Minggu, 07 Desember 2014

Ada yang Menangis di Kamarku

Oleh Fena Basafiana

Ilustrasi oleh Unsplash

            Dini hari, kulihat suamiku tertidur pulas di tempat tidur. tubuhnya selalu diguyuri keringat dingin. kuusap dahinya dan memainkan rambutnya. Kujatuhkan tubuhku ke tempat tidur sambil memeluk kepalanya. Tak terasa, air mataku berlinang lagi. Tak pernah kumengerti, mengapa perjalanan cintaku hingga serumit ini. Apakah karena orang tuaku yang tak merestui atau memang cinta harus diperjuangkan? Tapi kata sebagian orang, jika cinta Nampak sulit, maka itu bukanlah cinta. Karena cinta datang dengan keberkahan. Hingga pada hari ini atau mungkin untuk hari-hari selanjutnya, aku tak pernah menyesal mencintai Adit—suamiku, walau hari-hari kami penuh dengan keresahan.

Aku mengenal Adit sejak SMA. Ia tak begitu tampan dan bukan dari keluarga kaya raya, tapi ia bersikap sederhana dan menerimaku apa adanya. Berulang kali kujelaskan alasan ini pada kedua orang tuaku, tapi mereka hanya tertawa kecil dan tak pernah mempedulikan perasaanku. Mereka malah menarikku ke kota Bandung untuk kuliah. Mungkin mereka ingin menjauhkanku dengan Adit yang berada di Solo. Adit tidak kuliah, ia lebih memilih bekerja.

            Kami berhubungan jarak jauh. Saat aku di semester 5, tiba-tiba aku dipaksa untuk menikah dengan laki-laki pilihan kedua orang tuaku. Aku sama sekali menolaknya dan mengadu pada Adit. Akhirnya kami memutuskan untuk kawin lari. Kami menetap di pinggir Jakarta. Aku berhenti kuliah dan bekerja sebagai pelayan kafe. Sedangkan Adit bekerja sebagai satpam di perusahaan swasta.
Awal rumah tangga kami cukup menyenangkan. Namun tiga bulan kemudian, kami di hadang musibah. Adit terjangkit penyakit HIV. Sebelumnya ia ketahuan polisi mengedar narkoba. Aku kaget dan marah besar. “Sejak kapan kamu melakukan ini?”

“Aku mengonsumsi ganja sejak lulus SMA. Aku stres, Al. kamu tahu kan, kondisi keluargaku sangat buruk. Ayahku sakit keras. Ia hanya terbaring di kasur sepanjang hari. Ibuku hanya bekerja sebagai pembantu dan setiap malam ia selalu pulang dengan tubuh memar karena sering dipukuli majikannya. Ia tetap bertahan karena tak punya pekerjaan lain lagi untuk biaya hidup, perawatan ayahku dan menyekolahkan dua adikku. Apalagi saat kamu minta kita kawin lari, akhirnya kuputuskan untuk mengedar narkoba agar kehidupan kita lebih baik dan aku bisa bantu ibuku.”

“Tapi Mas, lihatlah kondisi kita sekarang. Kita harus menebus uang Sebesar seratus juta, kalau tidak kamu akan di penjara selama lima tahun. Belum lagi kini kamu sakit HIV. Itu penyakit mematikan, Mas.”

“Tinggalkanlah aku, Alysa. Biarlah kamu pulang ke rumah orang tuamu. Kita harus saling melupakan. Kamu tidak akan bahagia lagi bersamaku.”

Tubuhku berguncang-guncang menahan tangis. Aku langsung memeluk Adit erat. “Kamu jahat, Mas. Tapi aku akan lebih hancur lagi jika pergi darimu. Jadi biarkan kita menyelesaikan masalah ini bersama.” Adit balas memeluk.

***

            Adit terbangun. Ia melihatku dengan pandangan sayu. “Akhir-akhir ini kamu selalu pulang dini hari. Aku khawatir.”

            “Aku baik-baik saja, Mas. Ohya, aku sudah punya uang seratus juta. Besok kita langsung tebus ke polsek ya agar kamu tenang.”

            “Uang dari mana, Al?”

            “Aku pinjam uang temanku.”

            “Temanmu yang mana? Mengapa temanmu mau meminjamkan uang sebanyak itu?”

            “Teman kuliahku dulu, Mas. Ia kasihan mendengarkan ceritaku.”

            “Teman kuliahmu yang di Bandung? Kalian bertemu di mana? Ia ada di Jakarta?”

           “Iya, Mas. Dia bekerja di Jakarta. Sudahlah, Jangan terlalu jauh kau pertanyakan pinjaman ini. Uangnya akan segera kubayar.” Kuusap lagi wajah Adit yang berkeringat. “Apa kamu sudah minum obat?”

        “Belum. Aku selalu lupa. Biar aku ambil sendiri. Lebih baik kamu tidur.” kuputuskan untuk langsung tidur karena tubuhku sangat lelah.


        Paginya aku dikagetkan dengan teriakan Adit. Ia menghampiriku dan mengguncang-guncangkan tubuhku kasar. “Maksudmu apa, Al?” kulihat Adit menunjukkan test pack yang hasilnya positif.

            “Itu… itu bukan punya aku, Mas.”

            “Aku menemukan ini di kamar mandi. Di rumah ini hanya ada aku dan kamu yang tinggal.”

            “Aku…”

           “Sudah satu tahun kita tidak berhubungan karena aku takut kamu tertular penyakit HIV. Kamu berhubungan dengan siapa? Mengapa kamu tega, Al?”

       “Selama ini aku bekerja sebagai pelacur, Mas. Aku diajak oleh atasanku karena penawaran harganya sangat mahal. Aku tidak ingin kamu di penjara dan untuk memenuhi biaya pengobatanmu. Mungkin sama halnya dengan kamu dulu yang beralih menjadi pengedar narkoba. Semua kulakukan demi kebaikanmu dan kebaikan kita. ”Kulihat kemarahan Adit mengendur. Kulihat lagi wajahnya semakin pucat dan tubuhnya semakin kurus. “aku sangat mencintaimu, Mas.”

          “Aku butuh waktu.” Adit mengambil jaketnya dan langsung berlalu meninggalkan rumah. Aku hanya mematung.

***

          Di kamar tidur, debu-debu di setiap benda adalah luka yang berceceran karena hati tak sanggup lagi menampungnya. Tiga boneka beruang mendengkur setiap malam. Mereka ingin sekali minum air mineral. Katanya, untuk menetralisir gundah yang berkeliaran di tubuh. Aku tak peduli. Karena aku sendiri pun kekurangan air mineral. Tidurku berbuah beragam gundah. Bahkan gundahku lebih menjijikan dari hal paling menjijikan.

        Setelah enam bulan kemudian, aku sering mimpi buruk. Sehari tidur tidak kurang dari lima belas jam. Sisa waktu hari kuhabiskan untuk melamun dan sedikit makan atau kalau ingat aku mandi. Perilakuku yang berubah karena Adit tak mau kembali lagi. Terakhir ia hanya mengirim surat. Ia bilang bahwa perasaanya sangat hancur atas segala keputusanku.

        Satu hal yang Adit belum ketahui, telah kulahap habis puluhan ganja yang Adit simpan di bawah kasur. Di sela-sela lamunanku, kudengar suara tangisan seseorang. Suaranya sangat dekat di sekitarku. Kucoba cari di setiap sudut kamar dan ruangan lain, namun tak kutemukan apa-apa. Pikirku, ini pasti hanya efek samping dari mengonsumsi ganja.

       Saat mencari tahu siapa yang menangis, kutemukan foto album bersama keluarga besarku yang sudah kusam karena berada di kolong tempat tidur. Kubuka setiap lembar album. Ada gambarku saat masih bayi, remaja hingga dewasa. Ada satu foto yang mengenyak hatiku. Seorang perempuan berkebaya membawa bakul di punggungnya sambil menuntun seorang balita yang menangis ingin digendong. Ia adalah Ibuku dan balita itu adalah aku. Dulu ibuku adalah penjual jamu keliling. Aku jadi merindukan Ibu. Bagaimana dengan kabar Ibu? Apakah Ibu baik-baik saja? Ah, pasti Ibu sudah berumur senja dan kulitnya sudah keriput.

      Kupandang lama foto Ibuku. Aku sangat mirip dengan Ibuku. Kupandang lagi foto Ibu sambil bercermin memastikan kemiripanku dengan Ibu. Saat bercermin, aku kaget. Lupa bahwa aku sedang hamil. Perutku semakin membesar. Kudengar lagi tangisan seseorang bahkan suaranya semakin jelas. Kuraba perutku, kurasakan seperti ada benturan-benturan ringan. Kutelusuri lagi sebab kehamilanku. Tak diketahui siapa Ayah dari bayi ini.

       “OH TUHAN, ada yang menangis di kamarku, ada di kamar rahimku.”


Tugas Cerpen Mingguan

6 Desember 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Garin Nugroho Membasuh Pikiran Masyarakat

oleh Fena Basafiana             Bagi para pecinta film Indonesia, pasti sudah tidak asing lagi dengan sosok Garin Nugroho. Ia adalah sut...