Senin, 12 Januari 2015

Rahasia di Balik Penjara

oleh Fena Basafiana

Ilustrasi oleh CNN

“Sebelum kuceritakan rahasia ini, alangkah baiknya kita berkenalan dulu dan saling bercerita tentang hidup masing-masing.” Seorang berkepala botak dan berbadan kekar memulai perbincangan bersama dua pemuda yang masih sangat belia. posisi duduk mereka saling berhadapan. Wajah mereka sangat sumringah. Berbeda dengan hari-hari lalu, wajah mereka murung dan kusut.

“Baiklah, aku juga berterima kasih padamu karena telah mengajak kami berkenalan. Padahal kita sudah satu tahun tinggal bersama di satu jeruji besi ini. Namun baru sekarang kita berkenalan. Aku sungguh senang. Karena kukira kamu menyeramkan, ternyata kau seorang yang ramah.” 

“Kalian adalah orang pertama yang mampu kuajak bicara, setelah satu tahun lalu aku rasanya seperti orang bisu. Bagaimana kalau dimulai dengan ceritaku?”
semua mengangguk setuju. 

Baron merapikan posisi duduknya. Ia mulai bercerita. “Sejak kecil, aku memang diajarkan Ayahku untuk menjadi orang jahat. Dia adalah pembunuh senior yang sudah berkali-kali keluar masuk penjara. Hal itulah yang membuat ibuku kabur dari rumah karena tak sanggup melihat kelakuan bengalnya. Aku diajarkan ini-itu, semuanya tentang bagaimana membunuh, dan merampok.” Baron menarik napas panjang. “Tapi ketika kami bersama-sama merampok sebuah bank, aku malah tidak sengaja menembak ayahku sendiri hingga mati. Itulah sebabnya aku seperti orang bisu dan bodoh. Aku trauma setelah itu.” Sodik dan Imron kaget mendengarkan cerita Baron. “sekarang giliran kalian.” pungkas Baron.

“Sebenarnya kalau kami orang baik baik. kami memiliki ibu yang lembut dan penyayang. Tapi kami memang ingin masuk penjara ini. Lalu berusaha jahat dengan memerkosa mantan pacar Sodik, lalu wanita itu kami bunuh dan mayatnya dibuang ke sungai.” Imron menepuk paha sodik, memberi isyarat untuk melanjutkan.

“Tapi aku memang sangat membenci mantan pacarku itu. Dia menolak lamaranku, padahal kita sudah berpacaran selama lima tahun.” 

“Sampai separah ini ulah kalian? Memang apa yang ingin kalian harapkan pada benda itu?” tanya Baron.

“Sebenarnya mencari benda itu adalah wasiat dari kakek kami. Beliau menginginkan kami untuk mencarinya dan menjaganya. Benda itu harus dipergunakan semestinya dan yang terpenting untuk kemaslahatan alam semesta.” Terang Imron.
“Kemaslahatan alam semesta? Apakah benda itu seperti jimat?”

“Mungkin bisa dikatakan seperti itu. apalagi kini tsunami di Aceh akan datang. kita harus menyangkalnya dengan benda itu.”

“Bagaimana kamu tahu kalau tsunami akan datang?”

“Sebelum masuk penjara, saat aku sedang membelah buah kelapa yang kuambil dari pohon kelapa di pinggir pantai, di dalam buah itu ternyata bukanlah air kelapa, tapi darah merah segar. Ini adalah pertanda bahwa Aceh akan dihadang bencana besar.”

Baron merubah posisi duduknya. Ia menyulutkan rokok di bibirnya dan membakar ujung rokok dengan korek api. Asap yang mengepul-ngepul membuat Sodik terbatuk-batuk. 
“Ah cepetlah kau ceritakan rahasia ini.” Sodik mengomel.

“Haha. Baiklah. Konon, sebelum penjara ini ada, gedung ini adalah tempat rumah sakit jiwa. Kebanyakan pasien adalah para politikus yang menjadi gila karena gagal dalam pemilihan umum. Mereka telah mengeluarkan banyak uang. Tentu saja stres.Yang merawat dan menyembuhkan mereka adalah para santri dan kiai.” 

“Suatu hari salah satu pasien mengamuk. Ia memberontak ke sana sini dan merusak fasilitas rumah sakit. Alhasil pasien itu di pasung hingga datanglah seorang sastrawati. Ia bilang, dalam sebulan akan menyembuhkan semua pasien di sini. Lalu setiap malam semua pasien dikumpulkan di satu ruangan. Si sastrawati ini membaca puisi dengan intonasi suara yang hebat dan menggetarkan hati semua orang. Tentu saja mengagetkan para pasien dan membangunkan kesadaran mereka.” 

“Benar saja. Dalam sebulan, semua pasien sembuh. Namun si sastrawati itu tewas. Tak ada yang tahu penyebabnya. Untuk mengenang semua kebaikannya, ia dikubur di tanah ini.”

Mata Sodik dan Imron mendelik sepanjang Baron bercerita. “Hanya karena puisi semua pasien jadi sembuh?” Imron seperti tak percaya.

“Iya. Setahuku, politik, ekonomi, hukum, dan lain sebagainya saat ini sudah kotor. Hanya sastra dan seni yang masih bersih dan suci. Jika kepalamu pusing dan masalahmu tak kunjung kelar, hadapkanlah dirimu pada sastra dan seni. Tenangkan diri dan temukan kepingan-kepingan wejangan dari dalam sastra dan seni. Dan segala permasalahan pasti ada jalan keluarnya. Ketahuilah, bahkan Tuhan menyukai hal hal yang indah. Betapa keindahan sastra dan seni sangat bergandengan dengan alam semesta.”

“Berarti benda itu adalah puisi. apa kau tahu isi puisinya?” Sodik memajukan kepalanya.

“Tentu saja tidak.”

“Apakah tulisan puisi itu masih ada?”

“Aku tidak tahu. Mungkin disimpan di tempat yang aman.”

“Ah, bagaimana ini?”

“Aku akan bantu kamu mencari. Tapi ada syaratnya.”

“Apa syaratnya?”

“Setelah kau temukan puisi itu, dan musibah di Aceh tak pernah terjadi, kalian berdua harus tewas.’’

“Apa maksudmu?”

“Sudah lama aku tidak membunuh orang. Tanganku gatal.”

Sodik dan Imron kaget. Raut wajah mereka berubah sangar. Mereka berkelahi. Saling memukul hingga tubuh mereka biru dan berdarah. Merasa seperti ada yang berkelahi, empat perawat laki laki dan satu perawat perempuan langsung datang ke kamar mereka. 

“Bagaimana mereka bisa bertengkar?” sergah wati—perawat perempuan

 “Bukankah mereka tak suka berbicara?” salah satu perawat mengeluh sambil memisahkan mereka lalu mereka di pasung dengan jarak yang berjauhan. 
“Sepertinya mereka harus dibius supaya kembali tenang.” 

“Tolong kalian jaga mereka. Akan aku ambil obat.” empat perawat lain mengangguk. Wati langsung berlari keluar.

Baron, Sodik dan Imron masih saja mengoceh. Padahal empat perawat sudah membentak untuk diam. Dalam beberapa menit, perawat yang mengambil obat datang. Ia langsung memasukkan obat ke mulut Baron, Sodik, dan Imron. Tak lama kemudian mereka tertidur. Lima perawat merasa lega dan keluar dari ruangan.

“Ohya, di ruangan dua belas dan ruangan lima ada yang mengamuk. Tolong kau ke sana. Ini obatnya. Aku harus ke ruangan kepala rumah sakit jiwa.” Wati memberi obat ke salah satu perawat. Empat perawat mengangguk dan langsung berlalu.[*]

pernah dimuat di blog komunitas @rusabesi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Garin Nugroho Membasuh Pikiran Masyarakat

oleh Fena Basafiana             Bagi para pecinta film Indonesia, pasti sudah tidak asing lagi dengan sosok Garin Nugroho. Ia adalah sut...