Jumat, 01 Januari 2016

Menerawang Kesedihanmu di Teropong Zeiss

Ini cerpen lama sekali, ditulis saat selesai UN (Ujian Nasional). Mengenang cerpen remaja, mengenang perjalanan.
Oleh: Fena basafiana

Dan kami saling mengejar. “Teropong bintang,” Juwita sampai lebih dahulu di puncak anak tangga. “Betapa aku selalu rindu teropong ini, teropong zeiss. Aku bisa melihat planet saturnus. Planet misterius dan paling aku dambakan,” Ujarmu sambil bersiap-siap untuk memakai teropong itu. “Sebenarnya dari teropong, setiap orang hanya bisa melihat cincinnya saja. Tapi aku percaya, tubuh saturnus sangat indah, karena ada cincin yang memeluknya. Seperti cinta kita, terlihat mustahil. Tapi aku percaya, cinta kita akan selamat, karena di antara kita ada cincin yang memeluk untuk menjaga kita.” Senyummu mengembang. Kau selalu bahagia berada di sini. Hatiku lunak.

 “Juw, kita sudah satu jam di sini. Sebentar lagi Teropong Bintang Bosscha akan segera ditutup. Dan aku lapar, apa kamu lapar? Ayo kita cari makan!” Ajakku. Senyummu luntur. Aku tahu, kamu ingin berlama-lama di sini pada malam hari. Tapi tempat ini akan ditutup pada jam delapan.

“Tapi aku tidak ingin makan, aku akan menemanimu saja.”

Kebiasaanmu setiap kuajak makan, selalu menolak. Raut wajahmu seperti aku sedang menyuruhmu terjun ke jurang paling menyeramkan, kamu tidak akan mau makan bersamaku. Padahal aku menginginkan saat-saat kita menikmati makanan bersama, perbincangan kita akan lebih renyah dan dalam. Kamu bilang, tidak ingin sering makan, karena takut aku tidak menyukaimu lagi. Berkali-kali kutentang alasan itu, dan kukatakan bahwa aku sangat menerimamu apa adanya. Tapi kelakuanmu tetap sama saja. terakhir yang kamu ucapkan tentang ini kalau kamu takut sesuatu akan terjadi lagi.

 "Kali ini aku ingin makan buah saja. Buah langka..., sebab aku kangen Oma," Ujarmu tiba-tiba.

Tangan keringmu meraih tanganku pelan, hatiku longsor, merasakan kulitmu yang hampir menyerupai kulit Omamu, ini belum waktunya. “Kadang aku ingin menemuinya, ingin memeluknya. Tapi kadang juga, aku ingin melupakannya,” Katamu, dengan air mata yang terbendung di mata cekungmu.

Kamu selalu merasa tidak ada yang bisa mengerti perasaanmu, keinginanmu dan lukamu. Kebahagiaanmu runtuh karena orang-orang menjauhimu. Teman-teman dan keluargamu menganggap bahwa kamu adalah perempuan gila yang sangat hilang kesadaran dalam suatu hal. Hanya aku dan Omamu yang tetap kuat berada di sisimu. Aku sendiri kadang merasa ingin melepasmu, aku merasa telah diombang-ambing kecemasan. Tapi aku tidak pernah berhasil melepasmu. Kamu benar-benar tidak mengetahui, betapa mencintaimu memang harus dengan kesederhanaan, tanpa melihat apa pun.

Kamu selalu membuatku kaget dan panik. Usaha kerasmu yang lewat dari batas kewajaran berakhir dengan lemahnya tubuhmu dan hancurnya perasaanmu. Kamu sangat membenci dirimu sendiri. Sialnya, aku semakin mencintaimu dan ingin menjagamu selalu dengan kecemasan yang bertubi-tubi.

“Aku ingin mengenang kebersamaan dengan Oma. Dulu, ketika aku remaja suka membenturkan kepalaku di meja karena kesal dengan diriku sendiri, lalu Oma suka mengusap-usap kepalaku dengan rambut putihnya.” Air matamu ruah. Matamu lelah, kamu kelelahan dengan tak kesadaranmu. Aku manggut-manggut meyakinkan agar kamu tenang.           

“Kamu ingin makan buah apa?” Tanyaku untuk mengalihkan pembicaraan. Tiba-tiba rasa laparku hilang, aku selalu kenyang saat melihat Juwitaku menangis. Aku merasa lambungku sesak.

“Buah yang sering dibawa Oma. Buah Mundu. Obat pencuci perut. Buah yang memanjang dan mengkilat. Dagingnya berwarna kuning, berair dan rasanya manis asam. Aku ingin memakannya di bulan juli ini, bersama Oma.” Pintamu. Aku manggut lagi.

“Besok kita ke rumah Oma. Tapi aku ingin malam ini kita makan malam bersama. Adil, kan?”
*
Malam ini, kita sepakat makan malam berdua di rumahmu, setelah kupaksa-paksa agar kamu mau. “Aku akan masak steak. Kuharap kamu sabar menungguku memasak.” Aku hanya tersenyum. inilah kali pertama kita akan makan berdua. Aku membayangkan pesonamu menjadi perempuan yang benar-benar normal.

Satu jam menunggu, akhirnya kita siap makan. Tanganmu dengan lembut menata meja makan. Kami duduk berhadapan. “Selamat makan!” Ujarmu. aku bersiap-siap memperhatikanmu. Pelan-pelan kamu potong daging steak menjadi potongan kecil, dan melahapnya. Kamu kunyah begitu pelan. Setelah daging itu tertelan melewati tenggorokanmu, kamu tersenyum. Oh Tuhan! Juwitaku indah sekali.

“Aku ingin mencintaimu lebih dalam lagi.” Tiba-tiba aku berucap itu. Kamu letakkan pisau dan garpu di piring, dan menggenggam tanganku.

“Tahukah? Aku seperti melihat planet saturnus di tubuhumu. Dan aku adalah teropong zeiss yang selalu memandangimu dan mendambakanmu. Sejauh apa pun kita berada, sejauh apa pun perbedaan pemikiran kita, aku tetap mencintaimu.” Genggamanmu semakin erat. Aku bahagia.

Setelah selesai makan malam, kamu langsung izin ke toilet. Aku langsung ambil alih untuk mencuci piring dan gelas bekas makan malam. Saat aku sedang mencuci piring, terdengar suara orang sedang muntah-muntah. Itu pasti suaramu, karena di rumah ini hanya ada kita berdua.

Tak lama kemudian kamu keluar dari toilet. Wajahmu merah sekali. “Apa yang kamu lakukan?!” tanyaku dengan kemarahan yang sudah memuncak di kepala. Kamu hanya diam dan menunduk. 

“Kamu melakukannya lagi?” mataku perih berair.

“Aku lelah dengan tingkahmu, Juw! Kamu selalu membuat darahku naik-turun. Aku tak ingin menemuimu lagi.” aku langsung ambil tas dan bergegas pergi.

“Jangan! Jangan tinggalkan aku. Aku sendirian. Semua ini kulakukan agar kamu tetap mencintaiku.” pintamu. Tanganmu menarik-narik lenganku. Di antara air mata kita, air matamu yang paling susah terbendung. Aku langsung mengelak sentuhanmu, dan pergi dengan cepat.

**

Besoknya kamu meneleponku berkali-kali, akhirnya terpaksa kuangkat. “Kamu janji, hari ini kita akan ke rumah Oma. Aku ingin makan buah mundu.” Serumu.

“Tidak jadi. Kamu sering menghitamkan janjimu, kali ini aku boleh ingkar juga, kan?” jawabku. Langsung kututup telepon genggamku. Sebenarnya aku khawatir, tapi kalau tidak begini, kamu akan melakukannya lagi.

Satu bulan kemudian. Aku menjelma menjadi patung dan di antara kita tampak ada tembok kokoh. Kamu benar-benar menghilang, dan aku tidak mencarimu, meski sangat ingin. Dan sebentar lagi rindu ini akan meledak. Aku merindukan tubuh mungilmu yang sangat tegas kamu pertahankan. Aku merindukan sikapmu yang lembut dan pelan saat membicarakan makanan atau saat memakai teropong di Bosscha.

Hingga pada suatu malam, aku merasa sulit tidur, setelah beberapa hari tidak bisa tidur, dan keringat dinginku keluar dengan mudahnya. Perasaanku tak enak. Aku terbayang kesedihanmu. Tak lama kemudian telepon genggamku berbunyi, panggilan dari Oma.

“Dan kamu cucu tercinta…,” suara Oma terdengar bergetar.

“Maaf, Oma. Ini bukan nomor telepon Juwita, tapi nomor telepon Gusti.”

“Kamu sudah jadi cucuku, cucu tercinta. Datanglah ke rumah Oma. Ada Juwita, ia sekarat.”

Buru-buru kusambar jaket yang menggantung di belakang daun pintu. Mengendarai motor sekencang-kencangnya. Jangan sampai ada hal yang kulewatkan. Selama di perjalanan, aku seperti sedang memungut kenangan-kenangan bersamamu pada setiap meter di jalan. Kamu suka bercerita tentang kemarahan Oma saat kamu tidak akan mau makan dan kalau pun makan, kamu akan memuntahkannya setelah ditelan. Kamu pernah berniat bunuh diri dan membunuh Oma agar semua masalah ini selesai, namun hal itu urung dilakukan karena aku menghindari kejadian itu.

Sesampai di rumah Oma, aku langsung masuk. Pearasaanku tak karuan. Kulihat dirimu sedang terbaring lemah dengan tubuh yang teramat kecil. Wajahmu kuning pucat. Kamu dikerubuti laguno, semacam rambut-rambut kecil di sekujur tubuhmu. Matamu layu. Kamu menyambutku dengan senyum paling bahagia, menurutmu. Oh juwitaku, kamu tetap terlihat indah.

Kamu mengalami kelainan kejiwaan, Anoreksia Nervosa. Dulu, Oma juga mengidap penyakit ini. Tapi dengan cepat ditindak lanjuti dengan terapi. Keluargamu memang memiliki keturunan kegemukan. Oma bercerita, bahwa kamu dulu ditinggalkan oleh lelaki yang sangat kamu cintai dan sebelumnya lelaki itu telah habis-habisan menghinamu di depan banyak orang. Kamu dikucilkan. Tidak ada laki-laki yang mencintaimu. Kamu sangat terosebsi untuk kurus. Kini berat badanmu hanya 26 kg. Tidak menstruasi lagi. Ini menyedihkan, Juw.

“Aku akan segera mati. Jadi kamu tidak perlu khawatir lagi. Aku juga lelah. Aku menderita.”
Tiba-tiba tenggorokanku tersendat. Tidak bisa menjawab pernyataanmu. Aku juga ingin mati, Juw!

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Garin Nugroho Membasuh Pikiran Masyarakat

oleh Fena Basafiana             Bagi para pecinta film Indonesia, pasti sudah tidak asing lagi dengan sosok Garin Nugroho. Ia adalah sut...