek berada di pangkuan Iwak. “kulihat kau semakin mahir berbicara dan esaimu lebih bagus.” Iwak menepuk-nepuk pundak Sigit. “Ini berkat ajaranmu, Wak.” Sigit memasukkan sebatang rokok ke mulut Iwak dan menyalakan api di ujung rokoknya. “Aku jadi semakin mencintaimu, sayang.” Mereka berpelukan.
            Hubungan terlarang ini sudah berlangsung sejak dua tahun lalu. Sigit datang dengan tubuh yang kotor dan baju rombeng. Ia seperti gelandangan. Awalnya hanya meminta makan pada Iwak, akhirnya jadi menetap di rumah Iwak. Mereka mempunyai satu kesamaan, ialah suka membaca buku-buku sastra adiluhung. Sigit juga berguru dengan Iwak. Ia diajarkan menulis puisi dan prosa.
            Kehidupan Sigit berubah 180 derajat. Sigit lebih bahagia dan mempunyai harapan untuk masa depannya. Ia benar-benar ditempa dengan keilmuan sastra oleh Iwak. Mereka membaca bersama, beragumen bersama dan menulis bersama. ia juga mencari makan bersama: berjualan buku-buku loak di pasar.
            Hingga suatu ketika, Sigit pulang dari pesta pernikahan diantar oleh Adam—teman sekolah dasar dulu.  Baju mereka basah karena kehujanan. Saat membuka pintu, dilihat Iwak berdiri mematung. Wajahnya seperti menahan geram dan matanya merah. Iwak langsung mengusir Adam dan menarik Sigit untuk masuk ke dalam. Iwak marah. Ia berceramah sampai mulutnya berbusa. “Seharusnyaa kau izin dulu denganku. Apalagi kau diantar oleh orang yang tak kukenal. Padahal aku bisa mengantarmu ke mana saja. Sekarang kau sudah mulai tak sopan denganku.”  Dibiarkannya Sigit tergeletak di lantai. “Maaf. Kukira tak perlu izin dahulu, karena aku hanya pergi ke pesta pernikahan sebentar. Aku hanya ingin mandiri.” Tubuh Sigit menggigil. Napasnya mulai tak teratur. Asmanya kambuh hingga Sigit pingsan. Iwak panik. Ia langsung mengambil air satu ember dan menyiram wajah Sigit agar tersadar.
            Sigit terbatuk-batuk. Iwak memeluk sigit erat. “maafkan aku. Tak ada maksud menyakitimu. Semua ini kulakukan karena aku sangat mencintaimu. Aku takut kehilanganmu. Jadi tetaplah bersamaku.” Sigit kaget mendengar pernyataan Iwak. padahal selama ini ia telah menganggap iwak sebagai abangnya sendiri. Sigit hanya mengangguk. Ia tak mau menyakiti Iwak. Sigit ingin sekali berteriak kencang. Dinding-dinding di sekitar melekung dan mengelupas, menahannya untuk tidak berteriak. Mengapa perasaan Iwak bisa sampai sejauh ini?
***
Lain halnya dengan Laras. Bekerja sebagai sekertaris membuat hidupnya bosan dan hampa. Padahal nalurinya ingin sekali menikmati novel, beberapa lembar sajak, menonton teater dan berdiskusi tentang sastra. Akhirnya Laras mengikuti komunitas lorong, diajak oleh salah satu bawahannya yang juga menjadi anggota komunitas ini.
            Suaminya—pemimpin perusahaan asing, tidak tahu bahwa Laras mengikuti komunitas ini. Laras hanya bilang mengikuti arisan mingguan bersama teman-temannya. Suaminya langsung percaya dan mengizinkan. Suaminya memang sangat sibuk dan tidak perhatian, apalagi romantis pada Laras. Ini juga salah satu alasan Laras, mengapa hidupnya sangat membosankan. Sebenarnya Laras ingin cerai dengan suaminya. Namun hal itu tak mungkin dilakukan karena keluarga Laras sangat menadah pada kekayaan suami Laras.
            Setelah satu tahun mengikuti komunitas ini, Laras merasa hidupnya lebih berwarna dan hampa di hatinya menyusut. Teman-teman komunitas juga sangat asyik dan baik. Yang paling mengejutkan, ternyata Laras telah menaruh hati pada Sigit. Katanya Sigit sangat menawan dan hebat. Ia sama sekali tak tahu tentang hubungan Sigit dengan Iwak. Sigit juga tak tahu kalau Laras telah menikah. Sigit yang merasa disukai oleh Laras lewat tingkah Laras padanya, mulai ikut mendekati Laras lebih intens. Mereka berpacaran diam-diam.
            Mereka sering keluar malam. Bahkan sudah beberapa kali menginap di hotel dalam satu kamar. Sigit dan Laras tidak merasa dirugikan. Mereka menganggap ini sebuah pelarian dari masalah dan tekanan mereka masing-masing. Sigit yang sangat lelah memiliki hubungan terlarang dengan Iwak, ia ingin sekali berontak tapi selama ini kehidupannya menjadi lebih baik karena Iwak banyak membantu. Sedangkan Laras sangat kesepian dan bosan pada hidupnya karena memiliki suami yang dingin dan sibuk.
 Suami Laras dan Iwak merasa curiga. Ada perubahan yang mencolok pada perilaku Sigit dan Laras. Seperti sering keluar malam dengan pakaian bagus dan minyak wangi mencolok, dana pengeluaran Laras semakin bertambah karena Laras sering mengajak Sigit ke tempat-tempat elit. Apalagi kini sudah tiga hari Laras dan Sigit tidak pulang ke rumah. Mereka menghilang.
            Suami Laras mulai menyelediki dan mencari tahu tentang keberadaan istrinya. Setelah ditanya satu persatu bawahanya, Ayu—salah satu anggota komunitas lorong terpaksa membocorkan aktivitas Laras selain bekerja. Suami laras dan Ayu langsung datang ke rumah Iwak. Iwak kaget mendengar cerita dari suami Laras. Ia mulai merasa ini pasti ada kaitannya dengan Sigit yang juga tak pulang ke rumah selama tiga hari.
            Dua minggu kemudian, mereka belum juga ditemukan. Suami Laras sudah melaporkan ke kantor polisi seminggu yang lalu. Perasaan Iwak hancur. Hidupnya tak tenang. Komunitas lorong tak lagi aktif.
            Hingga pada suatu sore, saat Iwak menonton televisi, didapati berita mengenaskan. Sepasang kekasih tertabrak truk pengangkut pasir. Tubuh mereka tertindas ban truk setelah sebelumnya bertengkar hebat di tengah jalan raya pada tengah malam. Mereka adalah Sigit dan Laras. Iwak dan suami Laras langsung ke kantor polisi. Dalam kantong Sigit, ditemukan surat yang tertulis untuk Iwak. dibuka surat itu dengan tangan bergetar.
Untuk Iwak,
Maafkan aku telah menghilang. Aku pergi bersama Laras. Kami menjalin hubungan cinta. Aku menghilang karena Laras ingin membunuh jabang bayi kami yang ada di kandungan. Tak rela dengan keputusan Laras, akhirnya aku mengekang dan mengikat Laras. Aku tak akan kembali ke rumahmu lagi. Sebenarnya aku menyayangimu karena kau adalah abangku, bukan sebagai kekasih. Terima kasih atas segala kebaikanmu padaku.
Tak terasa air mata Iwak jatuh dan semakin deras. Tubuhnya lemas dan wajahnya biru pucat karena tidak tidur semenjak Sigit pergi, apalagi kini ia tak akan kembali lagi.

Tugas cerpen mingguan
22 November 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Garin Nugroho Membasuh Pikiran Masyarakat

oleh Fena Basafiana             Bagi para pecinta film Indonesia, pasti sudah tidak asing lagi dengan sosok Garin Nugroho. Ia adalah sut...