Minggu, 12 Maret 2023

Fatamorgana - Polka Wars: Muslihat Penguasa

Oleh Fena Basafiana


Lirik lagu merupakan bagian dari karya sastra, ia masuk dalam kategori puisi. Perbedaan puisi dengan prosa tentu sangat mencolok, meskipun kita kerap menemukan karya puisi yang prosa (naratif) atau prosa yang puitis, tetap para ahli dapat mengidentifikasikan jenis karya tersebut. Siswantoro (23) mengemukakan bahwa puisi memiliki kepadatan kalimat dan lebih terkonsentrasi pada hal tertentu. Lirik lagu yang juga bagian dari puisi adalah perwujudan penulis atau penyair dalam mengungkapkan sikap dan perasaan berdasarkan berbagai peristiwa dan pengalaman melalui tulisan secara padat dan fokus.

Karya sastra (termasuk puisi) dapat menjadi bayang-bayang realitas yang merepresentasikan gambar dan refleksi permasalahan dalam kehidupan. Pemaknaan tersebut juga hadir dalam sosiologi, Sapardi Djoko Damono (3) menjelaskan bahwa sosiologi adalah struktur sosial, proses sosial, dan perubahan sosial. Jika disatukan, keduanya merupakan bagian dari  segi-segi kemasyarakatan yang bisa disebut sebagai sosiologi sastra. Sosiologi sastra bertujuan untuk mengamati gejala sosial secara mendalam melalui analisis teks.  Pada dasarnya, sosiologi dan sastra saling mempelajari tentang manusia dan kaitannya dengan hal-hal yang mempengaruhi lingkungannya, seperti keluarga, politik, pekerjaan, sekolah dan sebagainya.

Kita sering menemukan lirik lagu yang membahas isu sosial. Katakanlah, pada lirik lagu Bahaya Komunis oleh Jason Ranti. Lewat liriknya yang satire, ia membahas paranoia atas kebangkitan komunisme di Indonesia yang sebenarnya pemerintah terlalu menakuti rakyatnya secara berlebihan dan mengada-ada demi kepentingan tertentu. Jason Ranti menciptakan lagu ini berdasarkan hasil pengamatannya melihat rangkaian sejarah dari peristiwa komunisme di Indonesia yang begitu lucu dan miris.

Sama halnya dalam lirik lagu Fatamorgana yang diprakarsai oleh Polka Wars juga hadir berdasarkan kegelisahan dari berbagai peristiwa dan pengalaman tiap personel. Lagu tersebut masuk dalam album Bani Bumi yang dirilis pada 2019 di berbagai platform digital dan fisik. Alasan saya mengangkat lagu ini ketimbang lagu lainnya di album Bani Bumi karena makna lirik lagu Fatamorgana adalah bagaimana cara kerja (trik) penguasa menguasai lingkungan tertentu beserta rakyat di dalamnya dan bagaimana sikap rakyat itu sendiri merespons penguasa tersebut. Situasi tersebut kerap dihadapi oleh seluruh manusia. Misalkan, melalui cita-cita dan kitab suci, manusia saling bernegosiasi, menipu, dan ditipu demi menunjang kehidupan yang lebih baik (berdasarkan perspektif dan kepentingan masing-masing).

Penulis atau penyair dalam menciptakan karya memiliki sudut pandang, perspektif, dan pengalaman tertentu saat mengangkat isu sosial. Noor (29) membagi Sosiologi sastra menjadi dua hal: sosiologi komunikasi sastra dan sosiologi karya sastra. Sosiologi komunikasi sastra menempatkan pengarang dalam konteks sosialnya, meliputi status sosial-ekonomi, profesi, pendidikan, ideologi, dan keterikatannya dalam suatu kelas tertentu; Sedangkan sosiologi karya sastra adalah penafsiran teks sastra secara sosiologis. Dalam hal ini, saya menerapkan tipe sosiologi karya sastra sebagai pengantar dalam penafsiran lirik lagu Fatamorgana karena teks tersebut lepas dari identitas tiap personel, dan secara utuh teks tersebut hadir berdasarkan pengamatan mereka menyaksikan dunia politik yang penuh harap dan kesengsaraan.

Sejak pada lirik pertama hingga akhir, Polka Wars memang cenderung gemar menggunakan majas seperti metafora. Berdasarkan definisi umum, menurut Panuti Sudjiman (20), majas adalah pemakaian kata yang melewati batas-batas maknanya yang lazim atau menyimpang dari arti harfiahnya. Pada bait pertama, Polka Wars telah menunjukkan sisi majasnya.

         “Terbelah jalan, hampa tujuan

         Berdagang asa, reka citranya

   Halau cahaya”

Ungkapan “Terbelah jalan, hampa tujuan.” mengandung makna tersirat atau tidak menyatakan sesuatu secara terbuka (metafora), kata tersebut bermaksud memberitahu bahwa ada harapan yang putus dan tujuan yang kosong. Dengan begitu, manusia tidak bisa lagi melewati jalan menuju harapan karena sudah tidak ada lagi tujuan tersebut.

Lanjut di baris kedua, “Berdagang asa, reka citranya.” Pernyataan tersebut memberi penjelasan bagaimana cara kerja penguasa menarik hati rakyat. Ada dua cara: pertama, berdagang asa: mendemonstrasikan visi-misinya kepada khalayak. Visi-misi tersebut tentu memiliki karakteristik yang sederhana (kalimatnya mudah dimengerti orang umum), idealis, memberikan perubahan, pemanfaatan yang fokus. Dengan kemasan yang menjanjikan tersebut, penguasa memperjual-belikan visi-misinya secara rahasia demi kepentingan tertentu; dan kedua, reka citranya: selain memiliki visi-misi, pasti perlu menunjukkan keunggulan diri sebagai bukti bahwa penguasa tersebut memiliki kemampuan yang sesuai untuk merealisasikan visi-misinya. Proses perniagaan tersebut, dirancang sangat tersusun dan rapi hingga penguasa memiliki rupa yang baik di mata rakyat bahkan sejak pada pandangan pertama.

Namun di baris ketiga, “Halau cahaya.”, mengemukakan bahwa meskipun di awal proses perniagaan tersebut sangat menjanjikan tapi pada akhirnya khalayak atau beberapa orang menyadari ada yang keliru dari kondisi tersebut. Adanya ketidak-seimbangan antara kebutuhan penguasa dengan kebutuhan khalayak dan adanya visi-misi yang tidak tereksekusi. Yang pada awalnya, penguasa memamerkan visi-misi dan rupa hebatnya, kini hanya menjadi timbunan atau kenangan tidak berguna. Kepercayaan kepada penguasa tentu hilang dan yang tersisa hanya penyesalan atas kepercayaan mereka selama ini. Pada bait kedua, Polka Wars semakin menggebu-gebu mengeksplorasi idenya tentang kekuasaan yang menipu.

“Nyatanya semu, angan tersapu

Alasan tak dapat belenggu

Hina adanya”

Di baris pertama, “Nyatanya semu, angan tersapu.” Menegaskan alasan kenapa rakyat hilang kepercayaan kepada penguasa tersebut, karena ternyata kehadiran penguasa ini tidak memberi konstribusi yang berarti alias visi-misinya hanya tipu muslihat. Kenyataan tersebut membuat rakyat kecewa beserta beragam harapan yang gugur. Di baris berikutnya, “Alasan tak dapat belenggu” berarti penguasa ini memang benar-benar seorang penipu, buktinya, setelah ingkar janji atas eksekusi visi-misi, penguasa pandai mendistorsi keadaan. Ia menyangkal segala kritik dari khalayak sebagai bentuk defensifnya. Segala alasannya—mau-tidak mau—suka-tidak suka—menjadi obat bagi kesakitan rakyat yang patah hati atas permainan penguasa. Maka dari itu, muncullah pernyataan, “Hina adanya.” Yang mengungkapkan betapa kedudukan rakyat begitu rendah di mata penguasa. Setelah penguasa berbuat jahat, ia sendiri yang memberi kesembuhan (kesakitan yang bertambah) meskipun dengan obat yang makin mematikan.

Saya mengelompokkan rakyat menjadi tiga tipikal (sebenarnya tipikal ini bisa semakin bercabang): jika ditipu, ia berontak; jika ditipu, ia tidak sadar dan semakin dibodohi; dan jika ditipu, ia menyadari itu namun pasrah pada keadaan. Sejauh ini, tipikal rakyat dalam lirik lagu Fatamorgana memiliki tipikal yang jika ditiipu, ia berontak. Namun situasinya akan berubah di bait keempat. Seluruh lirik lagu ini mengekspresikan rakyat sebagai sudut pandang orang kedua dan ketiga yang sangat marah pada penguasa. Mereka di sini sangat menyadari posisi dirinya yang rawan ditindas. Pada bait berikutnya, Polka Wars melanjutkan kejengkelannya pada penguasa melalui permainan kata.

“Ayat amunisi

Jaja ilusi”

Pada bait ini hanya terdapat dua baris singkat namun merangkum beberapa hal. Di baris pertama, “Ayat amunisi” menerangkan bahwa biasanya di belahan dunia sekalipun, para penguasa kerap menggunakan ayat kitab suci sebagai alat berorasi di hadapan rakyat untuk mendapatkan kekuasaan. Cara tersebut adalah upaya meyakinkan rakyat untuk bernaung di jalan penguasa dengan menekankan sisi spritualitas (sisi yang digemari orang umum). Namun situasi dalam teks ini adalah penggunaan ayat tidak relevan dengan tipu muslihatnya. Sehingga di baris berikutnya, “Jaja ilusi” bermaksud memberitahu bahwa betapa ayat-ayat yang terucap di bibir penguasa hanya sebagai penjualan omong-kosong. Penguasa sama sekali tidak menghendaki adanya perubahan hidup untuk kepentingan bersama. Mereka hanya menciptakan kepentingan pribadinya semata. Pada bait keempat adalah intropeksi diri rakyat atas kekecewaanya kepada penguasa.

“Berjanji, hindari

Nyata tipu dayanya

Fatamorgana! Fatamorgana!”

Di baris pertama dan kedua adalah satu kalimat yang menunjukkan sisi intropeksi diri, “Berjanji hindari nyata tipu dayanya.”. Setelah rakyat melewati pengalaman pahit yang ditipu oleh penguasa, mungkin untuk pertama kali atau kesekian kalinya, mereka meyakinkan diri untuk tidak terlena lagi kepada sosok penguasa yang gemar menipu.

Namun lucunya muncul kata, “Fatamorgana! Fatamorgana!” pada bait keempat yang juga dijadikan sebagai judul lagu ini. Menurut KBBI, fatamorgana artinya hal yang bersifat khayal atau tidak mungkin dicapai. Pengertian tersebut berarti memperlihatkan diri rakyat yang mudah goyah atas pendiriannya. Meskipun mereka berseru dan memantapkan hati untuk tidak termakan rayuan penguasa lagi, situasi tersebut akan terus terjadi. Hal ini menunjukkan bahwa betapa rakyat sangat bergantung kepada pemimpin (penguasa). Atas kebutuhannya tersebut, rakyat berusaha mencari dan memilih calon penguasa terbaik untuk dijadikan sebagai pemimpin di lingkungannya. Faktanya, para calon penguasa sangat jauh dari kesempurnaan dan sisi terbaik. Jadi rakyat memilih calon penguasa yang mendingan daripada tidak ada pemimpin (penguasa) sama sekali. Setelah proses pemilihan, mereka membangunkan kepercayaan kepada penguasa terpilih untuk kesekian kalinya. Dalam hal ini, rakyat telah menjadi tipikal yang jika ditipu, ia menyadari itu dan pasrah pada keadaan (tapi tetap mengkritik penguasanya). Pada bait kelima, Polka Wars kembali menyuarakan amarahnya dalam pengenangan tipu muslihat penguasa.

“Jamu menjamu, janji merayu

Alasan tak dapat belenggu

Amarah massa!”

Pada baris pertama, “Jamu menjamu, janji merayu.” Menerangkan perilaku penguasa saat proses perniagaan asa. Penguasa menjamu rakyat dengan sedemikian menarik dan menyenangkan. Dalam perjamuan tersebut, penguasa memidatokan visi-misinya kepada rakyat dengan suara yang lantang dan penuh semangat seakan pada saat itu juga penguasa siap mempertaruhkan nyawanya demi kepentingan massa. Contoh kasus, biasanya kita kerap menemukan situasi jamu-menjamu pada pesta rakyat di masa pemilihan calon pemimpin pemerintah di wilayah tertentu. Namun pada baris kedua dan ketiga, “Alasan tak dapat belenggu. Amarah massa!”, bergulirlah waktu dan berganti situasi di mana khalayak telah menyadari adanya kebobrokan sikap penguasa. Lalu kebobrokannya ia lapisi dengan alasan pengelakan agar selamat dari hantaman khalayak. Kita pun tahu, tampaknya semarah apapun dan sehebat apapun khalayak, pemenangnya adalah penguasa. Pada bait terakhir, Polka Wars seperti memberi nasihat kepada penguasa secara implisit.

“Ayat yang terjual

Tak ingat ajal”

Dua baris terakhir dalam lagu ini sebagai penutup yang apik untuk Polka Wars menyampaikan nasihat tertutupnya, mengenai barangsiapa yang berdusta atas ayat yang disampaikan demi kepentingan tertentu (bukan untuk kemaslahatan rakyat) akan mendapat balasan setimpal saat ajal menjemput. Tentu barangsiapa tersebut tertuju kepada penguasa berdaya tipu muslihat.

Dari keseluruhan penafsiran lirik lagu Fatamorgana ini menerangkan duduk perkara makna “Fatamorgana” itu sendiri. Di awal, Polka Wars menyajikan tiga bait pertama sebagai perspektif rakyat dalam menilai penguasa. Rancangannya terstruktur untuk perubahan yang lebih baik berdasarkan visi-misi dan citranya. Namun pada masa kekuasaannya (kepemimpinannya), penguasa tersebut ingkar janji. Ia tidak mengeksekusi visi-misinya. Lalu rakyat menyadari kekeliruan tersebut dan membongkar segala kebejatan penguasa dengan beragam bukti. Tapi di samping itu, meskipun mereka merasa hancur atas kekecewaannya dan berjanji tidak akan terjerumus lagi pada jenis penguasa serupa, rakyat akan tetap mengalaminya terus-menerus. Walaupun memang tidak ada yang sempurna di dunia ini, termasuk seorang pemimpin, tapi juga, apakah masih ada pemimpin yang tidak berdaya tipu muslihat? Berhubung rakyat membutuhkan sosok penguasa (pemimpin) untuk kesejahteraan bersama.

Pustaka Acuan

Damono, Sapardi Djoko. Pengantar Sosiologi Sastra. Ciputat: Editum, 2009.

Noor, Redyanto. Pengantar Pengkajian Sastra. Semarang: Fasindo, 2007.

Sudjiman, Panuti. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: UI Press, 1990.

Siswantoro. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2010. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Garin Nugroho Membasuh Pikiran Masyarakat

oleh Fena Basafiana             Bagi para pecinta film Indonesia, pasti sudah tidak asing lagi dengan sosok Garin Nugroho. Ia adalah sut...