Kamis, 05 Agustus 2021

Merawat Kata adalah Upaya Membela Kesadaran Karya Moh. Zahirul Alim dan Laras Sekar Seruni

 oleh Fena Basafiana


Kita telah menjumpai ratusan bahkan ribuan puisi bertaburan di koran, majalah, buku, dinding toilet, tiang listrik, hingga internet. Pemahaman mengenai puisi pun semakin leluasa bagi masyarakat. Sebagian orang berpendapat bahwa setiap kata-kata yang tertuang dalam bentuk tulisan apapun mengandung kepuitisannya masing-masing. Apalagi sebagian orang lebih menikmati dan menciptakan puisi secara absurd. Dengan begitu, perkembangan karakteristik puisi kini semakin tak terjangkau maknanya.

 Alih-alih mendekatkan diri pada era postmodernisme (bahkan definisi era tersebut masih terus diperdebatkan keabsahannya oleh para ahli), menurut Sugiharto dalam bukunya berjudul Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat mengemukakan bahwa kecenderungan postmodernisme dalam berseni adalah hilangnya batas antara seni dan kehidupan sehari-hari, juga tumbangnya batas antara budaya tinggi dan budaya pop sehingga yang tercermin hanyalah pengulangan masa lalu tanpa kedalaman. Ketika orang-orang termanjakan oleh kenikmatan era tersebut, berbeda dengan Moh. Zahirul Alim dan Laras Sekar Seruni. Mereka memandang puisi sebagai upaya membela kesadaran dalam merespons kehidupan sederhana lewat karyanya berjudul Merawat Kata.

Sebelum menelanjangi buku kumpulan puisi Merawat Kata, saya ingin berkeluh-kesah dahulu. Secara pribadi, saya pernah kecewa kepada bahasa sebagai alat untuk menerangkan berbagai macam makna. Sebenarnya bahasa memang bisa dipakai dengan baik-baik saja untuk keperluan sederhana, seperti “saya ingin makan” yang berarti saya memang mau makan, “saya ingin belajar Matematika” yang berarti saya mau belajar Matematika. Namun seiring pemahaman saya, situasinya bisa kacau karena kecanggihan pemikiran manusia.

Manusia mempelajari makna melalui Semantik dan Pragmatik. Mereka berdua saling bekerja sama di mana Semantik meraih hubungan antara lambang dengan obyeknya dan Pragmatik meraih hubungan lambang dengan penafsirannya. Mereka juga saling bahu-membahu ketika Pragmatik mengalami kebuntuan, Semantik mengambil alih dalam menginterpretasi makna. Namun keintiman tersebut hanya muncul dalam permukaan saja. Dalam praktiknya, mereka kerap tidak sepenuhnya akrab dan akur. Apalagi beberapa ahli berusaha memisahkan mereka berdua karena pada dasarnya dalam bahasa ada aturan tiga disiplin berdasarkan derajat abstrak, ialah sintaksis, semantik, dan pragmatik. Berpacu dari kerumitan dasar tersebut, saya akhirnya mencoba memahami, barangkali dalam penciptaan makna, manusia memerlukan kooperasi antara pikiran dengan perasaan.

Bayangkan, ada sepasang atau perkumpulan manusia yang saling adu bicara mengenai topik tertentu. Mereka bertengkar tanpa perkelahian fisik, melainkan melalui perkelahian makna. Senjata mereka bukanlah kekuatan fisik atau benda berbahaya, tapi kekuatan bahasa. Lalu di mana “perasaan” mereka bekerja untuk mencapai kesepakatan makna? Betapa pemaknaan begitu tidak mungkin mencapai ujungnya. Berkaitan dengan keputusasaan tersebut, ada satu hal yang terlewat dalam kasus perkelahian makna di atas, manusia perlu membela kesadaran. Sesuatu yang hadir di sana, mungkin hanya sebatas membela keegoisan. Perkara kesadaran, saya menemukan itu dalam karya Zahir dan Laras.

Buku kumpulan puisi ini terdiri dari 20 judul puisi karya Laras Sekar Seruni dan 30 judul puisi karya Moh. Zahirul Alim. Kedua penulis ini tidak memiliki warna dan pola yang senada. Perihal metafora, Laras lebih berhasrat mempermainkan kata-kata secara lincah, sedangkan Zahir cenderung menampilkan keadaan secara tepat sasaran tanpa persembunyian. Pertentangan tersebut menjadi menarik untuk saya amati sebagai dua sensasi pembacaan dalam satu buku. Meskipun perbedaan tersebut cukup nampak, mereka memiliki pemikiran dan tinjauan yang hampir serupa.

Kesamaan mereka adalah kerap menampilkan sisi spiritualitas beserta sejarah dan perkembangannya. Laras dan Zahir beberapa kali menuangkan kedekatan mereka saat berkomunikasi dengan tuhan mengenai keresahan memandang kehidupan sehari-hari.

Misalkan dalam Kita Hari Ini karya Laras,

“selepas isya aku tafakur di sampingmu, mencoba moksa. tarian angin malam mengantarkan kamu pada bait-bait rindu kampung halaman. kita berjalan melewati rerindang tembok berlampu abu-abu, desih napas menyatu, menyiratkan aku ingin tetap bersama kamu.

[…] selepas itu aku lelap, penyap mengembara menuju belantara, saujana hanya ada bunga-bunga puisi yang kamu cipta. Sambil menanti pagi, aku menikmati kamu yang kian hari kian menepi dari lelehan kuantum jangkar yang akan kamu buang sebentar lagi.”

Usai beribadah, tokoh “aku” menunjukkan dirinya berada di samping tuhan secara khidmat. Mereka melakukan tarian bersama hingga sampai ke kampung halaman, yang berarti menuju pulang. Dalam kepulangan tersebut, suasana begitu sangat rindang dan asri. Saya membayangkan kondisi ini sebagai romantisasi tuhan bersama manifestasi pilihannya. Tidak semua manifestasi tuhan memiliki kesadaran atas keberadaan tuhan. Sosok “aku” dalam puisi ini bahkan mampu melampaui kesadaran atas keberadaan. Ia juga sadar atas kecintaan dan kebutuhannya pada tuhan. Ia menyelami bahwa dunia yang ditinggali kini amat penyap dan karang. Apapun keberhasilan manusia di dunia, kenikmatan dan keselamatan paling fundamental adalah bersama tuhan. Laras juga menyisipkan bahwa tuhan akan menampilkan hari akhir kelak melalui tuhan yang menepi dan jangkar yang terbuang sebagai bentuk dunia.

Dalam Jalan Pulang karya Zahir,

“maka aku berdoa

tunjukilah aku jalan pulang yang benar jalan yang senantiasa membawaku

tepat ke titik akhir perjalanan panjang ini”

Hampir setinjau dengan Laras, Zahir pun juga tampak memiliki perasaan yang menyatu dengan tuhan. Saat berbicara tentang pulang, secara lugas tokoh “aku” meminta petunjuk kepada tuhan karena ia menyadari bahwa ia mudah tersesat di dunia. Alih-alih kepada manusia cerdas dan pandai menyelesaikan semua masalah, Zahir mengingatkan kepada saya untuk sadar bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluk yang terbatas kemampuannya. Maka dari itu, pergilah menghadap tuhan.

Masih dalam seputar ketuhanan, Laras juga merepresentasikan cerita Abraham dalam Lelaki Api; kepada Abraham, Ibrahim.

“namun ia membelalak.

tubuh si lelaki melenggang keluar dari kobaran api—bersama bajunya yang terbuat dari rumbia, dan alas kakinya yang menjilat-jilat tanah pagi”

Cerita familiar tersebut dikemas kembali oleh Laras dengan keterampilan metaforanya. Saya sempat tergelitik akibat cara Laras membentuk sosok Abraham yang manis dan menggemaskan. Padahal pada cerita aslinya, situasi pasti menegangkan dan menakutkan karena ada pembakaran manusia. Di sini saya menerka bahwa Laras mengajak pembaca untuk memiliki kesadaran utuh mengenai perasaan Abraham pada saat itu. Karena teramat mempercayai dan mencintai tuhan, Abraham melangkahi kakinya menuju bara api dengan perasaan suka cita.

Ditambah puisi Zahir yang sangat spontan dan tepat sasaran dalam Cadas.

“anak cucu hawa yang katanya mudah tersentuh

mengapa menjadi cadas dan brutal? tanyaku untuk mereka jawab”

Membaca puisi spontan ini mengingatkan saya kepada W.S. Rendra yang berkarya tanpa menyembunyikan apapun. Zahir pun demikian. Saya membayangkan, sesuatu yang mengganjal dalam pikirannya akan ia keluarkan ke dalam karya tanpa ada transisi atau perubahan. Ketika Zahir mengamati bahwa semakin lama zaman semakin brutal, ia membela kesadaran itu dengan menuangkan keresahan secara apa adanya.

Selain itu, beberapa puisi Laras dan Zahir juga mengangkat isu sosial. Namun ada perbedaan ketertarikan di antara mereka dalam hal ini. Saya memakluminya karena perbedaan gender yang secara sadar atau tidak mempengaruhi selera isu sosial mereka.

Dalam Si Tukang Roti, Laras menampilkan tragedi pemerkosaan.

“Aku menggeliat manja

ketika jemari berwarna langking menyentuh, merobek, dan mendorong

Tubuhku ikut berkelindan dengan tulang dan lidah juga liur

Lumat dan moksa tanpa kenal dosa”

Saya yang juga bergender sama dengan Laras, semakin membela kesadaran saya terhadap gambaran pilu ini. Tindakan kriminal seperti pemerkosaan tidak bisa diprediksi secara konkret kedatangannya. Laras mendeskripsikannya seakan berada di perkampungan di mana orang-orang beraktivitas seperti biasa dan berbaur dengan tetangga. Namun tiba-tiba seorang anak perempuan kena celah pemerkosa untuk dibabat habis. Hal penting yang saya dapatkan dari puisi ini adalah membela kesadaran berarti menjadikan diri jauh lebih berhati-hati dan siaga.

Sementara Zahir dalam Alam Kita berseru kepada para penghuni bumi yang semakin semena-mena.

“aku, kamu, dan semuanya haruslah sadar

kita tak hidup sendirian mengurusi hakikat

diri sibuk dengan ego keakuan lupa hak-hak sekeliling”

Seperti biasanya, Zahir selalu berusaha tidak menyembunyikan apapun dalam puisinya. Dalam kekecewaan pun, ia masih menaruh harapan kepada penghuni bumi untuk saling menjaga tempat tinggal mereka bersama. Meskipun dunia tampak semakin rapuh, Zahir tetap membela kesadaran dengan optimis atas perubahan yang lebih baik.

Begitu banyak pilihan untuk kita tetap bisa membela kesadaran yang berujung pada terpeliharanya kewarasan. Merawat Kata adalah salah satu pilihan tersebut. Perihal kekecewaan saya terhadap bahasa semestinya menjadi penerimaan terhadap realita. Sejatinya kita tidak punya pilihan lain selain tetap melanjutkan hidup dengan keterbatasan bahasa dan alat hidup lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Garin Nugroho Membasuh Pikiran Masyarakat

oleh Fena Basafiana             Bagi para pecinta film Indonesia, pasti sudah tidak asing lagi dengan sosok Garin Nugroho. Ia adalah sut...